Siman tak bicara, tapi berbahasa. Siman bergerak lamban, juga penuh pemaknaan. Gunawan Maryanto hidup di dalam Siman, jadi garis penting The Science of Fictions, semesta penuh kemegahan sinematik dan metafora ciptaan Yosep Anggi Noen. Siman membawa banyak nilai. Ia jadi perumpamaan lubuk soal kebenaran, yang tak hanya kedap tapi juga terombang-ambing. Sang astronot imajiner juga menyentil kehidupan serba cepat yang dangkal dan pragmatis. Apa lambat pasti ketinggalan? Dan selalu tepat kah cepat?
*****
"Hmmm... Bmmm... Mmmmhhh... Hwuuuuhhhh...," Si Siman bergumam. Tubuhnya meliuk. Tangannya menjelajah jarak yang bisa dicapai untuk menjawab pertanyaan Gun (Alex Suhendra): Tentang apa ini semua, man?
Adegan ini adalah salah satu yang paling kuat di sepanjang film The Science of Fictions. Bukan pertunjukan layar yang atraktif, namun sebuah sajian intens dari bahasa tubuh Gunawan Maryanto. Ada eskalasi emosi yang ditunjukkan Gunawan Maryanto dalam bahasa tubuh dan gumaman Siman. Maklum. Tak pernah ada yang bertanya pada Siman soal keadaan dan beban apa yang dibawanya. Ia kepalang dianggap gila, yang bahkan tak layak untuk sebiji pertanyaan.
Tanda tanya yang menggelitik muncul untuk Gunawan Maryanto. Jika dilisankan, apa yang sebenarnya disampaikan Siman pada Gun dalam adegan itu?
"Mungkin itu kali pertama Siman mendapatkan pertanyaan dari orang lain di luar dirinya, ya. Karena dari interaksi Siman dengan orang-orang di sekelilingnya, kayak dia lebih dianggap sebagai orang aneh, orang gila, gitu. Dan bahkan enggak ada yang kemudian bertanya, 'Kenapa kamu seperti ini?' 'Kenapa rumahmu seperti ini?' Dan pertanyaan itu pertama kali muncul dari Gun, ya," kata Gunawan Maryanto.
Iman dari kebenaran
The Science of Fictions dibagi menjadi dua babak. Pertama, dalam latar yang mengangkat medio 1960-an. Di masa itu Siman menyaksikan sebuah kejadian yang sangat menarik baginya: syuting pendaratan di Bulan. Siman melihat pesawat luar angkasa --sejatinya rekaan, astronot, hingga sejumlah tentara yang mengawasi kegiatan itu. Lidah Siman kemudian dipotong karena menyaksikan peristiwa palsu itu.
Siman yang malang. Ia jadi korban dari hal yang bahkan tak ia pahami. Begitu Gunawan Maryanto menggambarkan tokoh yang ia hidupi. Siman adalah sebagaimana banyak orang desa lain. Ia lugu. Wawasannya tak mungkin mencapai imaji yang diciptakan Barat. Namun kebohongan yang disaksikan Siman terlalu besar, hingga Siman yang remeh jadi begitu mengancam.
"Ya, (Siman) orang yang lugu dan kemudian secara tidak sengaja dia masuk ke dalam satu peristiwa yang tidak sepenuhnya dia pahami, seperti peristiwa syuting pendaratan manusia di Bulan itu. Barangkali dia juga tidak tahu bahwa itu adalah astronot. Itu adalah pesawat luar angkasa. Dia enggak tahu apa yang sedang dilakukan oleh orang-orang itu di situ. Kenapa ada tentara-tentara di situ. Dan kenapa juga dia ditangkap dan dipotong lidahnya, barangkali dia juga tidak sepenuhnya paham."
Segalanya metafora. Soal ketokohan Siman, terasa betul bagaimana Anggi Noen memosisikan Siman sebagaimana korban peristiwa 1965. Akhir babak pertama The Science of Fictions menegaskan itu. Keberadaan dan nasib Siman diabaikan setelah seorang dukun kampung, Ndapuk (Yudi Ahmad Tajudin) memvonis Siman gila, kehilangan kehilangan akal dan lidahnya lantaran mendatangi tanah keramat. Ndapuk merepresentasikan kekuasaan. Suaranya didengar seluruh orang kampung, bahkan mengakibatkan keputusasaan ibunda Siman yang kemudian bunuh diri.
Babak kedua kehidupan Siman dibuka dengan panorama yang lebih mutakhir. Babak ini disusun Anggi untuk menggambarkan Siman sebagai sebuah kebenaran yang tak cuma abu-abu tapi juga diombang-ambing oleh sistem kontrol penguasa dan pengabaian publik. Fakta sejarah yang pedar kerap kali begitu. Kebenarannya dikendalikan oleh penguasa. Dan pencarian-pencarian atas kebenaran sering kali berhenti karena apati.
Siman dan kebenaran sama-sama ada di tengah masyarakat. Sayang, tak diimani. Kepada kami, Gunawan Maryanto turut mengungkap bagaimana ia mendefinisikan kebenaran dalam perspektif yang lebih fundamental.
Bergerak lambat di zaman cepat
Siman bergerak bagai astronot. Meski sekali lagi, Siman tak pernah benar-benar tahu sedang memeragakan apa. Yang jelas fantasi ini sangat menarik. The Science of Fictions begitu lantang menyuarakan zaman. Bukan hanya yang lampau tapi juga yang tengah terjadi.
Soal hidup yang serba cepat dan pragmatis seperti hari ini, misalnya. Apa kelambatan tak memiliki nilai dalam kehidupan hari ini? Benar, memang. Sepragmatis itulah zaman bekerja sekarang. Tapi apa yang salah dengan bergerak lambat? The Science of Fictions juga mengangkat perihal itu, dalam tangkapan pribadi saya, setidaknya. Gunawan Maryanto mengamini.
Siman juga bukan sosok naif yang bergerak lambat tanpa alasan. Gerak lambatnya adalah peragaan soal pesan yang ia bawa di seumur hidupnya. Hal yang bahkan sejatinya gamblang menunjukkan Siman tak gila sama sekali. Anggi Noen mencoba menunjukkan ini. Gerak lambat Siman didasari oleh kesadaran penuh.
Ketika Siman menyadari uangnya hilang dicuri Gun. Saat itu Siman bergerak cepat mencari Gun. Satu kali Siman kehilangan kontrol atas dirinya. Momen lain adalah ketika Siman terpancing berahi dalam persenggamaan bersama PSK bernama Nadiyah (Asmara Abigail). Siman mengeluarkan dan menghitung uangnya dalam gerak cepat. Lagi-lagi Siman kehilangan kendali atas gerak lambat yang sepanjang hidup ia kehendaki.
Dan soal betapa metaforisnya Siman, Gunawan Maryanto turut menjelaskan kenapa Siman tak pernah bertambah tua meski melewati tahun yang panjang dalam semesta The Science of Fictions.
The Science of Fictions adalah perenungan paling nikmat. Tak cuma kontemplatif, tapi juga estetik, membuat 1 jam 46 menit The Science of Fictions seperti perjalanan psikedelik. Begitu menggugah. Gunawan, meski bukan satu-satunya penghidup semesta Anggi Noen, berhasil membahasakan segala pesan yang coba dibeberkan Anggi. Bahkan tanpa dialog. Capaian gila yang membawanya ke podium Festival Film Indonesia (FFI) 2020 sebagai aktor pemenang gelar Pemeran Utama Pria Terbaik.
Gunawan Maryanto adalah...
Wawancara saya dengan Gunawan Maryanto berlangsung lewat telepon, Jumat siang, 18 Desember. Ada kesan menarik dari interaksi awal kami. Sambungan telepon kami putus-sambung. "Aku mendengar suaraku sendiri (telepon bergema). Aku agak kesulitan berpikir untuk menjawab pertanyaan-pertanyan kamu," katanya, di kali ketiga kami memutus telepon, sebelum akhirnya wawancara telepon ini saya lakukan dari dalam mobil yang terparkir di luar bangunan kantor dan berlangsung lancar.
Gunawan Maryanto jelas sosok yang total. Bukan cuma mengenai wawancara ini. Beberapa hal lain dari penjelasan Gunawan Maryanto soal dirinya juga menggambarkan itu. Kecintaannya total pada sastra dan kesenian. Tidak ujug-ujug. Gunawan Maryanto lebih dulu bersentuhan dengan sastra sejak usia dini. Di umur lima, Gunawan Maryanto telah menyerap banyak buku bacaan.
Sementara, kecintaan terhadap seni --terutama seni pertunjukan-- tidak sesegera itu ditemui. Ia tumbuh di lingkungan budaya Jawa yang penuh kesenian. Ayah Gunawan Maryanto adalah pemain ketoprak. Sementara kakeknya lekat dengan pertunjukan wayang. Meski begitu Gunawan Maryanto tak memiliki ketertarikan terhadap seni pertunjukan, hingga ia menonton sebuah pertunjukan pantomim.
"Suatu saat aku dikasih undangan. Waktu itu oleh salah satu mahasiswa ISI Jogja yang kos di rumahku. Undangan pertunjukan pantomim di salah satu gedung pertunjukan legendaris di Jogja, yaitu Senisono."
Jalan Gunawan Maryanto menuju seni pertunjukan berlanjut ketika ia menginjak kelas 6 SD. Di usia itu ia bergabung dengan Teater Rambutan yang didirikan dan diasuh oleh sutradara teater asal Belgia, Rudi Corens. Gunawan Maryanto menjalani waktu panjang bersama Teater Rambutan hingga ia SMA. Di sana, Gunawan Maryanto mengaku belajar banyak soal dasar-dasar teater modern.
"Lalu di SMA aku bergabung dengan ekstrakurikuler teater. Dari sana kemudian aku bertemu banyak pelaku teater dari SMA lain, termasuk Hanung Bramantyo. Kami dulu difasilitasi oleh Gentong HSA. Dari sana kami mendirikan satu sanggar belajar teater untuk anak-anak seusia kami, ya. Namanya Sanggar Anom. Dari situ kami belajar lebih dalam lagi ya mengenai teater."
Selepas SMA, Gunawan Maryanto yang masuk Fisipol Universitas Gadjah Mada (UGM) bergabung dengan Teater Garasi. Di Teater Garasi Gunawan Maryanto berkiprah panjang selama 26 tahun. Dimulai 1995 hingga hari ini. Gunawan Maryanto hidup betul di Teater Garasi. Tak cuma dari sisi penghidupan finansial tapi juga spiritual.
Dari Teater Garasi itu juga pertemuan antara Gunawan Maryanto dan Anggi Noen terjadi. Keduanya telah mengenal lama karena berada di ekosistem kesenian yang luas di Jogja. Percakapan tentang karakter Siman dan konsep film The Science of Fictions bermula pada 2012, bahkan sebelum Istirahatlah Kata-Kata (2017), kolaborasi pertama antara Gunawan Maryanto dan Anggi Noen dalam film.
"Di 2012 itu dia mengajak ketemuan, terus ngobrolin ide soal karakter Siman ini. Ide untuk film panjang dia yang kedua setelah Vakansi yang Janggal dan Penyakit Lainnya (2012). Aku langsung tertarik sih dari paparan dia. Belum ada naskahnya pada waktu itu. Tapi dia cerita lah, kurang lebih, garis besar tentang film ini.