Karel Albert Rudolf Bosscha: Konglomerat Belanda Sang Pencerah Kaum Papa
Karel Albert Rudolf Bosscha (Sumber/Ilustrasi: Wikimedia Commons/Raga Granada)

Bagikan:

JAKARTA - Tak seperti pengusaha Belanda kebanyakan di era kolonialisme yang hobi menimbun kekayaan, Karel Albert Rudolf Bosscha adalah antitesisnya. Ia dikenal sebagai konglomerat yang pro kaum papa. Kekayaannya mengalir kepada masyarakat lewat ilmu pengetahuan. Selain membangun sekolah, ia juga membuat laboratorium yang mendorong perkembangan ilmu bintang.

Semua bermula saat Pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan Undang-Undang Agraria pada April 1870. Hal itu membuat para pengusaha berbondong-bondong membuka lahan perkebunan, tak terkecuali Bosscha, Belanda keturunan Jerman ini melebarkan usaha perkebunan teh Malabar warisan sepupunya di wilayah Pangalengan, Jawa Barat. 

Pria yang lahir di Den Haag, Belanda pada 15 Mei 1865 ini merupakan seorang konglomerat. Dalam buku All About Tea dijelaskan Bosscha bukan cuma juragan pemilik kebun teh seluas Kecamatan Pangalengan, melainkan menjadi pelopor utama perusahaan pertanian dan industri lainnya, antara lain Perusahaan Listrik Bandoeng dan pabrik pembuat bahan peledak di dekat Batavia.

Selain perkebunan teh yang terhampar luas, Bosscha juga menguasai alat produksi dengan memiliki pabrik pengolahannya. Daun teh yang baru dipetik dan masih segar nantinya dapat langsung diolah langsung karena letak pabrik yang berada di tengah perkebunan. Terdapat juga menara di Gunung Nini yang digunakan sebagai pengawasan pemetikan daun teh dan juga tempat istirahat. 

Dataran tinggi Pangelengan dengan iklim dan tanahnya yang mendukung untuk berkebun teh ditambah upah murah warga bumiputra membuat Bosscha meraup untung besar. Belum lagi saat itu tren mengonsumsi teh pada periode Kemakmuran 1890 membuat permintaan teh membludak. Hal itu membuat kekayaannya semakin berlimpah. Namun kekayan itu tak membuatnya lupa daratan.

Mengutip Bosscha.id, Bosscha dikenal sebagai sosok yang dermawan oleh para pekerjanya. Ia mendirikan sekolah di perkebunan, yang diperuntukan bagi anak-anak yang orangtuanya bekerja di kebun. Nama sekolahnya Vervoloog Malabar. Anak-anak yang bersekolah di sana tak tidak dipungut biaya. 

Diharapkan anak-anak tersebut mampu belajar setingkat sekolah dasar selama empat tahun. Sekolah dasar tersebut masih berdiri hingga kini.  

“K.A.R. Bosscha, raja teh, salah satu orang Belanda terkaya di koloni itu. Bosscha tinggal di pekarangannya di Malabar, sebuah bukit dekat Bandung dan Lembang,” kata Mrazek dalam Engineers of Happy Land: Perkembangan Teknologi dan Nasionalisme di Sebuah Koloni.

Adanya perkebunan teh tersebut juga menyerap tenaga kerja dari masyarakat sekitar. Pada awal perkebunan dibuka, banyak masyarakat yang berpindah ke daerah-daerah perkebunan agar mendapat pekerjaan. Hal tersebut menyebabkan berdirinya kampung-kampung pekerja di sekitar perkebunan. Para pekerja bekerja dari Senin sampai Sabtu, dari pukul 6 pagi hingga sore hari. 

Observatorium Bosscha 

Bosscha adalah seorang pengusaha dermawan yang punya daya tarik tinggi terhadap ilmu pengetahuan. Tak heran, sebab ilmu pengetahuan paralel dengan kesejahteraan. 

Selain mendirikan sekolah, Bosscha juga ikut serta dalam mendirikan Technische Hogeschool Bandoeng atau yang sekarang dikenal Institut Teknologi Bandung (ITB). Bosscha menyumbang laboratorium fisika dan menjadi penyantun Technische Hogeschool Bandoeng  hingga akhir hayatnya. 

Selain itu, Bosscha juga menjadi perintis berdirinya pembangunan teropong bintang raksasa di Lembang yang kini dikenal dengan Observatorium Bosscha. Bangunan itu dibuat sejalan dengan keinginan Pemerintah Hindia-Belanda mengembangkan ilmu astronomi atau ilmu bintang. 

Pada rapat pertama Nederlandsch-Indische Sterrenkundige Vereeniging atau perhimpunan bintang Hindia-Belanda, Bosscha bersedia menjadi penyandang dana utama dan memberi bantuan pembelian teropong bintang. Bersama koleganya, Bosscha mengusahakan pembelian teropong bintang raksasa dari Jerman yang harganya selangit. 

Perlu sekitar 5 tahun untuk membangun observatorium tersebut yakni dari 1923 hingga 1928. Panjangnya proses pembangunan membuat Bosscha tak sempat menikmati hasil jerih payahnya, pasalnya ia meninggal dunia pada 26 November 1928. Peneropongan bintang ini merupakan peninggalan Bosscha paling penting karena mendorong perkembangan ilmu pengetahuan di Hindia-Belanda. 

Setelah Bosscha wafat, observatorium ini dikelola oleh NISV dan berhasil menerbitkan publikasi internasionalnya pada 1933. Singkat cerita pada 1951, NISV memberikan observatorium ini kepada pemerintah Indonesia yang hingga kini dikelola oleh ITB. Itu menjadi salah satu warisan terbesarnya kepada rakyat Indonesia yang berkontribusi terhadap perkembangan ilmu pengetahuan sampai sekarang.