Bagikan:

JAKARTA - Hoegeng Imam Santoso adalah pribadi yang haus akan ilmu pengetahuan. Ia yang kemudian jadi jenderal polisi tak saja puas dengan pendidikan polisi era Jepang, tapi ia justru memilih kembali mengabdi sebagai mahasiswa Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK) selepas Indonesia merdeka.

Ia pun mendapatkan kesempatan melanggengkan studi banding ke Amerika Serikat (AS). Kesempatan itu tak disia-siakan oleh Hoegeng. Ia belajar banyak hal. Utamanya, perihal bagaimana Kepolisian AS mengusut pelaku dalam tabrak lari.

Perihal mimpi, Hoegeng tak pernah memiliki keraguan. Ia ingin berkarier sebagai seorang yang mampu membantu orang banyak. Ia pun bercita-cita jadi seorang polisi. Mimpi itu dilanggengkan karena melihat gagahnya seorang polisi menegakkan keadilan.

Namun, jalan Hoegeng menjadi polisi tak mulus-mulus saja. Sebab, ia  justru menempuh pendidikan di Sekolah Tinggi Hukum, Rechtshoogeschool Batavia (kini: Jakarta). Hoegeng mematangkan pengetahuannya terkait hukum. Pun ia turut pula bergabung dalam diskusi-diskusi politik dengan pejuang kemerdekaan.

Jauh panggang dari api. Sekolah Hoegeng jadi berantakan karena kedatangan penjajah Jepang pada 1942. Mereka menutup sebagian besar perguruan tinggi di Batavia. Aksi itu membuat Hoegeng memilih pulang kampung ke Pekalongan.

Hoegeng Imam Santoso sebagai Kapolri saat mengawasi latihan upacara di Lapangan Mabes Polri, Jakarta. (kompolnas.go.id)

Di sana, Hoegeng merajut mimpi sebagai polisi. Ia pun mengikuti pelatihan polisi yang diadakan oleh Jepang. Kemudian, saat Indonesia merdeka, atas rekomendasi Kapolri R.S. Soekanto, Hoegeng turut menuntut ilmu di Akademi Polisi (kemudian jadi PTIK) di Mertoyudan, Magelang dan pindah ke Jakarta.

Ia pun mendapatkan banyak pengetahuan baru di PTIK. Hal-hal terkait tugas intelejen jadi pelajaran yang paling disukainya. Bahkan, upaya intelejen kerap ia langgengkan dalam menjalankan tugasnya sebagai polisi dikemudian hari.

“Saat pindah ke Jakarta, Hoegeng dengan pangkat AKP (Ajun Komisaris Polisi), lebih banyak menjalankan tugas selaku polisi reguler, seperti diperbantukan pada bagian lalu lintas dan Humas di MABAK (Kini: Mabes Polri). Status Hoegeng sebagai mahasiswa sementara tertunda.”

“Sebab PTIK memang belum melaksanakan perkuliahan karena ketiadaan tempat. Hoegeng adalah angkatan pertama PTIK. Dengan sendirinya banyak terlibat langsung dalam proses pembentukan, dan pemantapannya di tahun-tahun awal. Hoegeng pula yang mendesain lambang PTIK, karena kepandaiannya melukis,” ungkap Aris Santoso dan kawan-kawan dalam buku Hoegeng: Oase Menyejukkan di Tengah Perilaku Koruptif Para Pemimpin Bangsa (2008).

Belajar Usut Tabrak Lari di AS

Kesempatan menimba ilmu di PTIK tak disia-siakan Hoegeng Imam Santoso. Ketekunannya berbuah manis. Ia menjadi salah satu mahasiswa PTIK yang mendapatkan kesempatan studi banding ke AS. Ia berkunjung ke berbagai macam kota besar di AS pada 1950. Dari San Francisco hingga New York.

Kesempatan itu digunakan Hoegeng untuk mempelajari lebih jauh terkait Kepolisian AS. Dari mulai struktur organisasi kepolisian, senjata, hingga pelatihan polisi. Kesempatan mempelajari hadir pada tiap kota yang dijelajahi.

Studi banding itu mampu menambah wawasan Hoegeng. Apalagi studi banding ke AS jadi bekal berguna saat kelak ia terjun ke masyarakat. Pemahaman Hoegeng terkait pentingnya laboratorium kriminal di tiap wilayah jadi meningkat.  

Kehadiran laboratorium kriminal dianggap mampu menjadi ujung tombak yang dapat mengungkap banyak kasus. Urusan kasus tabrak lari, misalnya. Perihal itu Hoegeng menaruh perhatian serius. Sebab, ia boleh jadi setamat PTIK ditugaskan di kota-kota besar Indonesia.

Setelah pensiun dari kepolisian, Hoegeng Imam Santoso banyak beraktivitas di bidang seni. (Instagram)

Kasus tabrak lari adalah hal yang tak dapat dihindarkan. Hoegeng pun mengaku kagum dengan laboratorium kriminal modern di Kepolisian AS. Kepolisian AS hanya butuh jejak ban saja untuk dapat melacak pelaku tabrak lari. Bekal itu membuat Hoegeng mementingkan kehadiran laboratorium kriminal modern ketika kelak ia menjabat sebagai Kapolri.

“Yang juga mengesankan saya adalah begitu majunya laboratorium Kepolisian Amerika dewasa itu. penelitian laboratorium kriminal, misalnya, mempunyai peralatan yang lengkap dan canggih. Dengan meneliti ban mobil saja, misalnya, maka adalah mungkin untuk melecak seseorang pelaku dalam suatu kasus tabrak lari.”

“Selain itu Kepolisian Amerika memiliki basis dan wawasan pengetauan ilmiah yang luas, sehingga mendidik mereka sebagai polisi yang baik, yang menghargai tinggi nilai-nilai kemerdekaan dan HAM dalam kehidupan manusia dan masyarakat,” terang Hoegeng sebagaimana ditulis Abrar Yusra dan Ramadhan K.H. dalam buku Hoegeng: Polisi Idaman dan kenyataan (1993).