Bagikan:

JAKARTA - Interviu adalah ruang yang disediakan VOI untuk sosok-sosok pilihan. Ada tiga hal yang jadi benang merah dari setiap konten Interviu: pemikiran, pengalaman, dan karya.

Senada dengan yang pernah diucap pakar sastra asal Andries Teeuw (1921-2012) bahwa manusia adalah homo fabulans: mahluk yang bercerita, yang bersastra. Dalam hal Interviu, “muruah” manusia sebagai mahluk bercerita kami kedepankan.

Dari sekian banyak sosok yang nangkring dalam kanal Interviu pada tahun 2020, ada tiga cerita yang kami pilih. Lewat perbincangan intim dan mendalam, kami mengorek pengalaman Febri Diansyah selama menjadi penggawa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), mengangkat karya yang ditelurkan musisi genius Hazen Mardial lewat tiga karakter ciptaannya, hingga mendalami pemikiran "aktor bisu" peraih Piala Citra Gunawan Maryanto dan segala perenungannya.

Febri Diansyah

Febri Diansyah (Mahesa ARK/VOI)

Peritiwa pengunduran Febri Diansyah dari KPK begitu menghebohkan khalayak. Sekalipun Febri bukan pimpinan, namun ia adalah wajah penting bagi KPK beberapa tahun ke belakang. Setali dengan itu, Senin, 28 September, kami mencoba mewawancarainya terkait perjalanan batinnya memutuskan pengunduran diri.

Pengunduran diri, kata Febri adalah perkara yang tak mudah. Febri melewati perjalanan batin yang panjang untuk sampai pada keputusannya mengundurkan diri. Demonstrasi mahasiswa satu tahun lalu jadi pemicu segala kegundahan, ketika ramai-ramai mahasiswa turun ke jalan menolak revisi Undang-Undang KPK. Febri sadar kepedulian pada KPK begitu besar. Dan ketika pemerintah bersama DPR mengesahkan RUU itu menjadi UU Nomor 19 Tahun 2019, gejolak di dada Febri makin jadi.

"Di beberapa negara di dunia, 'KPK'-nya bisa kuat karena ada dukungan politik yang sangat kuat. Kekuatan politiknya pengin negaranya bersih dari korupsi. Tapi kalau kekuatan politiknya menganggap KPK sebagai pengganggu, sebagai tukang bikin heboh, misalnya. Atau dalam tanda kutip, anak yang tidak dikehendaki, enggak mungkin KPK bisa jadi kuat. Jadi komitmen politik itu yang paling utama. Apakah sekarang ada komitmen politik yang kuat terhadap KPK? Banyak pihak bisa menjawab itu. Jadi silakan saja kita cari literatur dan pendapat-pendapat terkait dengan hal itu."

"[HUKUM] Febri Diansyah | Tentang Satu Tahun Penuh Kegundahan di KPK"

Tim:

Reporter: Wardhany Tsa Tsia, Ramdan Febrian

Fotografer/Audio: Mahesa ARK

***

Hazen Mardial

Hazen Mardial (Sumber: Istimewa)

Hazen Mardial adalah sosok musisi fenomenal di 2020. Bukan cuma perkara album musik yang ia rilis di situs bokep. Distribusi "Album Terbaik Di Tata Surya" mengandung pesan penting soal batasan. Dalam Inverviu kali ini kami mencoba mendalami makna batasan dari kepala orang yang hampir tak mengenal batas.

Secara keseluruhan, kita dapat merasakan unsur kuat new school hip hop dalam "Album Terbaik Di Tata Surya". Unsur psikedelik yang identik dengan karakter musik Mamang Kesbor nan "mengawang-awang" juga dapat dinikmati sebagai benang merah dalam album. Benang merah lain adalah tema. Album Terbaik Di Tata Surya mengangkat kritik sosial yang kuat. Bukan yang menggurui, namun satire. Mardial menempatkan karakter Mamang Kesbor sebagai bagian dari tatanan sosial yang dikritisi.

“Gua nyenggol isu sosial, tapi karakter yang gua senggol itu ceritanya Si Mamang Kesbor itu sendiri. Makanya kayak di lagu Amer atau Sebat Dulu, kritiknya adalah, kalau di Amer itu kan fenomena orang mabuk tapi norak. Nah, itu karakternya si Mamang Kesbor sendiri yang norak. Terus, Sebat Dulu, tentang budaya mager-nya orang Indonesia yang apa-apa harus sebat dulu. Di situ juga karakternya Si Mamang Kesbor. Kayak gitu."

"[MUSIK] Hazen Mardial | Tentang Batas Berpikir dan Dunia dalam Tiga Karakter"

Tim:

Reporter: Yudhistira Mahabharata

Audio: Mahesa ARK

***

Gunawan Maryanto

Gunawan Maryanto (Sumber: Istimewa)

Gunawan Maryanto dan film The Science of Fictions adalah paket lengkap jagat hiburan. Lewat karakter Siman yang bergerak bagai astronot. Film ini jadi menarik. Film ini begitu lantang menyuarakan zaman. Bukan hanya yang lampau tapi juga yang tenah terjadi.

Soal hidup yang serba cepat dan pragmatis seperti hari ini, misalnya. Apa kelambatan tak memiliki nilai dalam kehidupan hari ini? Benar, memang. Sepragmatis itulah zaman bekerja sekarang. Tapi apa yang salah dengan bergerak lambat? The Science of Fictions juga mengangkat perihal itu, dalam tangkapan pribadi kami, setidaknya. Gunawan Maryanto mengamini.

"Di dalam menghidupi gerak Siman yang lambat pun saya berpikir begitu, ya. Di dalam kelambatan ini, ya. Karena gerak Siman bukan gerak saya sehari-hari. Jadi saya juga menemui satu kenyataan lain di dalam kelambatan ini. Saya justru bertemu dengan banyak hal lainnya, yang tidak saya temui ketika saya bergerak biasa atau bergerak cepat. Paling tidak penghayatan atas tubuh saya. Penghayatan atas emosi saya. Penghayatan atas pikiran-pikiran atau gagasan saya. Jadi ini satu sentilan sih ya buat kehidupan yang sedemikian bergerak dengan sangat cepat ini. Sebenarnya sedang mengejar apa, sih? Kenapa mesti cepat-cepat? Toh kita akan mati juga. Cepat atau lambat.”

"[FILM] Gunawan Maryanto | Tentang Siman, Kebenaran, dan Bergerak Lambat di Zaman Cepat"

Tim:

Reporter: Yudhistira Mahabharata

Audio: Mahesa ARK