Perjalanan TransJakarta Sadarkan Kami Banyak Masyarakat Tak Tersosialisasi COVID-19
Suasana di dalam TransJakarta (Foto-foto: Detha Arya Tifada/VOI)

Bagikan:

JAKARTA - Kemarin, kami menempuh rute commuter line Bogor-Depok-Jakarta untuk memantau seberapa siap PT Kereta Commuter Indonesia (KCI) mencegah penularan virus corona atau COVID-19. Selain commuter line, kami juga melakukan perjalanan dengan bus TransJakarta. Rute Adam Malik (Tangerang)-Pancoran Barat (Jakarta Selatan) yang kami pilih.

Selain commuter line, bus TransJakarta adalah moda transportasi yang juga paling banyak dimanfaatkan masyarakat. Pada Desember 2019 lalu, PT TransJakarta mengumumkan jumlah pengguna jasa mereka yang melebihi angka 800 ribu penumpang per hari. Jika dijumlah, artinya pengguna TransJakarta mencapai 263 juta di sepanjang tahun lalu.

"Akumulasi 2019 sendiri, total 263 juta dibandingkan tahun 2018, 180 juta. Naiknya 40 persen," kata Direktur Utama PT TransJakarta Agung Wicaksono, ditulis Kompas.com, 30 Desember 2019.

 [Klik untuk Menambah Rasa]

Kami tiba di Halte Adam Malik, Ciledug, Tangerang sekitar pukul 10.00 WIB. Arus pencari nafkah masih cukup ramai kala itu. Seperti pantauan yang kami lakukan di stasiun-stasiun commuter line, di Halte Adam Malik kami juga langsung mencari keberadaan hand sanitizer. Hasilnya, kami langsung menemukan pembersih tangan, tepat sebelum pintu masuk halte.

Botolnya masih terisi cukup penuh. Kami menetap di dalam halte, melewatkan dua hingga tiga bus demi mengamati sikap dan perilaku para pengguna TransJakarta di Halte Adam Malik, bagaimana mereka merespons COVID-19. Berdasar pantauan kami, dalam waktu sekitar lima menit, hanya lima orang yang menyemprotkan hand sanitizer ke tangan mereka. 

Hand sanitizer yang diletakkan di dekat loket tiket

Perilaku ini cukup mengganggu. Sebab, petugas di pintu masuk sejatinya telah mengimbau mereka yang akan memasuki halte untuk membersihkan tangan terlebih dahulu. Namun, di sisi lain, peran petugas pun rasanya tak cukup. Sebab, tak ada pemindaian suhu tubuh yang dilakukan. Prosedur pengamanan yang membalut petugas pun minim. Tak ada yang mengenakan sarung tangan. Yang menggunakan masker pun hanya sebagian.

Hal ini bertolak belakang dengan pernyataan PT TransJakarta yang menyebut akan memastikan setiap petugas dibekali sarung tangan dan masker. Pernyataan itu disampaikan Kepala Divisi Sekretaris Korporasi dan Humas PT TransJakarta Nadia Diposanjoyo lewat keterangan pers yang kami terima 3 Maret, satu hari setelah pengumuman kasus COVID-19 nomor satu dan dua.

"Manajemen Transjakarta juga memastikan para petugas khusus TransJakarta untuk selalu membersihkan handgrip (pegangan bus) sebelum berangkat dari depo dan akan dibersihkan pada saat penurunan pelanggan di halte-halte akhir TransJakarta," katanya kala itu.

Bus kami pun datang. Kami melanjutkan perjalanan ke Halte Rawa Barat. Di sana, kami menemukan hand sanitizer. Botol-botol diletakkan di titik yang sama seperti di Halte Adam Malik: dekat loket sebelum pintu masuk halte. Temuan yang sama kami dapati di Halte Tendean. Soal kelengkapan petugas pun sama. Tak ada yang mengenakan sarung tangan. Mereka yang menggunakan masker pun hanya sebagian.

Perjalanan kami alihkan ke arah Blok M. Di tujuan akhir kami, Halte Blok M, kami tak menemukan hand sanitizer. Di sana, kami juga menemukan perbedaan. Di Halte Blok M, kami tak menemukan imbauan dalam poster --atau bentuk lain-- tentang pencegahan COVID-19. Soal petugas, keberadaan mereka tak sebanyak di halte-halte lain yang kami amati.

Perilaku masyarakat

 [Klik untuk Menambah Rasa]

Kembali ke ratusan menit sebelum kami sampai di Halte Blok M. Kami baru saja menaiki bus dari Halte Adam Malik, dan langsung menyadari, ada yang salah dengan perilaku masyarakat dalam menyikapi penularan COVID-19.

Kami sepakat dengan sikap tenang. Namun, bukan tenang tanpa kewaspadaan juga yang seharusnya. Soal etika batuk, misalnya. Di dalam bus, kami mendapati seseorang yang sepanjang perjalanan mengalami batuk-batuk kecil.

Ia tak mengenakan masker, tidak pula menerapkan etika batuk yang benar. Kami mengamati, setiap kali batuk, pria muda itu hanya menutup mulut dengan telapak tangan, tanpa kemudian membersihkan tangannya.

Yang menarik, tak tampak respons berarti dari penumpang lain yang duduk dan berdiri di sekeliling si pria muda. Masyarakat perlu lebih diedukasi.

Situasi di dalam bus TransJakarta

Kembali ke Halte Adam Malik. Di halte itu, kami tak hanya mengamati ketersediaan fasilitas dan kesiapan petugas. Di sana, kami sempat memantau penyuluhan yang dilakukan para petugas kesehatan dari Puskesmas Pesanggrahan, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan.

Kepada penumpang yang tengah menunggu bus --termasuk kami, para petugas mempraktikkan enam langkah cuci tangan. Mereka juga mengedukasi masyarakat soal etika batuk dan bersin di tempat umum. Penting, mengingat apa yang kami lihat di dalam bus TransJakarta beberapa saat setelah edukasi di Halte Adam Malik itu.

 "Tutup hidung dan mulut dengan siku. Jadi tidak ada lagi batuk atau flu, nutupnya menggunakan tangan biasa, tangan telanjang. Kalau mau batuk atau pilek, atau mau buang ingus, itu menggunakan tisu. Boleh menggunakan tangan, tapi dilapisi oleh tisu terlebih dahulu, seperti ini. Kemudian kalau mau batuk, batuk itu menggunakan siku lengan bagian dalam. Siku lengan bagian dalam, kemudian batuk, kemudian dibatukkan. Setelah itu, tisunya langsung dibuang, ya. Jangan dikantongin," seru seorang petugas, Dena.

Dena, mengatakan, sosialisasi ini telah dilakukan dalam beberapa pekan belakangan. Mereka berkeliling ke banyak tempat umum, dari halte bus hingga ke sekolah-sekolah. Dan kegiatan mereka hari ini di Halte Adam Malik, dilakukan atas inisiatif penuh. Bahkan, tanpa bekerja sama dengan PT TransJakarta.

“Kami sedang sosialisasi mengenai ini ke beberapa titik. Lumayan banyak, sih. Kita ke sekolah-sekolah, juga ke tempat lain, instansi pemerintahan,” katanya kepada VOI, Kamis, 12 Maret.

Perjalanan kami hari itu membulatkan satu kesimpulan, bahwa masih banyak penumpang TransJakarta yang tak tersosialisasi dengan baik soal penularan COVID-19. Dapat terlihat dari etika seorang penumpang yang tengah dilanda batuk-batuk atau penggunaan hand sanitizer yang tak banyak dilakukan penumpang.

Kami mewawancarai seorang penumpang. Ida, namanya. Ida yang sehari-hari bekerja sebagai pegawai swasta di kawasan Tendean, Jakarta Selatan menyebut sosialisasi yang dilakukan para petugas Puskesmas Pesanggrahan adalah hal yang baru ia temukan di Halte Adam Malik.

 “Aku baru melihat ini (sosialisasi). Mungkin, bagi orang yang jarang dengerin radio atau apa itu, mungkin terbantu. Kalau saya kan sering dengerin radio, jadi sudah selalu dengar. El-Shinta kan selalu update terus kan,” kata Ida.

Sedikit banyak, ada rasa was-was di dalam diri Ida. Kurangnya sosialisasi akan membawa banyak orang kepada perilaku yang salah soal penularan COVID-19. Dan semakin banyak perilaku salah, akan makin luas pula potensi penularan COVID-19. Karenanya, ia meminta otoritas untuk menggencarkan sosialisasi.

 “Sosialisasi, penting sih. Khususnya, di tempat-tempat keramaian. Di mal. Mal itu paling banyak kan (keramaian). Kita enggak tahu kan. Di stasiun. Ya, memang bagus sih kalau ada sosialisasi begini. Kalau bisa, pakai gerakan masker juga. Tidak masalah ya kasih masker. Tambah kepedulian gitu. Masker susah dicari kan. Banyak orang-orang yang enggak peduli dengan kesehatan kayak gitu, cuek-cuek aja, gitu kan,” katanya.