Bagikan:

JAKARTA - Mental korupsi bukan cuma monopoli penjajah Belanda. Penguasa lokal macam Patih Yogyakarta, Danurejo IV juga doyan korupsi. Ia menjadikan Sultan Hamengkubuwono IV bak boneka. Ajian itu supaya lagak Danurejo IV bak penguasa Jawa.

Kebijakannya menyengsarakan rakyat. Pun ia doyan menyerobot tanah rakyat, bahkan leluhurnya. Pangeran Diponegoro malu atas perilaku pamannya. Korupsi yang dilanggengkan Danurejo IV sudah kelewat batas. Pangeran Jawa itu emosi mengambil selop dan menampar wajah sang paman.  

Kekuasaan tak jarang membuat seseorang berubah. Itulah yang terjadi kepada Sumodipuro. Pejabat Bupati Kasultanan Yogyakarta itu mulanya dikenal sebagai pemimpin arif dan bijak. Apalagi, kala Sumodipuro mendapat kesempatan memimpin wilayah Japan atau Mojokerto.

Prestasi itu membuat kemenakannya, Pangeran Diponegoro kepincut. Diponegoro kemudian mengusulkan kepada ayahnya, Sultan Hamengkubuwono III untuk mengangkat Sumodipuro sebagai Patih Dalem Kasultanan Yogyakarta.

Pucuk dicinta ulam tiba. Usulan Diponegoro diloloskan ayahnya pada 1813. Pun Sumodipuro kemudian resmi menjadi Patih Yogyakarta dengan nama baru Danurejo IV. Diponegoro pun mendukung penuh Danurejo IV. Namun, dukungan itu tak bertahan lama.

Lukisan karya Raden Saleh tahun 1857 tentang penangkapan Pangeran Diponegoro di Magelang, Jawa Tengah. (Wikimedia Commons/ 

Semuanya berubah kala Sultan Hamengkubuwono III meninggal dunia. Kekosongan kuasa itu memaksa Raden Mas Ibnu Jarot yang masih kanak-kanak (usia 10 tahun) naik takhta dan menjadi Sultan Hamengkubowo IV.

Belang Danurejo IV mulai terlihat. Kepemimpinan Sultan yang masih terlampau muda itu nyatanya dimanfaatkan Danurejo IV untuk meraih keuntungan sebanyak-banyaknya. Bagi Danurejo IV, Sultan Hamengkubowono IV tak ubahnya sebuah boneka. Sebab, kepemimpinan sesungguhnya ada dalam kendali Danurejo.

Kuasa itu membuat Danurejo IV gelap mata. Kebijakan memeras rakyat Yogyakarta dimainkan. Semua saudaranya menduduki posisi penting di Keraton. Pun ia tunduk terhadap Belanda. Segala macam keinginan Belanda coba dilanggengkan, asal ada persenannya. Termasuk menggarong tanah rakyat, bahkan tanah leluhurnya.

“Diponegoro menganggap Tanah Jawa yang telah jatuh ke tangan kafir harus direbut kembali dengan sabil yang berlandaskan Alquran. Masalah lain yang meresahkan batin Diponegoro adalah pemungutan pajak dan pungutan bea secara besar-besaran. Untuk menambah pemasukan keuangan Kesultanan, adiknya melakukan kebijakan yang tidak terpuji.”

“Sultan Hamengkubuwono IV yang kemudian beranjak memasuki 18 tahun itu dikendalikan oleh mertuanya Patih Danurejo IV. Ia memerintahkan menambah jumlah gerbang-gerbang pungutan (tolpoorten) yang disewakan kepada orang-orang Cina melalui sistem perolehan (setoran).Gerbang-gerbang pungutan ini amat merugikan rakyat. Patih sebenarnya tidak berhak mengeluarkan keputusan yang menentukan mengenai jalannya pemerintahan karena ia bukan pemilik negara," terang Nugroho Notosusanto dan kawan-kawan dalam buku Sejarah Nasional Indonesia Jilid IV (2008).

Tamparan untuk Danurejo IV

Laku hidup Danurejo IV yang hidup berlagak Raja Jawa sampai ke telingga Diponegoro. Pangeran Jawa itu merasa yang dilakukan Danurejo IV keterlaluan. Padahal, Danurejo IV mulanya bukan siapa-siapa tanpa kuasa Diponegoro yang mendorongnya jadi Patih Yogyakarta.

Kemarahan Diponegoro terhadap Danurejo IV semakin menjadi-jadi kala ia mengetahui jejak korupsi yang dilanggengkan pamannya. Diponegoro pun tak tinggal diam. Sebab, laporan terkait ketidakadilan yang dilakukan Danurejo IV terus berdatangan.

Pangeran Diponegoro yang geram bukan main, lalu memanggil Danurejo IV pada 1817. Diponegoro bak mengintrogasi pamannya untuk menjelaskan perkara perlakuan yang merugikan seisi Yogyakarta. Patih Danurejo IV terus berkelit.

Danurejo IV merasa tak melakukan kesalahan dan terus menyangkal. Pangeran Diponegoro pun naik pitam. Pangeran Jawa itu lalu mengambil selopnya dan menampar Danurejo IV di muka umum. Peristiwa itu disaksikan oleh pemangku pejabat dan anggota keluarga Sultan Yogyakarta.

Lukisan yang menggambarkan Pangeran Diponegoro menampar pamannya, Danurejo IV dengan selop. (Sejarah Singkat Diponegoro/2019)

Danurejo IV yang korup pun tak kuasa menahan malu. Ia kemudian menganggap Diponegoro tak ubahnya seorang musuh yang harus dibinasakan. Danurejo IV kerap menganggu kuasa Diponegoro hingga meletusnya Perang Jawa.

“Siapa yang tak tahu gambar Pangeran Diponegoro yang sedang marah dan menampar Patih Yogya yang munafik serta korup, Danurejo IV (menjabat 1813-1847), dengan selop karena suatu pertengkaran tentang penyewaan tanah kerajaan kepada orang Eropa sebelum Perang Jawa (1825-1830)?”

“Peristiwa yang membuat heboh Keraton Yogya – lihatlah sentana, anggota keluarga Sultan, yang sedang menyaksikan peristiwa dengan takjub – hal ini menggarisbawahi bahwa isu korupsi menjadi salah satu isu abadi yang sudah menghantui tanah air kita. Pada zaman Diponegoro, masalah korupsi menjadi suatu pemicu utama Perang Jawa meskipun sama sekali tidak dibahas di buku pelajaran sekolah di Indonesia saat ini,” terang sejarawan Peter Carey dalam buku Korupsi Dalam Silang Sejarah Indonesia (2017).