Jejak Gereja dan Panti Asuhan Belanda dalam Gedung Arsip Nasional
Gedung Arsip Nasional (Sumber: Wikimedia Commons)

Bagikan:

JAKARTA - Di tengah amburadulnya tata ruang Jakarta, popularitas Kota Tua atau Oud Batavia sebagai kawasan bersejarah tak pernah padam. Walau beberapa jejak kemegahan berupa bangunan bersejarah telah tergantikan, namun kekaguman terhadap Jakarta sebagai “Jewel of East” yang banyak digaungkan pelancong abad ke-18 masih terjaga hingga hari ini.

Sepanjang mata memandang, jejak kemegahan tak melulu hadir dalam bangunan seperti Balai Kota --sekarang Museum Sejarah Jakarta, Toko Merah, atau gudang rempah VOC yang berganti nama menjadi Museum Kebaharian. Satu bangunan megah lain khas zaman penjajahan Belanda yang masih eksis itu adalah Vila Molenviet.

Nama Vila Molenviet mungkin terdengar asing. Namun, jika bangunan itu disebut sebagai Gedung Arsip Nasional, kita akan tahu situs mana yang dimaksud. Bangunan yang telah menjadi rumah peristirahatan mewah itu kini jadi satu-satunya bangunan yang bertahan di sepanjang Jalan Molenvliet yang membentang dari Jalan Gajah Mada hingga Hayam Wuruk.

Rumah buetenverblijven atau rumah luar kota itu dibangun oleh Reiner de Klerk semasa dirinya menjabat sebagai anggota Dewan Hindia pada 1760. Pemilihan lokasi pembangunan rumah pada saat itu dinilai amat ideal, mengingat Molenvliet dikenal sebagai kawasan tempat tinggal elite di Batavia pada abad ke-18.

Sebagaimana diungkap oleh salah satu tokoh penting dalam penulisan sejarah Jakarta, Adolf Heuken SJ dalam buku Tempat-Tempat Bersejarah di Jakarta (2007), De Klerk memanfaatkan Vila Molenvliet sebagai rumah tinggal sekaligus kantor. Uniknya, De Klerk bangunan itu terinspirasi dari banyaknya bangunan gaya kolonial tertutup. Pembangunan juga telah disesuaikan dengan iklim tropis sehingga langit-langitnya dibuat agak tinggi, lengkap dengan lantai bermarmer.

“Antara tahun 1777 dan 1780 digunakan sebagai kediaman resmi pejabat tertinggi pemerintahan. Banyak tamu harus menghadap De Klerk untuk mengurus beberapa usaha pribadi juga sekalipun kegiatan seperti ini terlarang bagi semua pejabat,” tulis Adolf.

Vila Molenvliet (Sumber: Wikimedia Commons)

Tercatat, De Klerk hidup dalam rumah ini selama hampir dua puluh tahun, saat dirinya menjabat sebagai Gubernur Jenderal VOC pada 1777-1780. Oleh sebab itu, rumah dinasnya sebagai Gubernur Jenderal menjadi jarang ditempati, mengingat De Klerk nyatanya lebih kerasan hidup di Vila Molenvliet.

Di bagian kiri dan kanan bangunan utama, terdapat dua paviliun untuk tamu. “Di Belakangnya berdiri bangunan tambahan yang bertingkat dua, yang dahulu dipakai sebagai kantor, dapur, dan gudang.” Selain bagunan dua paviliun, De Klerk melengkapi tanah luas miliknya dengan mendirikan beberapa gudang untuk memuat barang yang diangkut melalui Kali Krukut.

Selain itu, De Klerk juga membuat kandang untuk menyimpan kuda dan kereta miliknya. Untuk mengakomodasi kemewahan itu, De Klerk mempekerjakan dua ratus budak untuk melakukan seluruh pekerjaan rumah. De Klerk mendaulat 16 di antara budak itu untuk menjadi semacam orkes yang dikhususkan untuk menghibur tamu.

Berubah fungsi

Gedung Arsip Nasional (Sumber: Wikimedia Commons)

Setelah De Klerk meninggal pada 1780, Vila Molenvliet dilelang dan jatuh ke tangan seorang pejabat kompeni, Johannes Siberg. Ia tinggal di rumah tersebut selama masa tajuk pemerintahan berpindah tangan ke Prancis dan Inggris.

Kelak, secara berturut-turut bangunan itu berpindah ke Lambertus Zegers Veeckens, Joan Cornells Mayer, hingga Leendert Miero. Tak seperti pemilik lainnya yang kaya raya sedari awal, Leendert Miero malah berasal dari kalangan serdadu rendahan Belanda. Niatannya membeli rumah tersebut berasal dendamnya kepada empunya rumah 30 tahun sebelumnya.

Kala itu, Miero dihukum 50 pukulan rotan karena ketiduran sewaktu piket menjaga pintu gerbang pekarangan rumah De Klerk. Sejak hukuman itu Miero bersumpah, jika dirinya kaya raya, maka rumah itu akan dibeli olehnya. Ajaibnya, pada 1818, Miero yang beralih profesi sebagai pandai emas membeli rumah peristirahatan mewah tersebut.

Dendam terus berlanjut. Maka setiap 15 tahun sekali, Miero mengundang khalayak ramai untuk merayakan pemukulan dirinya di halaman Vila Molenvliet. Kemudian, Miero dengan bangga berseloroh, sebagaimana ditulis G.H Nagel dalam De Oudgast (1838):

Di muka rumah ini

Yang sudah lama saya miliki

Saya pernah menjaga kediaman Gubernur Jenderal

Bayangkanlah kawan-kawanku yang baik dan orang seiman

Di tempat ini dan saya masih merasakannya

Saya mendapatkan 50 pukulan di punggungku

Karena ketiduran waktu dinas.

Vila Molenvliet (Sumber: Wikimedia Commons)

Miero tinggal di rumah itu hingga akhir hayatnya. Selepas kematian Miero, Vila Molenvliet dijual kepada College van der Hervormde Gemeente, lalu dirombak untuk dijadikan gereja dan panti asuhan. Gambaran perubahan dari rumah peristirahatan menjadi panti asuhan turut diabadikan oleh Iksaka Banu dalam cerpen berjudul Variola dalam buku "Teh dan Pengkhianat" (2019).

Dalam cerpennya, Iksaka Banu mengungkap rumah bekas De Klerk sebagai panti asuhan terbesar di Batavia. Tak cuma itu, Iksaka juga menggambarkan kekaguman orang-orang pada zaman penjajahan Belanda akan bangunan serta serasinya setiap sudut ruangan dari Vila Molenvliet.

“Aku yakin Gubernur Jenderal Reinier de Klerk adalah seorang jutawan di Batavia abad lalu yang memiliki selera seni tinggi. Itu sebabnya aku berani memastikan tiang-tiang Yunani penyangga ruangan depan yang buruk ini dibangun belakangan karena tampak sangat berbeda dengan langgam keseluruhan yang lebih banyak mengambil unsur hias Barok,” cerita Iksaka.

Seiring permukiman yang semakin padat, dewan gereja tak punya pilihan selain menjual bangunan tersebut ke pemerintah Hindia-Belanda. Wilayah itu dinilai tak lagi ideal untuk dijadikan gereja ataupun panti asuhan. Itulah mengapa pada 1925 rumah peristirahatan tersebut dipugar kembali sesuai gambar lama. Fungsinya pun menjadi landsarchief (Gedung Arsip) yang sesudah kemerdekaan Indonesia bersalin nama menjadi Arsip Nasional.

Namun, tak lama kemudian Gedung Arsip Nasional pindah menuju lokasi baru. Meski begitu, kepengurusan tetap berada di bawah kendali Arsip Nasional. Kini, bangunan bekas rumah Gubernur Jenderal VOC tersebut diberdayakan sebagai tempat diselenggarakan ragam kegiatan, mulai dari hajatan perusahaan, pernikahan, hingga lain sebagainya.