Bagikan:

JAKARTA - Jagat media sosial dibuat heboh oleh unggahan akun @popstoreindo di Instagram yang menjual surat pernikahan dan surat cerai mantan Presiden Soekarno dan Inggit Garnasih. Dua dokumen itu diklaim asli dan penyimpannya selama ini adalah cucu dari Inggit, Tito Z. Harmaen atau yang dikenal Toto Asmarahadi.

"Seorang bapak di Bandung menawarkan surat nikah dan surat cerai asli Presiden pertama RI Ir. Soekarno dan Ibu Inggit Garnasih. Beliau ternyata cucunya Ibu Inggit. Saya kaget pas baca dokumen sangat bersejarah ini, baru tahu juga ternyata yang jadi saksi cerainya Bung Karno & Bu Inggit adalah Bung Hatta, Ki Hadjar Dewantara dan KH. Mas Mansoer," demikian dikutip dalam unggahan Instagram @popstoreindo, Kamis, 24 September.

Pengunggah juga menambahkan keterangan, bagi calon pembeli yang serius mereka dapat langsung mengirimkan pesan pribadi atau langsung mengecek ke rumah penjual. "Yang minat serius PM saya aja langsung dan cek barang ke rumahnya. Harga sangat amat mahal super fantastis!!!”

Pegiat sejarah, Saddam Husain menyampaikan pandangannya. Menurut pemilik akun Twitter @mazzini_gsp itu, publik perlu lebih kritis melihat persoalan ini. Penting menurutnya untuk mencari tahu siapa pihak yang menjual bebas surat berharga itu.

"Ya, harus di-crosscheck dulu, ya. Apakah yang jual itu dari keluarga Inggit atau bukan," kata Mazzini, kepada VOI, Kamis, 24 September.

Menurut Saddam, benda berseharah itu sebaiknya dibiarkan berada di museum. "Kalau dijual, takutnya jatuh ke kolektor yang enggak bertanggung jawab," kata dia.

Seperti Saddam, sejarawan dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Asvi Warman Adam juga merespons iklan itu. Asvi prihatin dengan diperjualbelikannya dokumen tersebut. Kata Asvi, sebaiknya dokumen tersebut disimpan oleh keluarga ketimbang diperjualbelikan.

"Saya juga prihatin itu dijualbelikan. Kalau pihak keluarganya memang mau menjaga dokumen, tidak apa-apa sebagai koleksi keluarga. Bila tidak, lebih baik disimpan di ANRI. Karena itu arsip sejarah," ujar Asvi dikutip CNN, Kamis, 24 September.

Perjalanan cinta Soekarno-Inggit

Inggit Garnasih lahir 17 Februari 1888 di Desa Kamasan, Kecamatan Banjaran, Bandung. Kisah cintanya dengan mendiang Soekarno terbilang penuh liku. Sedari remaja, Inggit yang cantik jelita telah memesona. Banyak lelaki mendekat untuk mencuri perhatiannya.

"Inggit" bukan nama lahir Garnasih. Nama itu didapat karena kecantikannya. Dikutip Abraham Panumbangan dalam buku The Uncensored of Bung Karno: Misteri Kehidupan Sang Presiden (2014), karena kecantikan Garnasih, orang-orang yang mendapatkan senyuman darinya ibarat mendapat uang seringgit (satu ringgit).

“Tidak sedikit anak muda yang tertarik dan jatuh cinta kepadanya. Seperti itulah mengapa Garnasih memperoleh nama Inggit di depannya,” Abraham.

Cerita kehidupan cinta Inggit dimulai saat dirinya dinikahkan dengan seorang patih di Kantor Residen Priangan. Patih itu bernama Nata Atmaja.

Pernikahan itu dilakukan saat Inggit berusia 12 tahun, usia yang terbilang muda untuk menikah. Rumah tangga Inggit pun kandas di tengah jalan.

Inggit kemudian menikah lagi. Kala itu sosok yang menikahinya merupakan seorang pengusaha yang juga aktif di Organisasi Sarekat Islam (SI) bernama Haji Sanusi. Pernikahan itu berjalan baik, sekalipun sang suami tampak sibuk dan sering keluar rumah.

Kemudian datanglah Soekarno yang ingin melanjutkan pendidikannya ke Technische Hoogeschool te Bandoeng --sekarang IPB— untuk mendapatkan gelar insinyur.

Cinta Karno dan Inggit

Kedatangan Soekarno ke Bandung tepat setelah dirinya lulus dari Hogere Burger School (HBS) di Surabaya. Atas rekomendasi dari bapak mertua sekaligus mentornya, Haji Oemar Said Tjokroaminoto, Bung Karno tinggal di rumah Haji Sanusi.

Di rumah itulah kali pertama Bung Karno bertemu dengan Inggit yang merupakan istri Haji Sanusi. Sebagaimana dikisahkan Bung Karno dalam buku karya Cindy Adams, Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia (1965), sedari awal berjumpa, Bung Karno langsung menyebut Inggit sebagai perempuan luar biasa.

“Perawakannya kecil, sekuntum bunga merah yang melekat disanggulnya dan satu senyuman yang menyilaukan mata. Ia istri Haji Sanusi, Inggit Garnasih. Segala percikan api yang dapat memancar dari seorang anak 20-an tahun dan masih hijau tak berpengalaman, menyambar-nyambar kepada seorang perempuan dalam umur 30-an yang sudah matang dan berpengalaman,” ungkap Sang Putra Fajar.

Perlahan-lahan Bung Karno dan Inggit semakin dekat. Walaupun Bung Karno telah beristri Siti Oetari, namun diyakini Bung Karno hubungan itu tak lebih dari sebatas kakak-adik. Bahkan, dalam satu waktu Bung Karno merasa hubungannya dengan Inggit layaknya orang tua dan anak.

Karena itu, sosok wanita ideal bagi Bung Karno hadir lewat Inggit Garnasih. Saking tertariknya, Bung Karno memberanikan diri menyatakan perasaannya kepada Inggit. “Dia kesepian. Aku kesepian. Perkawinannya tidak betul. Perkawinanku tidak betul. Dan adalah wajar bahwa hal-hal demikian itu tumbuh. Inggit dan aku banyak mengalami saat menyenangkan bersama.”

Cinta pun tumbuh di antara keduanya. Inggit pun mencintai Bung Karno sepenuh hati tanpa memandang baik-buruk. Mereka kemudian menceritakan hal itu kepada Haji Sanusi. Haji Sanusi menceraikan inggit dan Bung Karno mengembalikan Siti Oetari kepada orang tuanya. Pada akhirnya, Bung Karno menikahi Inggit pada tanggal 24 Maret 1923.

Kesetiaan Inggit

Pernikahan keduanya tak dikaruniai anak. Mereka kemudian mengangkat Ratna Djuami, putri dari kakak kandung Inggit sebagai sebagai anak. Inggit setia mendampingi Bung karno dalam segala situasi dan masa-masa sulit, termasuk saat Bung Karno menyesaikan sekolahnya, memulai aktivitas politik, di penjara, hingga mencarikan dana untuk Bung Karno.

Saking setianya, Inggit turut mendampingi Bung Karno ke tempat pengasingannya di Ende dan Bengkulu. Dapat dikatakan, Inggit merupakan sumber semangat Bung Karno. Ia adalah istri, ibu, dan sekaligus sahabat bagi Bung Karno.

Kendati demikian, pernikahan Bung Karno dan Inggit harus kandas di Bengkulu. Salah satu alasan kandasnya hubungan karena selama 18 tahun menikah, keduanya tak dikarunia seorang anak.

Selain itu, kala itu Inggit menolak keras untuk di madu karena Bung Karno ingin menikahi anak tokoh Muhammadiyah Bengkulu, Fatmawati. Kelak, Inggit pun diceraikan Bung Karno dan dipulangkan ke Bandung.

“Saat Soekarno meminta restu dari Inggit untuk menikah dengan Fatmawati, Inggit menyatakan dengan tegas bahwa ia pantang dimadu dan lebih memilih untuk diceraikan. Setelah Jepang mengembalikan Soekarno ke Jakarta pada awal tahun 1942, Soekarno kemudian menceraikan Inggit, memulangkan Inggit ke Bandung. Tanggal 1 Juni 1943, Soekarno menikah dengan Fatmawati,” tutup Rhien Soemohadiwidjojo dalam buku Bung Karno Sang Singa Podium (2017).