JAKARTA - Associate Professor Bidang Sosiologi Bencana dari Nanyang Technological University (NTU) Singapura, Sulfikar Amir mengatakan, teori konspirasi terkait vaksinasi COVID-19 bisa terjadi akibat adanya kesenjangan dalam perolehan pengetahuan pada masyarakat di suatu negara.
"Biasanya, itu terjadi karena adanya ketimpangan atau kesenjangan pengetahuan dari sekelompok orang, dengan fakta atau realitas yang ada di depan mereka," kata Sulfikar dalam webinar Hasil Survei Nasional 2022 bertajuk Anak Muda dan COVID-19: Berbhineka Kita Teguh, Ber-Hoax Kita Runtuh yang diikuti di Jakarta, Antara, Rabu, 5 Januari.
Sulfikar menuturkan, teori konspirasi merupakan suatu hal yang bersifat universal yang tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga pada negara yang memiliki pendidikan lebih tinggi, yakni Amerika Serikat, Singapura, Eropa bahkan Australia.
Munculnya teori konspirasi disebabkan oleh adanya kesenjangan pengetahuan yang dimiliki oleh penduduk di suatu daerah yang terjadi karena beberapa faktor, seperti adanya sekelompok warga yang mempercayai penjelasan alternatif melalui media mainstream atau adanya sebuah realitas yang terjadi di depan mereka, sehingga menimbulkan sebuah kepercayaan.
Menurutnya, ketimpangan juga disebabkan oleh adanya pembelahan sosial yang terjadi di sebuah negara. Akibatnya, informasi yang diterima tersebar secara berbeda atau tidak merata.
Dalam hal ini, dia memberikan contoh Amerika Serikat yang terpecah menjadi dua kubu akibat adanya keterbelahan politik. Adanya masyarakat yang terbagi menjadi pendukung Partai Republik dan Demokrat memberikan dampak besar terhadap program vaksinasi di sana. Karena masyarakat memiliki pendapat yang berbeda terhadap manfaat atau keamanan vaksin.
BACA JUGA:
Dengan demikian, teori konspirasi dapat terjadi di mana saja dan sangat tergantung pada kondisi sosial atau kondisi politik pada sebuah masyarakat.
"Saran saya adalah kita harus selalu melihat akar masalah yang membuat teori konspirasi itu muncul dan tumbuh dengan mudah di masyarakat. Sehingga, kita bisa memitigasinya dengan lebih efektif," kata dia.
Dokter lulusan Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada sekaligus relawan dan pegiat media sosial yang fokus dalam penyebaran COVID-19 Dr. Tirta Mandira Hudhi mengatakan masyarakat Indonesia memiliki kondisi yang berbeda, karena saat ini justru lebih cerdas dalam mencari informasi mengenai vaksinasi atau COVID-19.
Ia menuturkan bila melihat topik berita berdasarkan data Google Tren tahun 2020 yang dipublikasikan oleh 10 media besar, yang paling banyak dicari justru mengenai mutasi varian virus, cara terhindar dari COVID-19 sampai dengan mendapatkan vaksinasi dosis lengkap.
"Saya melihat sendiri di Jambi, orang memakai masker tapi tidak pakai helm. Artinya, bagus edukasi kita, dia lebih takut terkena COVID-19 dibandingkan kecelakaan. Tapi apa efek positifnya? warga saja sudah mengerti soal bahaya COVID-19," ujar Tirta.
Dibandingkan adanya teori konspirasi, katanya, Indonesia harus prihatin dengan kondisi database para peserta vaksin. Adanya seorang warga yang divaksinasi beberapa kali, membuka sebuah fakta yang menyebabkan masyarakat mengetahui bahwa data-data yang dimiliki pemerintah perlu dicermati dengan lebih baik lagi.
Selain itu, dia juga menyoroti beberapa lembaga atau kementerian yang membahas COVID-19. Untuk memperkecil adanya kesenjangan informasi di antara masyarakat, dia menyarankan supaya sentral informasi hanya berasal dari salah satu lembaga terpercaya saja supaya tidak banyak informasi berbeda yang beredar.
"Penyampaian edukasi COVID-19 itu oleh orang-orang yang kompeten dan dalam satu organisasi atau kementerian saja. Jika masing-masing orang memberikan pernyataan, yang terjadi adalah adanya infodemik atau banyaknya informasi yang beredar, sehingga masyarakat bingung," ucapnya.