Setengah Mati Sukarno Mewujudkan Persatuan pada Masa Kabinet Djuanda
Presiden pertama RI, Sukarno bersama Kabinet Djuanda. (Foto: Wikimedia Commons)

Bagikan:

JAKARTA - Kabinet Karya atau Djuanda sejatinya adalah upaya konsolidasi nasional Sukarno. Cara Presiden Pertama RI menyatukan kembali perpacahan bangsa. Ia tampak berusaha menekan "ego politik" dari masing-masing golongan dalam membuat kabinet non partai ini. sampai menciptakan musuh bersama: imperialis Belanda.

Sebelum kabinet karya atau Djuanda ini dibentuk, Republik Indonesia sedang dirundung perpecahan. Buktinya, seperti dijelaskan Febta Pratama Aman dalam jurnal ilmu sosial Universitas Negeri Yogyakarta yang bertajuk "Kebijakan Politik Luar Negeri Indonesia Masa Kabinet Djuanda 1957-1959" (2013), bubarnya kabinet sebelum Djuanda yakni Kabinet Ali Sastroamijoyo adalah karena perpecahan, baik di dalam maupun di luar kabinet.

Di dalam kabinet itu sendiri perpecahan terlihat dari beberapa banyak menteri yang ditarik oleh partai pengusungnya. Misalnya Masyumi yang menarik menterinya dari kursi kabinet Ali Sastroamijoyo. Salah satu alasannya, mereka enggan berkolaborasi dengan PKI.

Di luar pemerintahan, perpecahan kian meruncing dengan munculnya gerakan-gerakan pemberontakan daerah. Pemberontakan ini muncul karena rasa ketidakpuasan mereka terhadap kebijakan pemerintah pusat.

Keadaan semakin memburuk pada 1956. Saat itu Wakil Presiden Mohammad Hatta undur diri dari jabatannya. Tak ada lagi Dwitunggal. Pengunduran dirinya membuat hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah pusat. Dukungan dari dua partai pendukung Hatta, PSI dan Masyumi sangat berpotensi menjadi kendur terhadap pemerintahan saat itu.

Pada tahun yang sama, muncul gagasan dari Presiden tentang konsepsi Presiden. Gagasannya baru diumumkan pada 21 Februari 1957. Salah satu yang paling kontroversial yakni gagasan demokrasi terpimpin yang menggantikan sistem sebelumnya yakni demokrasi parlementer.

Alih-alih menyelesaikan masalah, konsepsi tersebut justru membuat keadaan semakin ruwet. Masalahnya tak sedikit yang menentang demokrasi terpimpin tersebut.

Besarnya tekanan baik dari masalah internal kabinet maupun masalah pemberontakan daerah, membuat Ali Sastroamijoyo mengembalikan mandat kepada Presiden Sukarno.

Menekan Ego Kepartaian

Sulit untuk membentuk kabinet baru setelah kabinet Ali Sastroamijoyo bubar. Sukarno dua kali menunjuk Ketua PNI, Soewiryo sebagai formatur pembuat kabinet baru, tapi selalu gagal. Hingga akhirnya Sukarno menunjuk dirinya sendiri sebagai formatur.

Tokoh bangsa dikumpulkan untuk meramu kabinet baru. Termasuk sang demisioner Ali Sastroamijoyo. Belajar dari pengalaman sebelumnya, Sukarno tidak ingin kabinet yang baru ini didirikan atas dasar kepentingan partai.

Oleh karenanya Ali mengusungkan orang yang bukan berasal dari partai. Sontak nama itu merujuk pada Ir. Djuanda Kartawidjaja. Ia merupakan seorang teknokrat dan cakap dalam memimpin.

Akhirnya pada 8 April 1957 Sukarno mengumumkan kabinet baru di Istana Bogor. Ia menunjuk Djuanda sebagai Perdana Menteri yang baru. Djuanda adalah sosok yang dihargai dan dipercaya oleh masyarakat luas. Bahkan Presiden tak segan memberikan rangkap jabatan kepadanya sebagai Menteri Pertahanan selain Perdana Menteri.

Kabinet yang kemudian diberi nama Zaken Kabinet atau Kabinet Karya ini secara resmi terbentuk dan sudah mulai efektif pada hari ini 9 April 63 tahun lalu atau pada 1957.

Djuanda tak sendiri dalam memimpin kabinet. Ia didampingi Wakil Perdana Menteri I Mr. Hardi dari kalangan PNI, dan Wakil Perdana Menteri II Dr. K.H Idham Chalid dari kalangan Nahdliyin. Dengan demikian kabinet ini disebut pula Kabinet Djuanda-Hardi-Idham.

Meskipun masih ada menteri yang berasal dari partai, namun mereka tidak boleh mengatasnamakan partai. Pembubaran partai yang diimpikan Sukarno, dimanifestasikan dengan cara tersebut. Dengan ini, wibawa pemimpin Partai Politik dikebiri. Namun keberadaan partai tetap dipertahankan hanya sebagai pajangan pelaksanaan Demokrasi Terpimpin.

Program Kabinet Karya ini juga disebut dengan Pancakarya karena punya lima tujuan, di antaranya:

1. Membentuk Dewan Nasional

2. Normalisasi Keadaan Republik Indonesia

3. Melanjutkan pembatalan KMB

4. Memperjuangkan Irian Barat

5. Mempercepat Pembangunan

Menciptakan Musuh Bersama 

Ahmad Mansyur Suryanegara dalam bukunya Api Sejarah Jilid Kedua (2015) menjelaskan program Pancakarya adalah jawaban dari situasi nasional yang sedang dilanda konflik. "Negara sedang mengalami perpecahan di kalangan partai politik dan militer," tulisnya.

Oleh karenanya Presiden Sukarno berupaya sungguh-sungguh mengalihkan masalah internal. Caranya, Sukarno menumbuhkan kesadaran bahwa lawan sebenarnya justru bukanlah sesama anak bangsa, akan tetapi Imperialis Belanda.

Gerakan kebangkitan anti penjajah Belanda segera bergulis. Mulanya diawali dengan mengadakan Rapat Umum Pembebesan Irian Barat di Jakarta pada 18 November 1957. Pada hari yang sama gerakan pemogokan buruh mulai berjalan berbarengan dengan menasionalisasi perusahaan Belanda.

Gerakan anti Belanda itu juga termasuk dengan pelarangan semua film berbahasa Belanda. Maskapai penerbangan Belanda, KLM, dilarang mendarat di seluruh bandara di Indonesia.

Di dunia pendidikan, kebijakan anti Belanda juga mulai terasa. Jurusan Sejarah Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran yang dipimpin R. Mohammad Ali dibubarkan oleh Dekan karena mempertahankan adanya Mata Kuliah Bahasa Belanda sebagai Bahasa Sumber Sejarah. 

Belum Bisa Mencapai yang Diinginkan

Upaya konsolidasi nasional terus berlanjut. Salah satu manifestasinya adalah dengan membentuk Dewan nasional. Pada Mei 1957 Pemerintah Djuanda telah berhasil membentuk Dewan Nasional yang diketuai Presiden Sukarno sendiri. Dewan ini beranggotakan golongan fungsional, buruh, tani, pengusaham dan golongan perwira Militer.

Dewan Nasional selain berfungsi mendampingi dan memberi kewibawaan kabinet, juga sebagai jembatan antara masyarakat dengan pemerintah.

Seperti termaktub dalam Undang-Undang Darurat No 7 1957 tentang Dewan nasional, tugas Dewan ini adalah memberikan nasehat kepada pemerintah mengenai soal-soal pokok kenegaraan dan kemasyarakatan, baik atas permintaan pemerintah maupun atas inisiatif sendiri, guna melancarkan jalannya roda pemerintahan dan menjaga stabilitas politik menuju pembangunan negara.

Sementara itu pergolakan daerah terus berlangsung dan semakin kuat. Keadaan ekonomi semakin kacau, akibat situasi politik yang tidak stabil.

Untuk mengatasi situasi itu, Dewan Nasional mengusulkan agar mengadakan Musyawarah Nasional (Munas) sebagai upaya menghindari perpecahan nasional dan menyelesaikan masalah pertentangan antara daerah.

Namun sayangnya Munas yang berlanguns pada 9-14 September 1957 di Jakarta ini belum menciptakan kerukunan nasional, karena wakil-wakil daerah lebih menekankan pada masalah pemulihan kepemimpinan Dwitunggal Sukarno-Hatta. Namun upaya tersebut sia-sia karena perbedaan pandangan dan sikap antara kedua pemimpin itu sudah terlalu jauh.

Setelah gagal di Munas, upaya masih terus berjalan dengan digelarnya Musyawarah nasional Pembangunan (Munap). Namun Munap itu kembali berakhir dengan tiada arti. Golongan yang menuntut Hatta dikembalikan ke dalam pemerintahan tak dikabulkan.

Hal itu justru malah menyulut pembangkangan daerah-daerah memuncak. Pada panglima pemberontak di Sumatera dan Sulawesi bertemu dengan para pemimpin politik seperti Natsir, Sjafruddin prawiranegara, dan tokoh lainnya pada Januari 1958. Mereka berencana membentuk pemerintahan alternatif Indonesia yang baru. Sfajruddin ditunjuk sebagai Perdana Menterinya.

Mereka lantas menuntut agar kabinet Djuanda dibubarkan dan membentuk kabinet kerja nasional yang akan bekerja sampai pemilu mendatang. Namun usul itu tak digubris. Para pemberontak ini akhirnya membentuk Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI). Namun Bung Hatta sendiri orang yang mereka dukung ini tidak merestui pembentukan pemerintahan tersebut.

Pada dasarnya, pertentangan dasar yang terjadi negara Republik Indonesia yang masih seumur jagung itu adalah tentang bentuk pemerintahan dan sistemnya. Golongan Hatta pada intinya menginginkan bentuk pemerintahan Parlementer, sementara Sukarno mengingkan Presidensiil dengan konsepsi demokrasi terpimpinnya.

Alhasil perdebatan pada tatanan ideologi itu terus berlangsung sampai berdampak pada tatanan taktis yakni munculnya pemberontakan-pemberontakan yang ada.

Sampai presiden mengeluarkan Dekrit 5 Juli 1959 yang akan memberlakukan kembali UUD 1945, otomatis, Kabinet Djuanda yang berdiri di atas konstitusi UUD Sementara 1950 otomatis bubar. Demokrasi parlementer yang berlaku sejak 1950 itu telah berganti dengan sistem demokrasi terpimpinnya ala Sukarno. Tujuan Sukarno memang telah tercapai saat berakhirnya Zaken Kabinet, namun persatuan nasional Indonesia masih panjang ceritanya. Alias belum terwujud pada saat itu.