JAKARTA - Nyala semangat Soekarno memerdekakan kaum bumiputra tiada dua. Narasi kemerdekaan Indonesia ia gaungkan di mana-mana. Belanda kewalahan. Penjajah lalu memilih opsi instan -- memenjarakan Bung Karno. Dari Penjara Banceuy hingga Sukamiskin.
Nyatanya, semangat Bung Besar tak padam. Ia terus belajar dan bergerak dari dalam penjara. Semua berkat andil istrinya, Inggit Garnasih. Segala macam informasi dari dunia luar diselundupkan Inggit lewat Al Quran kepada suaminya di Penjara Sukamiskin.
Rasisme dan penindasan terlihat sepanjang sejarah penjajahan Belanda di Nusantara. Mereka menjadikan kaum bumiputra yang notabene tuan rumah bak pelayan. Kaum bumiputra hanya dijadikan alat pemerintah kolonial memperoleh keuntungan. Sedang nasib kaum bumiputra tak dipedulikan.
Fakta itu membuat nurani kalangan pejuang kemerdekaan terbuka. Soekarno, apalagi. Tekadnya melawan penjajahan Belanda telah memanas dari ia masih berstatus mahasiswa Technische Hoogeschool te Bandoeng (kini: Institut Teknologi Bandung) hingga lulus sebagai insinyur.
Saban hari Soekarno menggelorakan semangat anti kolonialisme dan imperialisme dari satu tempat ke tempat lainnya. Laku hidup itu makin menjadi-jadi kala ia dan kawan-kawannya mendirikan Partai Nasional Indonesia (PNI) pada 1927.
Ia tak segan-segan muncul ke podium dan menelanjangi kebiadaban Belanda di muka umum. Sekalipun ia tahu bahwa Belanda telah menyusupkan orang-orangnya. Belanda pun berang. Aktivitas politik Soekarno dibatasi.
Namun, bukan Bung Karno namanya jika kehilangan akal. Aktivitas politiknya terus langgeng. Belanda pun melanggengkan opsi putus asa. Mereka menangkap Soekarno dengan harapan langkahnya berpolitik segera berakhir pada 1930. Ia pun dijebloskan ke Penjara Banceuy, kemudian Penjara Sukamiskin.
“Namun, tokoh favorit Soekarno dari dunia perwayangan adalah Bima. Nama samaran yang sering dia pakai dalam tulisan-tulisannya. Bima adalah anomali di antara para ksatria Pandawa yang bertutur kata halus. Dengan suara baritonnya yang berat, Bima selalu memakai bahasa kasar. Jawa ngoko, bahkan jika bicara dengan para dewa. sebuah isyarat ketidaksopanan, tapi juga keberanian, pemberontakan pada feodalisme, dan ajakan pada egalitarianisme.”
“Di atas panggung, ‘Bima’ (Soekarno) membuat panas kuping pemerintah Hindia Belanda dengan agitasinya, dengan teriakan Indonesianya, dan dengan lagu Indonesia Raya yang diperdengarkan mengawali rapat-rapat akbarnya. Sukarno ditangkap 1930. Namun, persidangannya menjadi pentas lain yang tak kalah dramatisnya. Dia tampil dengan pidato pembelaan yang gemilang, Indonesia Menggugat, yang dibacakannya selama dua hari berturut-turut,” tertulis dalam laporan Majalah Tempo berjudul Soekarno: Seorang Bima, Seorang Hamlet (2001).
Selundupkan Kode Lewat Al Quran
Bung Karno mengakui hidup di penjara begitu nelangsa. Apalagi ketika dipindahkan ke Penjara Sukamiskin. Ia tak dibiarkan bersatu dengan kaum bumiputra lainnya. ia justru ditempatkan dengan orang Belanda yang memiliki kasus kejahatan tingkat tinggi.
Ia diawasi terus-menerus supaya tak melanggengkan agenda politik di penjara. Belanda ingin Bung Karno jera dengan hukuman penjara. Namun, hal yang terjadi sebaliknya. Soekarno kerap mencari cara untuk dapat berhubungan dan mengetahui perkembangan dunia luar.
Peran istrinya, Inggit Garnasih ada di baliknya. Inggit yang kala itu menjadi tulang punggung keluarga jadi satu-satunya tumpuan harapan Bung Karno. Ia bekerja kerap supaya dapat mendukung agenda suaminya memerdekakan kaumnya.
Pucuk dicinta ulam tiba. Inggit mendapatkan jatah dua kali dalam seminggu untuk menjenguk suaminya di Penjara Sukamiskin. Segala macam permintaan dari Soekarno kerap diamini oleh Inggit. Lagi pula Inggit tak pernah kehabisan akal untuk memuluskan keinginan Bung Karno. Dari pengiriman buku-buku hingga uang.
Lebih lagi, Inggit juga tak habis akal dalam mengirimkan informasi keadaan politik dari dunia luar. Ia memanfaatkan Al Quran yang dikirimnya untuk menyelundupkan informasi dunia luar kepada Soekarno. Kode-kode huruf braille sudah buat Inggit di dalam lembaran halaman Al Quran.
Ajian itu berhasil. Tiada yang curiga dengan Al Quran yang dibawa Inggit. Upaya Inggit membuat Bung Karno dapat mengakses informasi perkembangan politik di Hindia Belanda (kini: Indonesia). Selain itu, Al Quran yang dikirim kepadanya menjadi pemantik Soekarno untuk memperdalam ilmunya terkait Islam.
“Isteriku diberi kelonggaran untuk berkunjung hanya dua kali dalam seminggu dan surat-suratku selalu diteliti. Jadi, saluran informasi yang paling banyak bagiku adalah buku-buku agama yang diperkenankan dibawa dari luar. Aku mengakali suatu cara dengan menggunakan lobang-lobang jarum. Umpamakan Inggit mengirimiku Quran pada tanggal 24 April.”
“Aku harus membuka Surah empat halaman 24 dan dengan ujung jari aku meraba dengan teliti. Di bawah huruf-huruf tertentu terdapatlah bintik bekas lobang jarum. Caranya seperti huruf braille. Dibawah huruf A terasa bintik kecil. Dibawah huruf N sebuah bintik lagi dan seterusnya. Dengan jalan demikian aku dapat mengetahui isi berita di hari-hari selanjutnya,” terang Bung Karno sebagaimana ditulis Cindy Adams dalam buku Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia (2016).