Jurnalisme Rasa 2020 Pilihan Redaksi VOI
Ilustrasi (VOI)

Bagikan:

JAKARTA - Tahun 2020 adalah periode penuh dinamika. Banjir awal tahun, masuknya pandemi COVID-19, dan gelora semangat rakyat menolak Omnibus Law Cipta Kerja (Ciptaker) jadi yang paling menonjol. Untuk itu, redaksi VOI kemudian tergerak meramu ragam dinimika tersebut. Akan tetapi, dengan sentuhan dan sudut pandang yang berbeda. Kami menyebut hal itu dengan Jurnalisme Rasa.

Salah satu unsur perbedaan paling kuat dari Jurnalisme Rasa adalah fitur soundwave. Fitur ini memungkinkan pembaca masuk ke dalam situasi peliputan yang dilakukan. Selain sebagai bentuk transparansi dalam reportase, Jurnalisme Rasa juga dapat mengasah imajinasi pembaca terkait peristiwa yang kami liput.

Untuk mengembalikan sedikit ingatan akan Jurnalisme Rasa yang telah diproduksi tahun 2020, kami milih tiga judul Jurnalisme Rasa paling menarik. Ketiga artikel itu dapat memberikan dorongan kepada pembaca untuk melihat peristiwa sebagai pembentuk pengalaman juga sebagai bentuk menikmati peliputan dengan sentuhan totalitas.

Banjir awal tahun

Sekelompok warga menetap di tengah banjir di Ciledug Indah, Tangerang (Yudhistira Mahabharata/VOI)

Jakarta kebanjiran menjadi pembuka tahun baru 2020 di Ibu Kota, Jakarta. Selain itu, banjir juga merendam kawasan sekitar Jakarta sepertii Tangerang dan Bekasi. Tim VOI kemudian berinisiatif mendatangi korban banjir di Ciledug Indah pada Kamis Sore, 2 Januari. Di tempat itu, kami mencoba mendatangi rumah-rumah warga untuk mendalami alasan mengapa mereka memilih risiko bertahan di tengah kepungan air.

Atas dasar itu, kami mencoba mengunjungi posko pengungsian sekitar. Selain terdapat tenda-tenda dapur umum, otoritas setempat tampak memanfaatkan bangunan masjid untuk menampung para korban banjir. Di masjid tersebut pula para relawan membagikan nasi-nasi kotak. Alhasil, situasi semakin tak terkendali. Apalagi, banyak di antara mereka yang ngantri bukan termasuk korban banjir.

"Ibu, malu dong. Bapak, tolong dong. Ini untuk yang bencana. Yang rumahnya enggak kebanjiran jangan ikut antre. Malu, dong," teriak seorang petugas dari kejauhan sembari membagikan nasi-nasi kotak.

Saat memasuki bangunan masjid, memang terlihat ramainya orang yang mengungsi. Kendati demikian, dari beberapa yang kami tanyakan rata-rata mereka menyatakan hanya sekedar beristirahat sejenak, sembari mengonsumsi bantuan makanan. Setelahnya mereka pulang dan bukan berdiam sampai situasi benar-benar aman terkendali dari banjir. Lebih lengkapnya terkait jurnalisme rasa ini kami pernah mengulasnya dalam artikel “Mengetuk Pintu Mereka yang Bertahan di Tengah Banjir.”

"Mengetuk Pintu Mereka yang Bertahan di Tengah Banjir"

Tim:

Reporter: Yudhistira Mahabharata, Saddam

Fotografer: Irfan Meidianto

Audio: Mahesa ARK

***

Konspirasi COVID-19 di masyarakat desa

Masyarakat di Desa Cikarawang, Bogor, Jawa Barat (Foto-foto: Ramdan Febrian/VOI)

Secara resmi, pandemi COVID-19 tercatat masuk Indonesia pada awal Maret. Tak sedikit yang ragu akan hal itu. Beberapa ahli memperkirakan virus telah masuk sebelum kasus 01 dan 02 di Depok, Jawa Barat.

Namun bagaimanapun, yang jelas pemerintah telah melakukan banyak kesalahan dalam langkah pencegahan. Imbasnya, pandemi COVID-19 tak benar-benar dianggap berbahaya oleh segenap masyarakat, termasuk warga di Desa Cikawang, Bogor.

Pada Rabu, 18 Maret, kami mencoba mencari tahu sejauh mana sosialisasi kehadiran pandemi COVID-19 oleh pemerintah setempat. Untuk itu, sedari pagi kami mendatangi Desa Cikawang. Hasil pengamatan di lapangan, banyak warga yang masih terlihat mengobrol di pekarangan rumah. Jaga jarak pun tidak, apalagi menggunakan masker.

Lalu, ada pula seorang tukang cilok yang masih dikerumuni oleh banyak pembeli. Pemandangan itu menjadi bukti bahwa COVID-19 belum tersosialisasi dengan baik.  Meski begitu, warga di Desa Cikawang bukan tak tahu soal virus corona dan penyakit COVID-19. Anggi, seorang warga yang kami temui mengatakan, hidup harus terus berjalan meski wabah mengancam.  Makin dalam, kunjungan kami makin menarik. Kami semakin tahu bagaimana sebaran informasi di tengah masyarakat di Desa Cikarawang tak cuma minim, tapi juga liar.

Seorang warga, David, mengungkap pandangannya kepada kami. Menurutnya, COVID-19 adalah cara China menghancurkan Indonesia. Alasannya, COVID-19 terjadi pasca-ketegangan Indonesia dan China di Laut Natuna. "Pada dasarnya, ada yang bilang, China emang sengaja mau ngebom Indonesia. Tapi, caranya halus, main cantik. Soalnya kan kejadian corona ada setelah kejadian perang laut natuna," tutur David berteori.

"Pengetahuan dan Teori Konspirasi COVID-19 di Kepala Masyarakat Desa"

Tim:

Reporter/Fotografer: Ramdan Febrian

Audio: Mahesa ARK

***

Aksi ricuh unjuk rasa tolak Omnibus Law Cipta Kerja

Massa bentrok di Jakarta Pusat (Irfan Meidianto/VOI)

Demonstrasi tolak UU Omnibus Law Ciptaker berlangsung di berbagai daerah Nusantara, Kamis, 8 Oktober. Kami menyebar tim di Jakarta Pusat, titik paling panas dalam gerakan se-Ibu Kota untuk menangkap segala dinamika kumpulan massa di sekitar kami.

Ini adalah laporan kolektif VOI soal meluasnya kericuhan serta massa misterius di antara kami dan para demonstran. Dalam temuan di lapangan, tim VOI banyak melihat kemunculan kelompok-kelompok yang merusak gerakan massa.

Semisal, saat meliput aksi di Jalan Sabang, di mana banyak orang-orang tak teridentifikasi mengumpulkan batu dan benda tumpul lain di tas mereka. Atau temuan terkait kelompok perusak di Gedung Kementerian ESDM. Petugas keamanan setempat mengatakan kepada kami bahwa kemunculan massa terjadi tiba-tiba.

Kira-kira ada 30 orang mendatangi gedung kementerian. Di antara 30 orang tersebut tak ada satu pun dari mereka yang mengenakan almamater atau atribut lain yang dapat mengindentifikasi kelompok mereka. Setelahnya, orang-orang itu menerobos keamanan, merusak sejumlah fasilitas, termasuk bangunan dan kendaraan. Mereka bahkan mengambil dua unit laptop dan computer.

“Massa Misterius dan Meluasnya Bentrokan: Laporan Lima Jurnalis VOI dari Berbagai Titik Demo UU Cipta Kerja”

Reporter: Detha Arya Tifada, Diah Ayu Wardani, Wardhany Tsa Tsia, Saddam

Fotografer: Irfan Meidianto

Audio: Mahesa ARK

***