Bagikan:

JAKARTA - Di Indonesia, COVID-19 telah menginfeksi 369 orang. Di antara mereka, 17 sembuh dan 32 lainnya meninggal dunia. Beberapa waktu lalu kami memantau situasi Kampung Cikarawang di Bogor untuk menangkap pandangan masyarakat tentang COVID-19. Nyatanya, arus informasi di sana tak cuma minim, tapi juga 'liar'. Bayangkan tentang masyarakat yang melihat COVID-19 sebagai senjata perang China terhadap Indonesia.

 [Klik untuk Menambah Rasa]

Kami sampai di Desa Cikarawang, Kecamatan Dramaga, Bogor, Jawa Barat, pada tengah hari, Rabu, 18 Maret. Saat itu, masyarakat tengah melaksanakan salat zuhur berjemaah di Masjid Desa Cikarawang. Sebelum tiba di masjid, kami disambut oleh gapura bertulis "Dirgahayu RI-45". Bekas perayaan proklamasi kemerdekaan bangsa masih terasa di kampung ini.

Dari gapura, kami menelusuri jalanan sambil melihat rumah-rumah yang berdempetan di sebelah kanan. Sementara, di sebelah kiri, terlihat pagar pembatas yang memisahkan antara jalan dengan sebuah jurang. 

Setelah berjalan sekitar tiga ratus meter dari pertigaan, kami menepi di sebuah warung. Di seberang kami, nampak sebuah bengkel sepeda motor. Sembari menyeruput kopi hitam hangat, kami mengamati situasi sekitar selama hampir satu jam. Dari pantauan itu, tak terlihat adanya upaya menjaga jarak yang dilakukan masyarakat di Desa Cikarawang.

Permukiman Desa Cikarawang

Sesekali, beberapa dari mereka terlihat mengobrol di pekarangan rumah. Berjarak beberapa meter dari rumah yang kami amati, nampak seorang tukang cilok yang dikerumuni banyak pembeli, yang sebagian besar tentu saja anak-anak. Sembari melayani, tukang cilok terlihat asyik mengobrol dengan pria di sebelahnya.

Aktivitas lain terlihat di sebuah rumah yang tengah dibangun, lengkap dengan para pekerja bangunannya. Warga di Desa Cikarawang bukan tak tahu soal virus corona dan penyakit COVID-19. Anggi, seorang warga yang kami temui mengatakan, hidup harus terus berjalan meski wabah mengancam. Anggi jelas tak memahami bahaya COVID-19.

Padahal, tiga hari sebelumnya, Minggu, 15 Maret, Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengumumkan imbauan agar masyarakat di seluruh Indonesia melakukan social distancing. Lebih-lebih. Sebab, pada Selasa sore, 17 Maret atau satu hari sebelum kunjungan kami, otoritas mengumumkan lonjakan kasus COVID-19 dari 134 menjadi 172. Dalam pengumuman itu, otoritas juga menyatakan lima orang meninggal.

"Ya gimana, kalau misalnya satu minggu aja mereka enggak kerja, mereka enggak bisa makan ... Namanya juga menyambung hidup. Warga di sini tetap kerja seperti biasa, ada yang ngojek, kuli bangunan," kata Anggi.

Warga Desa Cikarawang

Warga lain, Muhidin mengungkap kondisi sosial yang guyub di desanya tak memungkinkan social distancing diterapkan. Dia bilang,  "Susah kalau suruh jaga jarak di lingkungan seperti ini. Kecuali kalau kita tahu siapa yang terjangkit, tidak jadi masalah (jaga jarak). Kalau gini kan kita tidak tahu siapa yang terjangkit atau tidak. Jaga jarak nanti orangnya tersinggung. Itu yang susah jaga perasaan."

Muhidin masih mending, ia mengetahui imbauan jaga jarak ini dari pemberitaan televisi. Warga lain yang kami temui bahkan mengaku tak tahu sama sekali soal imbauan social distancing. Soleh, mengatakan kepada kami, tak ada sosialisasi yang dilakukan otoritas setempat.

 "Info-info paling dari media doang, dari WA. Belum ada imbauan kalau soal itu. Lingkungan sini belum ada. Dari pihak setempat, dari desa, RW, gitu, belum mengimbau soal jaga jarak, belum. Paling, jaga perasaan aja," katanya.

Makin dalam, kunjungan kami makin menarik. Kami semakin tahu bagaimana sebaran informasi di tengah masyarakat di Desa Cikarawang tak cuma minim, tapi juga liar. Seorang warga, David, mengungkap pandangannya kepada kami. Menurutnya, COVID-19 adalah cara China menghancurkan Indonesia. Alasannya, COVID-19 terjadi pasca-ketegangan Indonesia dan China di Laut Natuna.

 "Pada dasarnya, ada yang bilang, China emang sengaja mau ngebom Indonesia. Tapi, caranya halus, main cantik. Soalnya kan kejadian corona ada setelah kejadian perang laut natuna," tutur David berteori. 

Fatwa MUI

Kembali ke masjid sekitar. Kami menemui sejumlah masyarakat yang baru saja menunaikan salat berjemaah di Masjid Desa Cikarawang. Kami betanya mengenai fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang mengimbau agar umat Muslim di Indonesia salat di rumah.

Mereka mengaku tak mengetahui fatwa itu. Maka, tentu saja, tak terlihat masyarakat yang membawa sajadah sendiri, sebagaimana anjuran yang dimaktubkan MUI dalam fatwa. Bahkan, usai salat, warga masih terlihat bersalam-salaman.

Dua hari sebelum kunjungan kami, tepatnya Senin, 16 Maret, MUI telah mengeluarkan fatwa terkait tata cara ibadah selama pandemi virus corona. Dalam fatwa bernomor 5, termaktub bahwa dalam suatu kawasan yang potensi penularannya rendah, maka diwajibkan menjaga diri agar tidak terpapar virus Corona ketika sedang beribadah.

"Seperti tidak kontak fisik langsung (bersalaman, berpelukan, cium tangan), membawa sajadah sendiri, dan sering membasuh tangan dengan sabun," tertulis.

Namun, jelas bukan salah warga. Mereka justru yang paling malang. Ketidaktahuan menempatkan mereka dalam bahaya. Kala itu, memang belum ada kasus di Kabupaten Bogor. Satu-satunya kasus yang tercatat di Bogor berada di wilayah administratif Kota Bogor. Wali Kota Bogor Bima Arya mengumumkan satu orang yang positif COVID-19 adalah mahasiswa Institut Pertanian Bogor yang indekos di daerah Sempur.

"Yang dinyatakan positif covid-19 adalah warga Jakarta yang kos di daerah Sempur. Informasi disampaikan oleh Dinkes Jakarta, jadi bukan warga Kota Bogor. Status mahasiswa," ujar Bima saat dikonfirmasi melalui pesan singkat kepada CNNIndonesia.com, Selasa (17/3).

Situasi berubah. Sebab, menurut informasi yang kami himpun pada Kamis, 19 Maret, Kabupaten Bogor telah mencatatkan tiga kasus positif, di mana satu di antaranya meninggal. Perkembangan baru juga meliputi kabar tentang Wali Kota Bogor Bima Arya yang pada Jumat pagi, 20 Maret, mengumumkan dirinya positif COVID-19.