Bagikan:

JAKARTA – Sejarah hari ini, 61 tahun yang lalu, 19 Januari 1962, Mohammad Hatta bersurat kepada teman dekatnya Soekarno. Isinya Hatta mengkritik langkah Soekarno yang kerap menggunakan ego kekuasaan untuk memukul mundur lawan politiknya. Hatta mengambil contoh penangkapan Sutan Sjahrir.

Sebelumnya, Bung karno dan Hatta adalah Dwitunggal kebanggaan bangsa Indonesia. Keduanya dianggap ikon perjuangan banga Indonesia melepas belenggu penjajahan. Mereka lalu didaulat sebagai Presiden dan Wakil Presiden Indonesia yang pertama.

Soekarno dan hatta adalah dua figur penting dalam tumbuh kembang sejarah bangsa Indonesia. kepemimpinan keduanya kerap diramal akan membawa Indonesia ke arah lebih baik. Apalagi wujud pengorbanan keduanya dalam memerdekakan bangsa Indonesia tiada dua.

Mereka bergotong royong untuk menelurkan kebijakan yang mampu mensejahterakan rakyat Indonesia. Kemesraan itu bertahan dalam waktu yang cukup lama. Belakangan, masalah muncul. Soekarno dan Hatta kerap berdebat hebat keduanya kerap bersilih hebat.

Hatta menganggap Soekarno tumbuh menjadi pribadi yang egois. Ide-idenya dalam memimpin diakui Hatta selalu baik. Namun, langkah yang diambil Soekarno cenderung menjauhkan tujuan itu. Kecenderungan itu hadir dalam berbagai kasus. Apalagi Bung Karno tak mau menerima masukan. Akhirnya, Hatta memilih mengalah. Ia memberikan kesempatan kepada Soekarno untuk menjalankan seluruh kebijakannya. Hatta pun resmi mengundurkan diri sebagai Wakil Presiden Indonesia pada 1 Desember 1956.

Momen keakraban dwitunggal, Soekarno-Hatta era 1950-an. (ANRI)

“Hatta memutuskan untuk mengundurkan diri. Pada 20 Juli 1956, Hatta mengirim surat kepada DPR dan ditembuskan kepada Presiden Soekarno dan Dewan Menteri. Tetapi surat itu tidak diperhatikan oleh DPR. Akhirnya Hatta mengirim surat lagi pada 23 November 1956 dan memberitahukan bahwa terhitung pada 1 Desember 1956 ia akan mengundurkan diri.”

“Pada 30 November 1956 DPR bersidang dan menerima permintaan Hatta tersebut. Sejak saat itu Hatta hidup sebagai warga negara biasa. Kendati demikian bukanlah berarti dia tidak lagi terlibat dalam persoalan-persoalan bangsa. Bila ada hal-hal yang tidak sejalan dengan pikirannya ia tidak segan-segan memberi nasihat kepada pemerintah,” terang Anwar Abbas dalam buku Bung Hatta dan Ekonomi Islam (2010).

Hatta pun menikmati masa-masa pensiunnya sebagai orang nomor dua di Indonesia. Namun, egoisme Soekarno berkali-kali mengganggunya. Puncaknya pada saat Bung Karno mulai melakukan penangkapan kepada lawan politiknya pada 16 januari 1962.

Kala itu Bung Karno melakukan penangkapan kepada Sutan Sjahrir. Hatta pun tak mau menyembunyikan kekesalannya atas keputusan yang Soekarno ambil. Ia langsung menulis surat yang berisi kritik ke Bung Karno pada 19 Januari 1962.

Dari kiri: Sutan Sjahrir, Letkol Van Beek (Komandan KST Yogyakarta), Soekarno, Mohammad Hatta. (nationaalarchiev.nl)

Penangkapan itu dianggap Hatta begitu sembrono. Padahal, Indonesia adalah negara hukum. Alih-alih menggunakan prosedur hukum, Bung Karno justru menjadikan Indonesia mengikuti nafsu kekuasaannya belaka.

“Menurut Hamid Algandri, mulanya dalam surat itu Bung Hatta menamakan tindakan Presiden itu suatu tindakan kolonial. Akan tetapi kemudian redaksi itu diubah dan dilunakkan bunyinya. Dalam surat itu Bung Hatta membela keras Sjahrir yang pada hematnya adalah seorang demokrat sejati dan tidak mungkin terlibat dalam sesuatu kegiatan teroris seperti yang disangkakan atau dituduhkan oleh Presiden.”

“Kepada Bung Hatta sebelum itu ditanyakan apakah tidak baik dia bicara sendiri dengan Presiden tentang hal itu? Bung Hatta menjawab: Belum waktunya. Jadi, pengiriman surat Bung Hatta kepada Presiden itu boleh dianggap sebagai hal yang maksimal dapat dilakukan Hatta dewasa ini.,” ungkap Rosihan Anwar dalam buku Sukarno, Tentara, PKI: Segitiga Kekuasaan sebelum Prahara Politik 1961-1965 (2006).