Ketika Presiden  Soekarno Sarankan Baby Huwae dan Hoegeng Ganti Nama
Presiden Soekarno dikenal sebagai pribadi yang ramah dan terbuka, sehingga mampu melebur dengan banyak lapisan masyarakat. (Arsip Nasional)

Bagikan:

JAKARTA - Presiden Soekarno adalah sosok yang mampu melebur kepada semua pihak. Ia berkawan dan berguru tanpa pandang bulu. Alias tiada sekat yang dibangun. Karisma itu buat Bung Karno mudah akrab dengan siapa saja. Baby Huwae dan “polisi jujur” Hoegeng Imam Santoso jadi saksinya.

Kedekatan itu membuat Bung Karno berani menyarankan keduanya untuk berganti nama. Baginya, nama harus selaras dengan jiwa. Baby Huwae pun senang dengan nama pemberian Soekarno. Sedang Hoegeng sebaliknya. Ia menolak.

Sebuah nama memiliki arti. Itulah yang Bung Karno dan keluarganya amini sejak dulu. Dahulu, Bung Karno diberikan nama kecil, Koesno Sosrodihardjo. Nama itu nyatanya tak membawa keberkahan dalam hidup Bung Karno. Ia sering sakit-sakitan. Karenanya, kedua orang tua Soekarno memilih untuk mengganti nama sang anak.

Presiden RI pertama, Soekarno. (geheugen.delpher.nl)

Nama Soekarno pun muncul ke permukaan. Sebuah nama yang diadaptasi dari cerita pewayangan Mahabharata. Pemberian nama Soekarno pun sesuai dengan mimpi orang tuanya supaya anaknya memiliki karakter yang berani, kuat, dan sakti mandraguna. Bak seorang panglima bernama Karna dalam kisah Perang Bharatayuddha.

Ajian itu berhasil. Ia tumbuh menjadi sosok yang berpengaruh, seperti mimpi orang tuanya. Keberhasilannya mengganti nama membuat Soekarno sering memberikan saran mengubah nama kepada orang lainnya. Artis lawas Baby Huwae, misalnya. Sejak awal perjumpaannya dengan Baby Huwae, Bung Karno telah merasa ada kejanggalan dari nama yang tersemat pada wanita cantik itu.

Model dan aktris Indonesia keturunan Jerman, Baby Huwae yang oleh Presiden Soekarno diberi nama Lukita Purnamasari. (Wikimedia Commons)

Nama Baby tak ubahnya adaptasi dari sifat bayi, pikirnya. Baby Huwae pun tak mengelak. Ia menjelaskan ketika dirinya lahir, orang tuanya tak memiliki persediaan nama untuk anak wanita. Sebab, orang tuanya berharap memiliki anak laki-laki. Secara spontan lalu nama Baby (bahasa Indonesia: bayi) dipilih orang tuanya.      

“Bapak terus tertawa. Saya merasa mangkel karena bapak nadanya membela orang asing tadi. Saya menangis. Baru persoalan begitu menangis, ucap Bung Karno. Berarti nama kamu, harus diganti. Baby itu memang suka nangis. Nama itu punya pengaruh besar. menurut Shakespeare: What’s in a name, tapi menurut saya: everything is a name.”

“Karena nama itu memberi pengaruh, mewarnai jalan hidup kita, jadi nama itu harus diubah. Terus bapak berpikir sebentar, tak ada 10 menit, lalu katanya: mana mas Bambang Widjanarko (ajudan Bung Karno). Mas Bambang Widjanarko yang bereda di situ terus mendekat. Catat, katanya pada mas Bambang. Mas Bambang mencatat. Nama baru bagi Baby Huwae: Lukita Purnamasari,” ungkap Baby Huwae sebagaimana tertulis dalam buku Bung Karno: Perginya Seorang Kekasih, Suamiku, & Kebanggaanku (1978).

Hoegeng Menolak

Bukan cuma Baby Huwae yang ditawari nama baru oleh Soekarno. Sosok lain yang ikut ditawari Bung Karno adalah Hoegeng Imam Santoso (kelak: Kapolri). Hoegeng yang notabene lulusan pertama Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK) mendapatkan kesempatan berjumpa Soekarno di Istana Merdeka pada 1952.

Pada pertemuan itu, Soekarno menaruh perhatian besar kepada seluruh lulusan PTIK. Ia berharap semua lulusan PTIK dapat membawa nama Indonesia besar pada kemudian hari. Bung Karno pun dengan kharismanya mengajak seluruh lulusan berbicara satu-persatu. Seperti biasa, Bung Karno mampu merebut perhatian orang-orang yang berbicara dengannya. Termasuk Hoegeng.

Perjumpaan Hoegeng dengan Soekarno di Istana Merdeka itu terasa spesial. Apalagi, Bung Karno tak cuma berbicara langsung kali pertama dengan Hoegeng. Bung Karno justru menanyakan perihal nama Hoegeng. Nama itu menurut Bung Karno tak memiliki arti. Alias bukan nama Jawa.

Mantan Kapolri, Jenderal Hoegeng Imam Santoso menolak namanya diganti oleh Presiden Soekarno. (Instagram/@jendralhoegeng)

Soekarno menyarankan kepada Hoegeng untuk segera mengganti nama. Nama yang disarankan oleh Bung Besar adalah seperti namanya sendiri: Soekarno. Namun, Hoegeng menolaknya. Hoegeng berkelakar bahwa nama itu sudah dimiliki oleh pembantunya. Lebih lagi, nama Hoegeng adalah pemberian orang tuanya. Alih-alih marah, kelakar Hoegeng justru buat Bung Karno tertawa keras. Bung Karno senang dengan Hoegeng yang humoris.

“Saya merasa terdesak juga oleh kewibawaan dan sikap kebapakan Bung Karno. Tapi tak ada niat sedikit pun untuk mengganti nama saya. Maklumlah pemberian orang tua atau diakui orang tua, terutama ayah saya yang sudah meninggal. Tentunya rumit juga bagi saya untuk berdebat atau menolak keinginan Bung Karno yang nampak serius itu.”

“Karena itu dalam batok kepala saya membersitkan akal atau gaya Pekalongam. Saya tertawa lalu nyerocos seenak dengkul saya: ya nama Hoegeng itu saya dapat dari saya punya orang tua. Kalau saya berganti nama Soekarno pula, sedangkan pembantu rumah tangga saya namanya Soekarno juga,” ungkap Hoegeng sebagaimana ditulis Abrar Yusra dan Ramadhan K.H. dalam buku Hoegeng: Polisi Idaman dan Kenyataan (1993).