Bagikan:

Sebanyak 51 dari 75 pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) diberhentikan setelah dinyatakan tak lolos asesmen Tes Wawasan Kebangsaan (TWK). Mereka dianggap tak bisa lagi dibina 'ke-Indonesiaannya'. Kami berbincang dengan Ketua Wadah Pegawai KPK Yudi Purnomo untuk melihat TWK lebih dalam. Bagaimana para pegawai melihat ini sebagai upaya pelemahan pemberantasan korupsi? Jika dulu jargon KPK "Berani Jujur, Hebat". Sekarang berubah jadi "Berani Jujur, Pecat."

Yudi Purnomo baru saja kembali dari kantor Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) ketika kami menemuinya di Gedung Pusat Edukasi Antikorupsi KPK, Jalan Rasuna Said, Jakarta Selatan pada Senin, 31 Mei. Lantang suara Yudi sejalan dengan pergerakannya melawan hasil TWK. Perbincangan dimulai sekitar pukul 16.00 WIB.

Yudi menuturkan beberapa proses laporan terkait TWK sudah berjalan. Banyak kejanggalan yang harus ditindaklanjuti, begitu dirasa Yudi dan kolega. Beberapa pegawai yang tak lolos sudah dipanggil Dewan Pengawas KPK untuk dimintai klarifikasi. Begitu juga proses di Komnas HAM. Yudi sendiri yang baru saja memenuhi panggilan sore itu.

Dalam pemeriksaan oleh Komnas HAM, Yudi memberi keterangan terkait posisinya sebagai Ketua Wadah Pegawai KPK, termasuk kritisme Wadah Pegawai kepada lima pimpinan KPK, tak terkecuali Firli Bahuri. Yudi juga dimintai keterangan perihal posisinya sebagai penyidik independen yang kini harus alih status kepegawaian menjadi aparatur sipil negara (ASN).

"Kemudian saya juga katakan bahwa sampai saat ini saya belum pernah mendapatkan hasilnya seperti apa. Mengapa saya disebut tidak memenuhi syarat, itu tidak ada dan tidak pernah kita dapatkan," kata Yudi.

Ketua Wadah Pegawai KPK Yudi Purnomo dalam wawancara bersama VOI (Mahesa ARK/VOI)

Selain ke Komnas HAM, puluhan pegawai KPK ini juga mengadu ke sejumlah lembaga lain, seperti Komisi Nasional (Komnas) Perempuan dan Persatuan Gereja-Gereja Indonesia (PGI). Menurut Yudi para pegawai kini juga tengah mempersiapkan pengajuan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK) dan Mahkamah Agung (MA).

Kepada Komnas Perempuan, para pegawai melaporkan dugaan pelecehan terhadap harkat dan martabat perempuan. Pelecehan itu dilakukan lewat pertanyaan-pertanyaan tim asesor yang menyentuh ranah privat, seperti, "Apakah bersedia menjadi istri kedua?" Ada juga pertanyaan lain, misalnya, "Apakah kamu suka nonton film porno?"

 "Ada beberapa hal yang menurut kami itu merendahkan harkat dan martabat perempuan. (Laporan ini) supaya ada perbaikan ke depannya."

Yudi Purnomo

Segala yang ditemukan Yudi dalam seluruh proses asesmen lewat Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) ia rasa begitu aneh. Dalam sesi wawancara, misalnya. Yudi mengisahkan bagaimana asesor mengorek tentang aktivitasnya sebagai Ketua Wadah Pegawai KPK, serta kaitannya dengan penolakan revisi UU KPK pada 2019 silam.

Yudi menjawab penolakan itu bukan tak berdasar, tapi dilandasi kajian akademis. Dalam dimensi yang lebih privat, Yudi ditanyai tentang sikapnya menolak calon pimpinan KPK rezim Firli Bahuri. Yudi menjawab pertanyaan-pertanyaan dengan apa adanya sembari menegaskan kepatuhannya pada UU KPK. Ya, meski sejatinya ia tak sepakat.

"Ketika memang sudah jadi undang-undang, ya kita turuti, seperti itu. Toh itu kan (penolakan) kebebasan berpendapat di negeri ini. Kemudian ketika melakukan penolakan terhadap capim, kita katakan bahwa kita ingin KPK dipimpin oleh pimpinan yang berintegritas. Kemudian kegiatan-kegiatan saya yang lain di Wadah Pegawai. Jadi lebih banyak ke situ, ya," tutur Yudi.

Janggal sejak awal

Lebih lanjut Yudi menceritakan bagaimana ia menemukan kejanggalan-kejanggalan TWK sejak awal. Pertama soal Ketua KPK Firli Bahuri yang bungkam sejak wacana TWK bakal digulirkan. Yudi juga bercerita bagaimana para pegawai menanyakan perihal pelaksanaan TWK, para pimpinan KPK malah tak memberi jawaban pasti.

Yudi dan kolega juga merasa dikelabui. Berkali-kali mereka menanyakan perihal TWK --sebelum digelar-- kepada para pimpinan, berkali-kali itu juga pertanyaan mereka dijawab remeh. Para pimpinan juga dalam beberapa kesempatan memberi angin bahwa TWK adalah perkara mudah yang pasti bisa ditempuh dengan baik oleh seluruh pegawai KPK.

Ketua Wadah Pegawai KPK Yudi Purnomo (Irfan Meidianto/VOI)

"'Pasti bisa menjawab,'" tutur Yudi memeragakan omongan para pemimpin KPK

"'Yang penting kalian tidur nyenyak saja,'" jawaban para pimpinan KPK di kesempatan lain. 

"'Kemudian kalau cinta NKRI, cinta ini, kan sudah lama hidup di Indonesia. Ya pasti bisa menjawab,'" tambah Yudi menuturkan.

Waktu berjalan. Para pegawai KPK larut dalam kesibukan dan narasi-narasi remeh tentang TWK. Tak ada pikiran negatif tentang para pimpinan dan TWK. Apalagi mereka berpegang bahwa berdasar UU KPK Nomor 19 Tahun 2019 --yang merupakan dasar alih status kepegawaian-- tak disebutkan TWK sebagai syarat alih status kepegawaian.

"Kemudian diperkuat sama PP, tidak ada tes di situ. Nah bahkan yang menarik adalah ada putusan Mahkamah Konstitusi bahwa kami ini tidak boleh dirugikan ketika peralihan status. Artinya dari sisi karier, materiel maupun imateriel."

 "Bagi kami, kenapa sih kami kerja di KPK, ya bukan sekadar gajian. Ini pengabdian. Jadi kalau istilah bahasa sekarang ya berantas korupsi merupakan jalan ninja kami."

Yudi Purnomo

TWK dianggap politis

Yudi dan kolega benar-benar tersilap. TWK lebih dari tes biasa. TWK disusupi niat-niat politis untuk menyingkirkan sejumlah pegawai yang tengah menangani kasus-kasus korupsi. Menurut hasil rapat yang melibatkan perwakilan sejumlah lembaga dan kementerian di bawah pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi), mereka disingkirkan.

Dari 75 pegawai yang tak lolos TWK, 51 diberhentikan dengan alasan radikalisme yang sudah tiada obat. Sementara, 24 sisanya diberi kesempatan untuk mengikuti pembinaan. Para pimpinan KPK mengaku telah membela para pegawai. Namun menurut Yudi sikap pasang badan yang diklaim para pimpinan adalah palsu.

Ketua KPK Firly Bahuri (Sumber: Antara)

Ada langkah konkret yang bisa dilakukan Firli Cs jika betul-betul ingin menyelamatkan KPK, termasuk para pegawai yang kini tengah memegang kasus-kasus penting. Misalnya dengan mengubah Peraturan Komis (Perkom) yang mengatur TWK. Dengan begitu pimpinan KPK dapat mengangkat kembali puluhan pegawai yang tersingkir TWK.

Lagipula apa yang terjadi hari ini, dengan penonaktifan 51 pegawai, hal itu tak memperlihatkan dukungan terhadap pegawai. Ada waktu, sejatinya. Setidaknya hingga 1 November mendatang mereka masih bisa bekerja mengusut kasus-kasus korupsi yang sedang ditangani. Dan masih banyak yang bisa dilakukan hingga datangnya 1 November.

 "Mau itu pendidikan lagi. Diklat. Tapi ketika misalnya langsung diberhentikan ketika konferensi pers itu artinya bahwa ya memang sudah tidak ada niat lagi untuk mempertahankan kami, gitu kan. Perjuangan mereka (pimpinan KPK) bukan perjuangan berdebat dengan BKN dan lain sebagainya. Ubah aturan ini karena aturan komisi kan adalah aturan internal KPK. Cukup lima pimpinan KPK itu berembuk, kalau ada niat."

Yudi Purnomo

Radikalisme 'Taliban' di KPK

Soal cap radikalisme di wajah 51 pegawai KPK, hal ini berkaitan dengan isu adanya kelompok radikal di kalangan pegawai KPK yang biasa disebut "Taliban". Yudi mengklarifikasi ini. Yudi setengah guyon menghadapi pertanyaan kami. Saking tak masuk akalnya isu ini, ia pikir.

Jika radikalisme Islam yang jadi akar pemberhentian 51 pegawai, kenapa ada orang-orang beragama Nasrani, Buddha, hingga Hindu di antara mereka? Bagi Yudi, isu ini jelas hanya rekayasa kelompok tertentu, yang dalam operasinya menggunakan buzzer untuk menyebar narasi soal gangguan radikalisme Islam di KPK.

"Jadi isu-isu itu kan hanya dikeluarkan oleh buzzer-buzzer kan. Bahkan kemarin saya lihatkan PGI, Persatuan Gereja Indonesia, ketuanya mendukung karena mereka paham bahwa ini adalah upaya pelemahan KPK, ternyata diserang juga sama buzzer."

 "Untuk toleransi, saya pikir bukan hal yang baru lah di KPK. Di kami pun, misalnya saya di Satgas Penyidikan, itu agamanya macam-macam. Tapi kita bersatu dalam melawan korupsi."

Yudi Purnomo

Perkara toleransi memang jadi bagian dari TWK. Yudi menceritakan beberapa pertanyaan yang menurut Yudi bisa ia jawab dengan mudah. Secara pribadi ia pun keheranan kenapa dirinya dianggap tak lolos TWK. Yudi adalah Ketua Wadah Pegawai KPK yang menaungi manusia-manusia dari banyak golongan.

Posisi itu, menurut Yudi tak mungkin ia jalani tanpa kemampuan toleransi. Ada satu pertanyaan dalam TWK yang Yudi amat ingat. Yakni ketika asesor menanyakan apakah ketika donor darah ia memperbolehkan darahnya digunakan untuk umat beragama lain. "Ya saya katakan boleh ... Saya pikir ketika saya mendonorkan darah, saya tidak peduli untuk siapa. Tapi untuk kemanusiaan," kata Yudi

Menjegal pemberantasan korupsi

Bagi Yudi alasan tak diloloskannya 75 pegawai KPK jelas: penjegalan upaya pemberantasan korupsi. Ada alasan-alasan yang diyakini Yudi. Salah satunya kombinasi dalam daftar pegawai yang gagal lolos TWK.

Meski belum diketahui 51 nama yang diberhentikan. Setidaknya nama-nama berikut akan memberi gambaran. Dari 75 pegawai KPK yang tak lolos TWK, 13 di antaranya adalah penyidik. Tujuh orang merupakan pensiunan Polri. Sementara enam sisanya independen. Apa saja kasus yang mereka tangani?

Pertama, Novel Baswedan. Ia tengah menangani kasus suap Tanjungbalai yang menjerat penyidik KPK dari Polri, Stefanus Robin Pattuju dan Wali Kota M. Syahrial. Selain itu Novel juga masih menangani kasus suap benih lobster yang melibatkan bekas Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo.

Yudi bekerja bersama Novel dalam dua kasus itu. Selain Yudi dan Novel, ada juga Ambarita Damanik dan Rizka Anungnata, penyidik lain yang tak lolos TWK. Rizka sebelumnya juga diketahui menyidik kasus suap bekas komisioner KPU Wahyu Setiawan yang melibatkan kader PDIP sekaligus buronan paling dicari hari ini, Harun Masiku.

Dalam kasus suap Wahyu Setiawan, Rizka bekerja bersama Ronald Paul Sinyal. Nama penyidik lain yang terjaring eliminasi TWK adalah Budi Agung Nugroho. Ia memiliki catatan penanganan kasus suap reklamasi yang melibatkan mantan Presdir Agung Podomoro Land Ariesman Widjaja dan anggota DPRD DKI dari Partai Gerindra Mohamad Sanusi.

Bekerja bersama Budi Agung dalam kasus itu adalah Hasan. Budi Agung juga pernah menangani kasus besar lain, seperti rekening gendut yang melibatkan nama Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Budi Gunawan yang kala itu masih dinas di Polri.

Dalam kasus yang akhirnya dibatalkan PN Jakarta Selatan itu Budi Agung bekerja sejumlah penyidik lain yang berada dalam daftar 75: Budi Sukmo dan Afief Julian Miftah. Budi Sukmo juga tercatat dalam penyidikan kasus penting, yakni korupsi AW 101 yang merupakan kasus korupsi pertama TNI yang ditangani KPK.

Dari klaster kasus lain, yakni kasus korupsi dana bantuan sosial (bansos) COVID-19 yang melibatkan bekas Menteri Sosial Juliari Batubara. Nama-nama penyidik pemegang kasus yang terjaring eliminasi TWK adalah Andre Dedy Nainggolan dan Praswad Nugraha.

Nama penyidik lain dalam daftar 75 ini adalah Marc Falentino yang menangani korupsi dana infrastruktur Sulawesi Selatan dengan tersangka Gubernur Nurdin Abdullah. Falentino juga menangani korupsi e-KTP oleh Setya Novanto dan Wisma Atlet yang menyeret Annas Urbaningrum. Lainnya, Herbert Nababan yang ikut andil dalam penyidikan Tanjungbalai.

Dengan segala fakta di atas, Yudi meminta semua pihak memikirkan ulang narasi yang menyebut tak ada proses penanganan korupsi yang terganggu dengan pemecatan ini. Sebagai gambaran, satu korupsi membutuhkan belasan orang dalam penanganannya.

 "Yang kami lawan adalah orang yang punya kuasa, punya jaringan, punya uang. Sama seperti sekarang, gitu kan. Ada kekuatan besar lah, yang istilahnya menyingkirkan kami dan bagi kami tentu yang tertawa paling awal adalah koruptor dengan kejadian seperti ini."

Yudi Purnomo

 "Contoh paling konkret adalah orang-orang yang saya periksa, tentu mereka akan kegirangan. 'Wah itu Yudi Purnomo yang dulu meriksa saya, yang dulu geledah rumah saya, yang dulu nangkap keluarga saya.' Mereka yang pertama ketawa gitu kan."

Yudi Purnomo

Ketua Wadah KPK Yudi Purnomo (Mahesa ARK/VOI)

Meski begitu Yudi masih punya optimisme. Ia telah mengabdi 14 tahun di KPK. Dan upaya-upaya menjegal ikhtiar pemberantasan korupsi bukan baru kali ini terjadi. Dan Yudi bersama para pegawai lain sepakat melakukan perlawanan hingga akhir. Perlawanan yang mereka sebut demi kebenaran.

"Selama 14 tahun saya sudah mengalaminya. Dari dulu zaman cicak buaya, sampai sekarang. Intinya sekarang kita harus teguh dengan keyakinan yang kita miliki," Yudi.

 "Kami selama ini tidak pernah bersuara, kami bekerja dalam senyap. Misalnya melakukan OTT. Wajah kami tidak dikenal. Tapi ketika sekarang, kami harus menyelamatkan nasib pemberantasan korupsi. Kalau sebelumnya kan kami menyelamatkan nasib uang rakyat yang diambil para koruptor. Artinya kami dengan para koruptor pun sudah teruji kami berani, apalagi ini."

Yudi Purnomo

INTERVIU Lainnya