Maret, 2011, gelombang demonstrasi melawan kekuasaan Presiden Bashar al-Assad dimulai di Kota Daraa, Suriah. Maret, 2018, korban tewas akibat perang sipil mencapai 370 ribu. Begitu banyak hal yang memicu eskalasi konflik yang begitu menghancurkan. Salah satunya adalah radikalisme dan politisasi keagamaan. Muhammad Najih Arromadoni berada di Suriah saat itu, menyaksikan perkembangan konflik dari sudut pandang sosial. Gejala-gejala yang kini ia lihat terjadi di Indonesia.
***
Muhammad Najih Arromadoni datang ke Suriah pada 2009. Kala itu ia mendapat beasiswa S1 dari pemerintah Indonesia untuk menimba ilmu di Universitas Ahmad Kuftaro di Damaskus. Najih menjalani pendidikan Ilmu Dakwah dan Komunikasi hingga dirinya kemudian dideportasi pada 2012. Di Indonesia, Najih mengajar di Fakultas Ushuludin Universitas Islam Negeri (UIN), Surabaya. Ia juga menjabat sebagai Sekretaris Jenderal Ikatan Alumni Suriah sejak 2015.
Pemberontakan damai melawan Presiden Suriah Bashar Al-Assad diinspirasi oleh Musim Semi Arab (Arab Spring). Kala itu pemerintahan dua negara besar di Arab: Tunisia dan Mesir terguling. Para aktivis pro-demokrasi Suriah mencium bau harapan. Pengekangan kebebasan dan kesengsaraan ekonomi sudah begitu meresahkan. Dan represivitas pemerintah menangani aksi-aksi unjuk rasa memperluas kemarahan rakyat Suriah.
Pada Maret 2011, protes damai digelar di Suriah. Pemicunya adalah penahanan dan penyiksaan 15 anak laki-laki yang kedapatan mengguratkan grafiti bernada dukungan terhadap Musim Semi Arab. Salah satu bocah laki-laki berusia 13 tahun dari belasan anak itu mati karena siksaan brutal otoritas. Aksi-aksi unjuk rasa tak membuat pemerintah Bashar al-Assad menyadari kesalahan. Pemerintah justru membunuh ratusan demonstran dan memenjarakan begitu banyak pemrotes.
Juli 2011, pembelotan dari kubu militer terjadi. Mereka mengumumkan pembentukan Tentara Pembebasan Suriah. Kelompok itu berubah jadi pemberontak yang memiliki tujuan untuk menggulingkan Bashar al-Assad. Di waktu-waktu selanjutnya, konflik yang tadinya tak terkotak sekte berkembang jadi konflik sektarian yang lebih runcing.
Kebanyakan warga Suriah adalah Muslim Sunni. Mereka dihadapkan pada satuan keamanan Suriah yang sejak lama didominasi anggota sekte Alawi, di mana Bashar al-Assad menjadi bagiannya. Perseteruan antara sekte ini diperkeruh dengan radikalisme dan politisasi agama. Bagian ini yang disebut Najih sebagai faktor lokal konflik Suriah.
Kelompok-kelompok itu tak hanya angkat senjata. Mereka juga masuk ke kehidupan sosial dan beragama masyarakat Suriah. Mereka masuk masjid sebagai simbol agama. Tokoh-tokoh kelompok itu turut berbicara di atas mimbar dengan narasi keagamaan yang mendorong banyak orang masuk ke dalam gerak perjuangan mereka. Politisasi ayat, hadis, dan ajaran-ajaran agama lain dilakukan.
Gejala Suriah di Indonesia?
Seperti dikatakan sejak awal, konflik Suriah dilatarbelakangi banyak hal. Pun dalam eskalasinya. Saling silang kepentingan terjadi, melibatkan begitu banyak pihak dengan tujuan masing-masing. Dari mata Muhammad Najih Arromadoni kita akan melihat konflik Suriah dari tatanan sosial dan beragama masyarakat, serta bagaimana gejala itu dapat pula ia rasakan di Indonesia.
Kemiripan gejala ini sejatinya tak begitu mengherankan bagi Najih. Indonesia memiliki tantangan yang sama dengan Suriah. Selain karena masyarakatnya yang sama-sama religius, di Indonesia juga hadir kelompok-kelompok transnasional yang memiliki keterikatan dengan perang Suriah dan beberapa konflik lain di Timur Tengah.
Ada beberapa kemiripan pola teknis yang dirinci Najih. Soal demonstrasi yang selalu dilakukan hari Jumat, misalnya. Di Suriah, demonstrasi pertama kali juga dilakukan di hari Jumat, tepatnya di Masjid Agung Umayyah di Damaskus. "Dan kita bisa merefleksikan kembali berapa banyak Masjid Istiqlal itu dijadikan apel untuk demonstrasi."
Hal kedua, soal slogan. Di Suriah, ketika hari Jumat dipastikan sebagai harinya demonstrasi, para pemrotes mengusung tema bermacam-macam yang dikaitkan dengan perjuangan mereka di hari Jumat. Di Timur Tengah, ada yang disebut "Jumatul Ghadab", yang artinya adalah "Jumat Kemarahan". Lewat slogan ini para penggagas protes mengajak masyarakat meluapkan kemarahan.
Hal lain, kemiripan teknis yang dilihat Najih adalah penggunaan narasi keturunan Rasulullah. Di Suriah, hal ini juga terjadi. Kelompok Ahfad al-Rasul, misalnya. Kelompok yang terlibat dalam konflik Suriah ini sengaja memilih nama tersebut untuk mengesankan bahwa perjuangan mereka dilandasi oleh ajaran Nabi, bahwa pergerakan mereka berlandaskan agama Islam.
Membedakan ajaran agama dan narasi politis
Dalam konteks global, radikalisme mengatasnamakan agama memang sedang meluas. Bukan hanya di Timur Tengah atau Indonesia. Hal ini juga terjadi "Di Amerika, di Hong Kong, di Eropa, di Myanmar, di India, dan di beberapa negara yang lain," kata Najih.
Dan ini bukan hanya soal Islam. Pola ini juga dilakukan mengatasnamakan agama lain, seperti Katolik, Kristen, Hindu, hingga Buddha. "Itu kenapa kita sekarang masyarakat harus mewaspadai dan berhati-hati, dan tidak mudah tertipu dengan orang-orang yang membawa simbol-simbol agama."
Dalam konteks masa kini, media sosial jadi medium paling banyak dimanfaatkan oleh gerakan-gerakan radikal berkedok agama. Melihat sejarah konflik di Timur Tengah, misalnya.
Musim Semi Arab meluas karena lalu lintas informasi media sosial. Pun dalam konteks Suriah. Kebangkitan amarah rakyat akan kematian anak penggurat grafiti digoreng sedemikian rupa oleh kelompok-kelompok radikal yang membawa kepentingan destruktif.
Lalu bagaimana membedakan ajaran agama dengan narasi politis? Mudah saja, kata Najih.