JAKARTA - Sepak bola dianggap permainan elitis di zaman penjajahan Belanda. Mereka yang boleh bermain bola dengan layak hanya orang kulit putih saja. Kaum bumiputra seakan tak memiliki akses bermain bola. Sekali bermain, kaum bumiputra jadi sasaran ejekan rasis.
Namun, kaum bumiputra --utamanya pendiri bangsa-- mendobraknya. Mereka jadikan sepak bola sebagai alat melawan penjajahan: perekat persatuan. Narasi itu makin paripurna ketika Soeratin Sosrosoegondo membentuk Persatuan Sepak Bola Indonesia (PSSI).
Sederet pendiri bangsa Indonesia masuk dalam kategori pengemar sepak bola sejati. Soekarno dan Hatta terutama. Keduanya tercatat menggemari sepak bola sejak masih berstatus anak sekolah. Kegemaran itu membuat mereka menyaksikan langsung rasisme orang Belanda kepada kaum bumiputra yang bermain bola.
Kaum bumiputra yang bermain bola dianggap hina. Apalagi sepak bola kala itu laksana ‘monopoli’ orang Belanda saja. Rasisme itulah yang membuat Soekarno dan Hatta mendobrak narasi yang ada. Keduanya justru menganggap sepak bola adalah ruang yang mampu mempersatukan kaum bumiputra. Sebuah ruang untuk melawan rasisme dan penjajahan Belanda.
Pewujudan perlawanan terhadap penjajah Belanda dalam sepak bola ditunjukkan juga oleh tokoh Betawi, Mohammad Husni Thamrin dan tokoh Bumi Pasundan Otto Iskandar Dinata. Mereka mendobrak narasi bahwa “sepak bola hanya untuk kaum kulit putih”.
Keduanya membuka akses lebar-lebar untuk bumiputra dapat bermain sepak bola. Apalagi kala Belanda tak memberikan akses menggunakan lapangan latihan sepak bola miliknya. Lapangan sepak bola pun didirikan. Langkah itu sebagai bentuk keseriusan keduanya melirik sepak bola sebagai alat perlawanan.
“Dalam kasus Persija dan Persib pun sebetulnya ada fakta menarik. Pendiri klub masing-masing, Muhammad Husni Thamrin di Persija dan Otto Iskandar Dinata di Persib Bandung adalah sahabat. Keduanya sama-sama menjadikan sepak bola sebagai alat perjuangan untuk melawan penjajahan kolonial Belanda.”
“Dua klub itu merupakan salah dua dari tujuh klub yang membidani lahirya PSSI. VIJ nama Persija dulu dan Persib adalah saudara kembar dalam PSSI. Thamrin merepresentasikan VIJ, sementara Otto merupakan representasi dari persepakbolaan Bandung,” ujar Lutjfie Febrianto dalam buku Luar Dalam Sepak Bola (2019).
Soeratin Dirikan PSSI
Semangat kaum bumiputra bermain sepak bola semakin meninggi kala klub-klub lokal mulai berdiri. Apalagi kuasa pendirian itu dikuatkan dengan kehadiran Kongres Pemuda II pada 28 Oktober 1928 yang melahirkan Sumpah Pemuda. Bertumpah darah, berbangsa, dan berbahasa satu: Indonesia.
Sumpah Pemuda lalu menjadi pemantik semangat kaum bumiputra untuk berkontribusi –lewat gerakan apapun-- melepas belenggu penjajahan. Soeratin Sosrosoegondo, misalnya. Insinyur yang gemar bermain bola itu tak ingin melihat sepak bola hanya jadi ‘monopoli’ kaum kulit putih saja.
Ia pun ingin membuat suatu wadah untuk merekatkan persatuan kaum bumiputra. sebagaimana orang Belanda dan China mendirikan payung yang mewadahi klub etnis masing-masing. Soeratin justru kepikiran untuk menyatukan seluruh klub bola kaum bumiputra dalam satu payung.
Petinggi klub sepak bola bumiputra di seantero negeri didatangi olehnya. Dari VIJ hingga Soerabajashe Indonesische Voetbal Bond (SIVB). Akses itu ia dapatkan dari rekan-rekannya yang ikut dalam gerakan memerdekakan bangsa Indonesia. Hasilnya mengagumkan. Soeratin dapat mengumpul segenap petinggi/perwakilan klub bola bumiputra untuk melangsungkan kongres di Yogyakarta, pada 19 April 1930.
Pertemuan itu menghasilkan sebuah keputusan berharga. Sebuah wadah sepak bola Nusantara pun terlahir. Persatoean Sepakraga Seloeroeh Indonesia (PSSI), namanya. Soeratin didaulat sebagai ketua PSSI yang pertama.
PSSI pun muncul sebagai pemutus dominasi orang Belanda terhadap olahraga sepak bola di Hindia Belanda (kini: Indonesia). Akhirnya, PSSI baru mengubah nama secara paripurna menjadi Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia pada 1950.
“Dari sekelumit cerita di atas dapat kita ambil kesimpulan bahwa PSSI sendiri pada awalnya didirikan sebagai alat pemersatu dan pejuangan untuk melawan penjajah. Yaitu sebagai bentuk perlawanan terhadap diskriminasi yang dilakukan oleh Nederlandsch Indische Voetbal Unie (NIVU) milik bangsa Belanda, dan juga Hwa Nan Voetbal Bond (HNVB) milik etnis Tionghoa, kepada pemuda-pemuda pribumi dalam hal bermain sepak bola.”
“Di samping itu, PSSI juga digunakan sebagai sarana memupuk rasa nasionalisme para pemuda. Tujuannya untuk memperjuangkan bangsa dan negara yang mereka cintai,” terang pesepakbola kesohor Indonesia, Bambang Pamungkas dalam buku Bepe20 Pride (2014).