Bagikan:

JAKARTA - Jakarta International Container Terminal (JICT) adalah elemen penting bagi ekonomi Nusantara. Kiprah JICT dalam kegiatan ekspor-impor tak bisa dianggap sepele. Pada 2017 JICT dikembangkan hingga jadi terminal peti kemas terbesar di Indonesia. Satu harinya, ada 12 ribu unit truk pengangkut peti kemas beraktivitas di JICT.

Berdasar sejarah, JICT tak terlepas dari peran Perum Pelabuhan II, yang kala itu mengelola pelabuhan milik pemerintah. Perum Pelabuhan II yang bersalin nama menjadi PT Pelabuhan Indonesia II/ Pelindo II telah mengoperasikan 12 pelabuhan di Indonesia. Melansir laman Binus, selain mengelola pelabuhan, Pelindo II kemudian memiliki beberapa anak cabang perusahaan.

Alhasil, JICT menjadi salah satu satu dari empat terminal pelayanan peti kemas ekspor-impor yang dimiliki Pelindo II. Empat terminal itu antara lain, JICT, Terminal Petikemas Koja (TPK Koja), Mustika Alam Lestari (MAL), dan Multi Terminal Indonesia (MTI).

Setelahnya, sejak pertama berdiri, JICT terus menerus menorehkan prestasi. Tercatat, lebih dari 25 negara telah menggunakan jasa layanan JICT yang terintegrasi oleh lebih dari 20 perusahaan hingga saat itu.

Keunggulan itu karena JICT dalam satu waktu dapat leluasa melakukan aktivitas, dari kontainer dibongkar dari kapal hingga kontainer keluar dari kawasan pelabuhan (gate out). Apalagi, hal itu didukung pula oleh luas JICT yang mencapai total area 100 hektare.

JICT dapat melayani 35-40 kapal setiap minggunya. Ditambah lagi, dengan hadirnya sistem integrasi pelabuhan selama 24 jam. Sistem itulah yang memungkin JICT dpaat mencetak banyak sejarah dalam kancah ekonomi nasional.

Salah satunya, JICT mencetak sejarah sebagai pelabuhan prima yang menghasilkan 27-30 Mph --gerakan per jam-- untuk dapat menangani satu kapal. Kesuksesan JICT menangani satu kapal ini dibuktikan saat kapal terbesar CMA CGM Otello, yang notabenenya milik perusahaan pelayaran Prancis berlabuh di pelabuhan peti kemas JICT pada 2017.

Senapas dengan kunjungan kapal CMA CGM, JICT kemudian membuka layanan baru rute Pelabuhan Tanjung Priok ke West Coast (Los Angeles & Oakland), Amerika Serikat. Layanan itu dimaksudkan untuk mengoptimalkan produktivitas eksportir dan importir di Indonesia. Semua itu demi memutar roda ekenomi bangsa, terutama memberi kehidupan bagi para pekerjanya.

“Bagi para pekerjanya, PT Jakarta International Container Terminal (JICT), tak sekadar tempat mengais rezeki. Pelabuhan peti kemas terbesar di Indonesia itu telah dianggap sebagai simbol kedaulatan dan juga muruah bangsa Indonesia. Karena itu, mereka merasa memiliki tanggung jawab yang besar untuk menjaga gerbang kedaulatan tersebut dari jamahan pihak-pihak yang menangguk untung belaka,” tulis Md Aminuddin dan Ahmad Khoirul Fata dalam buku Melawan Konspirasi Global di Teluk Jakarta (2018).

Bermula dari Pelabuhan Tanjung Priok

Eksistensi JICT hampir pasti tak akan hadir dalam peta nasional jika pemerintah kolonial Belanda tak segera memindahkan pelabuhan utama ke Pelabuhan Tanjung Priok. Berkat perpindahan dari Pelabuhan Sunda Kelapa ke Tanjung Priok itulah kawasan utara Jakarta jadi denyut nadi perekonomian Indonesia kala itu

Pembangunan Pelabuhan Tanjung Priok pada 1877 jadi tonggak utamanya. Alasan pembangunan Pelabuhan Tanjung Priok adalah karena Pelabuhan Sunda Kelapa yang mengalami pendangkalan. Kompeni pusing. Kapal-kapal uap tak mampu lagi bersandar di sana, hingga mereka yang berlayar dari mancanegara harus bersandar jauh di tepi pantai.

Akibatnya, bongkar muat barang membutuhkan waktu yang sangat lama karena harus diangkat dengan perahu terlebih dahulu. Dikutip Alwi Shahab dalam buku Waktu Belanda Mabuk Lahirlah Batavia (2013), lantaran segala problema yang ada, kompeni lalu memutuskan memindahkan Pelabuhan Sunda Kelapa.

Dan terpilihlah kawasan Tanjung priok sebagai penggantinya. Walau jaraknya cukup jauh, sekitar 7 kilometer, Kompeni merasa hal itu merupakan opsi yang paling baik karena Terusan Suez, yang dapat mempersingkat perjalanan kapal telah dibuka pada 1869.

“Pada 1868, ketika Terusan Suez dibuka, yang mempersingkat pelayaran samudera dari Eropa ke Asia serta munculnya kapal-kapal uap, berpengaruh pada Batavia. Kota yang dibangun Jan Pieterszoon Coen kemudian ramai didatangi pendatang dari Eropa. Demikian pula dengan kapal-kapal samudra yang bongkar muat. Dibangunnya Pelabuhan Tanjung Priok bersamaan dengan pelabuhan SIngapura yang dibangun Raffles tahun 1819,” ungkap salah satu tokoh penting dalam penulisan sejarah Jakarta, Alwi Shahab.

Kemunculan pelabuhan Tanjung Priok kemudian menempati posisi utama dalam urusan impor-ekspor Jawa Barat. Saking ramainya, Tonase kapal-kapal sangat meningkat selama bertahun-tahun. Untuk itu, Pelabuhan Tanjung Priok diperluas kembali pada 1912. Hal itu tak lain karena hampir 200 kapal pada tahun tersebut menanti giliran untuk bersandar. Lebih lengkapnya kami pernah mengulas dalam tulisan “Mahapenting Pelabuhan Tanjung Priok untuk Batavia”.

“Berkaitan dengan ekspor, hampir seluruh pengiriman teh Jawa dan produk-produk kina berlangsung di pelabuhan ini. Sedangkan untuk karet dan olahan minyak nabati, Tanjung Priok juga menempati tempat pertama di antara pelabuhan-pelabuhan Jawa lain. Pemindahan muatan beberapa produk, di antaranya timah Bangka, lada dan beberapa produk kayu dari pulau-pulau Luar, juga berlangsung di sini,” tulis Dr. J. Stroomberg dalam buku Hindia-Belanda 1930 (2018).

Kondisi Tanjung Priok sebagai denyut nadi di utara Jakarta bahkan masih berlangsung hingga hari ini. Eksistensi itu ditunjang oleh hadirnya terminal peti kemas terbesar di Indonesia, JICT. Lantaran itu, Muruah Priok sebagai kawasan penting di utara Jakarta tetap terjaga. Sebab, ada perputaran uang ekonomi begitu besar yang hadir di Pelabuhan Tanjung Priok maupun JICT.