JAKARTA - Sebanyak 75 pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dinyatakan tak lulus tes wawasan kebangsaan. 51 di antaranya diberhentikan. Mereka diasosiasikan dengan kelompok radikal ke-Islam-islaman yang kerap disebut 'Taliban'. Darimana isu Taliban KPK ini bermula?
Taliban merupakan kelompok fundamentalis Islam yang menguasai Afghanistan mulai dari tahun 1996 hingga 2001. Taliban dibentuk pada tahun 1990-an oleh para mujahidin Afghanistan atau para gerilyawan Islam yang melawan pendudukan Soviet di Afghanistan (1970-1989).
Gerakan ini didominasi oleh orang-orang Pashtun, yang kemudian dikenal militan nan radikal. Benang merah antara kelompok Taliban Afghanistan dan Taliban KPK adalah militansi.
Istilah itu pertama kali dimunculkan oleh Ketua Indonesia Police Watch, Neta S. Pane pada 2009. Dalam sebuah siaran pers, Neta mengomentari surat terbuka dari 50-an penyidik Kepolisian Indonesia yang bertugas di KPK.
Mereka –penyidik kepolisian— mempersoalkan pengangkatan 21 penyelidik yang jadi penyidik independen di lembaga tersebut. Neta menulis terdapat perpecahan di KPK menjadi dua kubu, yakni polisi India dan grup Taliban.
“Polisi India merujuk pada penyidik KPK yang berasal dari institusi Polri. Sedangkan Grup Taliban merujuk pada penyidik Novel Baswedan yang disokong Wadah Pegawai KPK. Kelompok ini, disebut dalam surat itu, juga dianggap militan karena kerap mempersoalkan kebijakan pemimpin,” ungkap Linda Trianita, Anton Aprianto dan Mustafa Silalahi dalam tulisannya di Majalah Tempo berjudul Taliban dalam Seleksi Pemimpin KPK (2019).
Isu Taliban semakin kencang berembus lewat mulut sejumlah pengacara yang kerap menangani perkara di KPK. Mereka mengaku mendengar istilah adanya kubu Taliban di KPK.
Kubu Taliban ini dianggap selalu menangani kasus-kasus dengan nama-nama besar. Novel Baswedan muncul sebagai salah satu nama yang kerap dikaitkan dengan kelompok islam konservatif hanya karena ia berjanggut tebal dan kerap bergamis.
Sejumlah penegak hukum di KPK menyebut isu radikalisme –dalam bentuk Grup Taliban— adalah cara panitia seleksi menjegal langkah Novel Baswedan untuk memimpin KPK.
Panitia seleksi menggandeng Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) dan Badan Intelijen Negara (BIN) untuk menelusuri rekam jejak para kandidat calon pemimpin KPK. Panitia seleksi berdalih tak mau para kandidat yang terpilih terpapar paham radikalisme.
Paham itu ditakutkan akan menjadi masalah di KPK. Belakangan, isu Taliban kembali menghebohkan jagat dunia maya, terutama Twitter.
[INTERVIU: Hukum | Ketua Wadah Pegawai KPK Yudi Purnomo tentang Bagaimana TWK Ganggu Penanganan Kasus Korupsi]
Isu itu berkembang dengan deras sebagai bentuk upaya pelemahan KPK. Peristiwa pelemahan KPK memberi pelajaran kepada khalayak bahwa media sosial dengan mudah dibajak oleh elite oligarki melalui cyber troops dan computational propaganda.
Pendiri Drone Emprit (DE), Ismail Fahmi pernah membahas ini. Berdasar riset DE, gerakan pelemahan KPK didukung oleh adanya pasukan siber yang masif melakukan serangan terhadap gerakan penolak revisi UU KPK, isu yang bergulir ketika itu.
Tagar-tagar yang melemahkan itu antara lain berbunyi KPK adalah #KPKdanTaliban, #KPKPatuh Aturan, #KPKCengeng dan sebagainya. “Tagar KPK Taliban telah sempat berhasil membuat publik ragu kepada KPK dan mencurigai lembaga antirasuah itu sebagai sarang radikalisme," papar Widjayanto DKK dalam buku Menyelamatkan Demokrasi (2020).
"Dalam uraiannya, DE menyimpulkan bahwa gerakan para akademisi yang melakukan kampanye Twitter secara sporadik kalah oleh tagar KPK Taliban yang jauh lebih masif dan sistematis. Ini membuat DE menyimpulkan terjadinya semacam fenomena matinya kepakaran alias the death of expertise."
Isu Taliban dimanfaatkan Firli Bahuri
Benydictus Siumlala Martin, pegawai fungsional KPK, sebagaimana dipaparkan dalam artikel BERNAS berjudul Mustahil Ada Saliban di Taliban mengatakan tak pernah ada radikalisme di KPK. Jika pun ada, ia tak merujuk ajaran agama tertentu.
"Kalau dikatakan teman-teman di KPK itu radikal, radikal dalam pemberantasan korupsi, iya. Tapi kalau radikal kemudian menjurus ke arah ekstremis kanan atau apa gitu rasanya enggak ada sih," kata Beny, sapaan familiarnya.
Ketua Ketua Wadah Pegawai KPK Yudi Purnomo, dalam artikel INTERVIU berjudul [HUKUM] Yudi Purnomo | Tentang Bagaimana TWK Ganggu Penanganan Kasus Korupsi mengamini Beny.
Dari mata Yudi, orang yang menaungi para pegawai KPK dengan latar belakang agama, suku, dan ras, "toleransi bukan hal baru di KPK." Yudi mengatakan isu tentang Taliban tak lebih dari narasi yang sengaja dibangun untuk tujuan melumpuhkan upaya pemberantasan korupsi. Cocok dengan pemaparan Drone Emprit (DE), Yudi menilai isu itu dibangun buzzer.
Entah siapa di belakang para buzzer yang sengaja memelihara isu radikalisme Taliban di KPK. Yang jelas, isu itu dimanfaatkan oleh Ketua KPK Firli Bahuri. Pada 29 April lalu terjadi pertemuan antara para pimpinan KPK di ruang rapat utama lantai 15 Gedung Merah Putih. Dalam rapat itu Firli meminta 75 pegawai yang tak lolos TWK segera diberhentikan.
Dikutip dari hasil investigasi Indonesia Leaks yang dipublikasikan Majalah Tempo edisi Minggu, 6 Juni, Firli bahkan menyebut 1 Juni sebagai tenggat waktu pemberhentian. Wakil Ketua KPK Nawawi Pomolango mendukung Firli dan meminta anak buahnya segera mengeksekusi perintah itu.
Tapi seorang pejabat Biro Hukum meminta Firli dan Nawawi menimbang-nimbang. Pejabat itu menganggap gagasan Firli dan Nawawi rawan digugat ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Pejabat itu menyarankan agar para pegawai yang tak lulus TWK tetap diberi kesempatan lewat pendidikan dan pelatihan.
Menurut sumber Indonesia Leaks, Firli menolak. Ia kukuh dengan keputusannya. "Waduh, enggak bisa. Harus diberhentikan 1 Juni. Atau mereka kita minta mengundurkan diri," narasumber Indonesia Leaks menirukan omongan Firli.
Niat Firli menyingkirkan para pegawai dalam 'Daftar 75' sejatinya sudah terlihat sejak awal. Tepatnya ketika merancang peraturan yang mengatur alih status pegawai KPK. Usai penerbitan Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2020 tentang Pengalihan Pegawai KPK Menjadi ASN pada Juli 2020, KPK menggelar sejumlah diskusi bersama pakar hukum dan birokrat dari macam-macam lembaga.
Diskusi itu berlangsung selama September hingga Desember 2020. Dalam kurun waktu itu tak pernah ada gagasan tentang TWK. Adapun tetek bengek soal tes hanya menyebut asesmen. Di pertemuan itulah Firli memerintahkan Biro Hukum KPK memasukkan pasal TWK ke rancangan aturan. Firli berdalih ada radikalisme yang wajib dibereskan.
"Kalian lupa? Di sini banyak 'Taliban'," tutur Firli.
TWK kemudian muncul tiba-tiba dalam draf peraturan komisi versi 22 Januari. Substansi itu dianggap ganjil karena tak melalui rapat pembahasan khusus. Draf itu berubah lagi dalam versi 25 Januari. Dalam versi itu TWK dicantumkan di Pasal 5 Ayat 1. Disebutkan TWK diselenggarakan KPK bersama Badan Kepegawaian Negara (BKN).
Sejak itu tak ada lagi harmonisasi. Dikabarkan Firli sendiri yang membawa draf itu ke Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkum HAM) untuk diundangkan. Hal tu dianggap tak lazim karena sebelum diundangkan, draf itu harusnya dibahas lewat harmonisasi, yang setidaknya melibatkan pegawai struktural setingkat Biro Hukum dan Biro Sumber Daya Manusia.
Pada 27 Januari, Kemenkum HAM resmi melegitimasi Peraturan KPK Nomor 1 Tahun 2021 yang di dalamnya mencantumkan pasal TWK. Menkum HAM Yasonna Laoly hanya menjawab "Tanya nanti, ya," ketika dimintai klarifikasi.
*Baca Informasi lain soal KPK atau baca tulisan menarik lain dari Detha Arya Tifada, Wardhany Tsa Tsia juga Yudhistira Mahabharata.