Bagikan:

JAKARTA - Perzinahan adalah muara lahirnya anak di luar nikah. Fenomena itu sudah menjadi rahasia umum. Apalagi, pada fase awal penjajahan Belanda. Maskapai dagang Belanda, VOC sampai kelimpungan. Aturan tegas dilanggengkan. Bahkan, hukuman mati bagi mereka yang terbukti berzina.

Tetap saja perzinahan tak hilang. Masalah muncul. Anak yang lahir di luar nikah bejibun. Kompeni ambil sikap. Banyak panti asuhan didirikan sebagai tanggung jawab moral. Alih-alih banjir pujian, kehadiran panti asuhan justru dikritik mirip kandang babi.

Kehidupan jauh dari kampung halaman kerap membuat seseorang gelap mata. Narasi itu mewakili potret kehidupan orang belanda di Batavia (kini: Jakarta) pada fase awal penjajahan Belanda. Mereka yang notabene bekerja sebagai pegawai kompeni rendahan ogah pusing dengan urusan moral.

Ketiadaan wanita Eropa jadi musababnya. Mereka yang dibolehkan membawa istri ke negeri koloni terbatas ke pejabat tinggi saja. Fakta itu membuat perzinahan jadi opsi yang paling masuk akal untuk memuaskan urusan berahi.

Orang Belanda kemudian melanggengkan perzinahan di mana-mana. Wanita-wanita yang mereka temui di tanah koloni jadi incaran. Ada yang memuaskan diri dengan mendatangi rumah pelacuran. Ada pula yang memilih membeli budak wanita dari berbagai suku bangsa untuk membantu tuannya perihal urusan ranjang dan dapur.

Narasi itu sempat membuat gusar pendiri Batavia, Jan Pieterszoon Coen. Gubernur Jenderal yang dua kali menjabat pada 1619-1623 dan 1627-1629 itu menggambarkan moral di antara pegawainya telah rusak.

Potret kehidupan panti asuhan di Nusantara setelah VOC bangkrut dan digantikan pemerintah kolonial Hindia Belanda. (Wikimedia Commons)

Kerusakan itu dianggap Coen karena ulah pemilik saham Kompeni di Belanda bak tukang kelontong tak mau mengeluarkan uang dalam jumlah besar. Mereka ogah mengirim wanita Eropa dari keluarga baik-baik.

Coen pun bersiasat. Ia melanggengkan aturan keras. Barang siapa yang melanggengkan perzinahan akan mendapatkan hukuman berat, bahkan hukuman mati. Keputusan itu diambil Coen karena ia melihat sendiri betapa kurang ajarnya perilaku bawahannya.

Anak-anak yang lahir di luar nikah bejibun. Pun demikian pula dengan meningkatnya angka aborsi di Batavia. Coen menganggap moral orang Belanda harusnya dapat dijaga. Ajiannya berhasil untuk sementara waktu. Namun, kondisi itu kembali menggila kala kuasa Coen berakhir.

“Pada awalnya hanya sedikit yang dapat dilakukan untuk mengendalikan situasi tersebut. Para prajurit dan pelaut telah tercerabut dari Tanah Airnya, kekurangan wanita, dan ditempatkan di kantor-kantor dagang terpencil di daerah dengan peradaban yang asing,”

“Mereka mendengar desas-desus tentang harem yang berasal dari pertemuan-pertemuan awal para pedagang senior dengan para putri bangsawan Asia. Sementara atasan mereka sendiri mengambil para budak untuk kebutuhan pribadi. Dalam keadaan seperti itu, nilai-nilai moral yang mereka bawa dari Tanah Airnya mulai memudar dan tidak bisa diharapkan lagi,” ungkap Jean Gelman Taylor dalam buku Kehidupan Sosial di Batavia (2009).

Panti Asuhan Bak Kandang Babi

Kompeni ikutan pusing dengan tingginya angka kelahiran anak di luar nikah. Mereka tak ingin anak yatim itu tumbuh menyedikan. Dewan Geraja ambil sikap dan mulai membangun penampungan anak yatim piatu, panti asuhan di Batavia.

Pembangunan panti asuhan itu sengaja dilanggengkan karena Kompeni ingin anak yatim hidup luntang-lantung. Mereka pun mendapatkan akses pendidikan sesuai norma kristiani. Kompeni juga berusaha menjamin supaya anak yatim kelak nasibnya lebih baik.

Rencananya anak yatim akan dipekerjakan oleh Kompeni hingga sejahtera. Sekalipun tak semuanya terwujud. Panti asuhan pun tak sembarangan mencampur anak yatim. Mereka menempatkan kelompok anak laki-laki dan perempuan Eropa di satu tempat. Sedang mereka anak laki-laki dan wanita Indo-Belanda pada tempat yang berbeda.

Masalah muncul. Nyatanya didikan pantai asuhan untuk mengurus anak yang lahir di luar nikah dianggap bukan yang terbaik. Orang Belanda justru banyak menyarankan anak-anak yang lahir di luar nikah supaya dibesarkan oleh keluarga angkat, ketimbang ditampung panti asuhan.

Bangsal sebuah panti asuhan di Nusantara pada masa Hindia Belanda. (Wikimedia Commons)

Narasi itu muncul karena Dewan Gereja mencatat banyak panti asuhan jorok pada 1723. Panti asuhan yang dikelola oleh janda Wetgens, misalnya. Alih-alih mendapatkan pendidikan yang baik, anak yatim yang berada di panti asuhan justru hidup nelangsa, serba kekurangan.

Dewan Gereja bahkan tak segan-segan melabeli panti asuhan itu bak kandang babi. Semuanya karena kamar-kamar yang ada di panti asuhan jorok bukan main. Anak yatim bahkan tak memiliki banyak baju ganti.

Karenanya, banyak anak yatim yang berharap segera keluar dari panti asuhan. Satu-satunya harapan bagi anak yatim adalah segera dewasa dan mendapatkan pekerjaan yang layak. Harapan lainnya muncul dari anak yatim wanita. Mereka berharap segera dilamar calon suami kaya raya supaya dapat keluar dari panti asuhan.

“Anak-anak wanita tidur dalam kamar sempit yang lebih menyerupai kandang babi ketimbang kamar tidur. Mereka tidak tidur di ranjang atau pun di atas kasus, melainkan tidur seperti dalam sarang binatang, masing-masing disediakan sebuah bantal kecil yang kotor dan menjijikan.”

“Tenyata Nyonya Wetgens telah menjual perlengkapan serta pakaian tidur para yatim piatu ke orang lain. Anak-anak yatim piatu wanita hanya diberikan dua baju atas dan dua rok bawah atau sarung sehingga tidak mungkin membersihkan diri serta berganti pakaian. Di malam hari, mereka harus tidur di kamar tanpa penerangan bagaikan binatang,” terang Sejarawan Hendrik E. Niemeijer dalam buku Batavia: Masyarakat Koloni Abad XVII (2012).