Bagikan:

Febri Diansyah resmi mengumumkan pengunduran dirinya dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Febri bukan pimpinan. Namun ia adalah wajah penting bagi KPK. Keluarnya Febri menimbulkan tanya. Berbagai simbol dan penafsiran umum muncul, mengisyaratkan masa depan KPK yang nampak suram. Senin, 28 September, kami berbincang dengan Febri, mendalami perjalanan batinnya.

Gerbang kantor kami di kawasan Menteng, Jakarta Pusat terbuka sekitar pukul 18.00 WIB. Minibus silver masuk ke halaman, menandakan kedatangan Febri Diansyah. Tak lama, Febri tampak dengan kemeja putih.

"Sorry, ya. Terlambat," kata Febri merespons sambutan kami.

Kedatangannya memang telah kami nantikan sejak sore. Merujuk janji, Febri seharusnya menemui kami pukul 16.30 WIB. Febri menjelaskan alasan keterlambatannya. Alasan yang menyadarkan kami, bahkan di ujung kariernya, Febri masih menjaga integritasnya sebagai Kepala Biro Hubungan Masyarakat (Humas) KPK. Di tengah masa cuti, Febri mengaku masih menghadiri sejumlah kegiatan, termasuk rapat internal di KPK. 

"Cuti hari pertama ini," Febri.

Perbincangan dimulai. Gesturnya mantap di sepanjang perbincangan. Sofa abu-abu kami tak membuat Febri bersandar. Tubuh Febri condong ke depan. Tangan kanan dan kiri Febri sesekali saling menggenggam. Selebihnya, Febri tak berubah. Perbincangan berlangsung sebagaimana biasa kami lakukan dengannya, sejak Febri masih menjadi Juru Bicara KPK hingga kini menjalani tugas tunggal sebagai Kabiro Humas.

 "Mau menulis pengunduran diri itu ternyata tidak mudah, gitu kan."

Febri Diansyah

Ungkapan Febri itu jadi kata kunci perbincangan kami. Febri melewati perjalanan batin yang panjang untuk sampai pada keputusannya mengundurkan diri. Demonstrasi mahasiswa satu tahun lalu jadi pemicu segala kegundahan, ketika ramai-ramai mahasiswa turun ke jalan menolak revisi Undang-Undang KPK. Febri sadar kepedulian pada KPK begitu besar. Dan ketika pemerintah bersama DPR mengesahkan RUU itu menjadi UU Nomor 19 Tahun 2019, gejolak di dada Febri makin jadi.

Febri merefleksi naluri dan logikanya. Mungkinkah ia tetap bisa berkontribusi untuk upaya pemberantasan korupsi dari dalam lembaga antirasuah, pasca-pengesahan UU 19/2019, khususnya. "Pertanyaan itu akhirnya terjawab di bulan September ini. Saya ajukan surat pamit tersebut," kata Febri.

Pertaruhan muruah KPK

Gedung KPK (Irfan Meidianto/VOI)

Satu tahun belakangan jadi periode yang berat bagi Febri. Dengan suasana politik dan hukum yang telah berubah, Febri dan banyak koleganya tetap berupaya menjaga KPK tetap di jalur pemberantasan korupsi yang lurus. Salah satunya adalah tentang independensi para pegawai. Aspek ini jadi nilai penting sekaligus paling terancam dari KPK hari ini. Padahal nilai ini harus dipastikan tetap ada untuk menjaga muruah KPK.

Persoalan independensi yang dimaksud Febri juga terkait dengan alih status pegawai KPK. Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 41 Tahun 2020 yang mengatur hal ini disebut Febri tak memberi kejelasan soal nasib pegawai KPK. Soal di mana KPK berdiri, misalnya. PP 41/2020 membuka kemungkinan adanya instansi pembina di atas KPK. Artinya, kerja KPK akan bergantung pada 'penilaian' instansi tersebut.

"Tidak pernah disebutkan secara jelas, apakah menjadi PNS atau P3K. Kalau menjadi ASN, siapa instansi pembinanya, misalnya. Apakah harus ke instansi lain atau di KPK sendiri. Terus bagaimana mekanisme kerjanya nanti agar stigma-stigma yang berkembang di luar sana itu tidak terjadi juga ke KPK sehingga KPK masih bisa bekerja secara clear, secara independen."

 "Anda bayangkan, kalau di KPK, penyidik itu melakukan pemeriksaan, yang dia periksa bisa siapa saja. Bisa menteri, bisa anggota DPR atau DPRD, bisa pejabat tinggi. Apakah mungkin yang melakukan pemeriksaan itu dia tidak merasa independen dan nasibnya dalam tanda kutip tidak dijamin secara kepegawaian, kemudian dia bisa berhadapan dengan pejabat-pejabat tinggi itu. Risiko-risiko itu perlu dipetakan sedemikian rupa dan dimitigasi, kalau kita bicara soal mitigasi risiko."

Febri Diansyah

Di satu tahun penuh kegundahan itu Febri terus mengupayakan banyak hal yang bisa ia lakukan untuk mempertahankan muruah KPK. Selain independensi, ada dua nilai lain yang menurut Febri amat penting untuk menjaga KPK tetap hidup. Dua hal itu adalah komitmen kekuasaan dan dukungan masyarakat.

 "Di beberapa negara di dunia, 'KPK'-nya bisa kuat karena ada dukungan politik yang sangat kuat. Kekuatan politiknya pengin negaranya bersih dari korupsi. Tapi kalau kekuatan politiknya menganggap KPK sebagai pengganggu, sebagai tukang bikin heboh, misalnya. Atau dalam tanda kutip, anak yang tidak dikehendaki, enggak mungkin KPK bisa jadi kuat. Jadi komitmen politik itu yang paling utama. Apakah sekarang ada komitmen politik yang kuat terhadap KPK? Banyak pihak bisa menjawab itu. Jadi silakan saja kita cari literatur dan pendapat-pendapat terkait dengan hal itu."

Febri Diansyah

Posisi Kabiro Humas menempatkan dirinya dalam singgungan langsung dengan masyarakat. Febri tak pernah hanya jadi mulut KPK. Ia juga mata dan telinga. Dari posisi Febri, dinamika publik terasa betul. Dukungan, kekecewaan, bahkan rasa keputusasaan. Hal-hal yang menambah kegundahan Febri. Menurutnya, dukungan masyarakat adalah hal yang sangat penting. Hilangnya dukungan masyarakat sama dengan awal dari keruntuhan KPK.

Febri saat menyampaikan keterangan pers (Wardhany Tsa Tsia/VOI)

"Kalau dulu sebagai Kabiro Humas, tanggung jawab saya tentu soal komunikasi publik KPK. Itu artinya bukan hanya bicara, KPK menyampaikan informasi, kemudian media menulis, masyarakat tahu. Tapi lebih dari itu. Sebagai bentuk akuntabilitas atau pertanggung jawaban KPK kepada masyarakat, itu satu. Dan kedua, komunikasi bukan satu arah. Menyampaikan info saja lalu cukup. Tapi tidak. Tapi juga menyerap bagaimana respons publik mengenai pemberitaan di media, tone-nya positif atau negatif, masukannya apa. Dan juga di media sosial. Dan dari situ kami sebenarnya menemukan banyak harapan yang cukup tinggi sekaligus banyak kritik juga kekecewaan."

 "Ini berkembang dari hari ke hari, dari bulan ke bulan, setidaknya selama tahun 2020 ini. Saya tidak bisa mengatakan juga bahwa sebelumnya tidak ada hal seperti itu, tidak ada kritik dari publik di era-era sebelumnya. Tetapi memang kondisi saat ini memang sangat berbeda. Aturannya sudah baru. Kemudian pimpinannya baru. Dan ada beberapa kontroversi yang kita ingat pada tahun lalu. Dan banyak kekhawatiran itu bagi sebagian pihak yang kami baca di pemberitaan media, begitu, mulai terbukti satu per satu."

Febri Diansyah

Mendekati keputusan mundur yang makin bulat, Febri menemui jajaran pimpinan KPK. Pertemuan dengan Wakil Ketua KPK Nawawi Pomolango, misalnya. Pergolakan emosi terjadi dalam pertemuan itu, ketika Febri hendak menyampaikan rencananya mengundurkan diri kepada Nawawi, sang mantan hakim justru mendahului perbincangan dengan mengungkap kesedihannya melihat banyaknya pegawai KPK yang mundur. Memang, dalam kurun waktu kurang setahun, tercatat 37 pegawai KPK mundur.

Dalam obrolan itu Febri dan Nawawi sepakat, mundurnya para pegawai itu adalah peringatan keras bagi masa depan lembaga antirasuah. Keduanya juga sepakat alasan mundur para pegawai didasari pada pertimbangan-pertimbangan logis. Hal yang turut Febri garis bawahi dalam obrolan bersama kami. Menurut Febri, banyak narasi yang mengerdilkan keputusan mundur para pegawai KPK. Narasi yang harus dilawan.

"Jangan dibayangkan nasib pegawai ini soal uang, ya. Karena ini yang dikerdilkan. Seolah-olah semuanya hanya bicara soal penghasilan."

Selain Nawawi, Febri juga mengatakan dirinya menemui para pimpinan lain, mulai dari Ketua KPK Firli Bahuri serta tiga wakil pimpinan lain, seperti Alexander Marwata, Lili Pintauli Siregar, hingga Nurul Ghufron. Nama terakhir sempat menyinggung keputusan mundur Febri sebagai langkah melarikan diri dari peperangan. Hal yang turut Febri ceritakan kepada kami.

 "Saya sudah respons dan saya bilang 'terimakasih, Pak Gufron.' Karena yang menilai kita pejuang atau pecundang itu justru memang bukan kita. Kadang-kadang ada orang yang merasa menjadi pejuang, padahal dia pecundang. Atau sebaliknya."

Febri Diansyah

Rencana ke depan

Keputusan mundur ini tak pernah mudah sejak awal. Febri melalui banyak perjuangan bersama KPK. Ia adalah wajah yang paling sering dilihat publik. Bagi kami, keterangan-keterangan yang Febri berikan bukan sekadar bahan berita. Setiap informasi yang Febri utarakan adalah patok demi patok yang menandai sejauh mana perjalanan negeri memberantas korupsi yang mahabiadab.

Bagi Febri, jabatan Kabiro Humas KPK tentu saja sebuah kehormatan. Pun dari sisi materi. Namun, hal itu juga yang membebani Febri. Ada beban moral besar yang ia rasakan. Beban yang entah dapat ia emban atau tidak dalam waktu-waktu ke depan.

"Sederhananya sebagai Kepala Biro Humas, saya menerima pemasukan yang cukup tinggi. Dan ketika saya menerima penghasilan itu setiap bulan, pada saat itu pernyataan-pernyataan beban moral muncul, karena uang ini adalah uang dari rakyat dan saya tidak bisa berkontribusi secara signifikan ... Dan terlalu banyak saya menerima uang rakyat itu setiap bulannya. Saya berpikir lebih baik saya berada di luar dan berkontribusi lebih signifikan lagi tanpa ada beban moral."

Selepas resmi copot jabatan 18 Oktober mendatang, Febri akan mendirikan firma hukum bersama orang-orang lain yang fokus pada pemberantasan korupsi. Ini yang Febri sebut-sebut sebagai "kontribusi dari luar." Menurutnya, firma hukum yang ia dirikan akan bergerak memberi bantuan hukum kepada korban kasus korupsi, ranah yang selama ini tak cukup diperhatikan, kata Febri.

Febri Diansyah dalam wawancara bersama VOI (Mahesa ARK/VOI)

"Jadi ini memang konsep yang relatif baru yang mau kita coba kembangkan, yaitu mengombinasikan kantor hukum seperti law firm dengan tetap ada aspek advokasi antikorupsi, khususnya untuk korban korupsi karena mereka ini agak sering terabaikan," katanya.

Firma hukum ini, kata dia, juga akan bergerak dalam pembangunan tata kelola sistem pencegahan korupsi di satu instansi maupun perusahaan. Dengan tata kelola sistem cegah korupsi yang baik, Febri berharap praktik korupsi di ranah-ranah tersebut dapat dimusnahkan.

Terakhir, Febri menuturkan sikap yang menarik untuk diserapi. Tentang dirinya yang akan terus menjaga KPK dari luar dan bagaimana ia dan banyak pegawai KPK mengabdikan diri. Bahwa pengabdian bukanlah untuk pimpinan, melainkan untuk nilai dan cita-cita yang diluhurkan KPK.

 "Saya berkomitmen untuk tetap jagain KPK. Jagain KPK dari luar secara institusional, bukan secara personal. Karena kami memang tidak pernah loyal pada personal. Ke pimpinan, saya bilang, tradisi atau nilai yang berkembang di KPK, kami tidak pernah loyal pada personal pimpinan atau personal atasan. Tapi kami loyal pada nilai-nilai dan cita-cita di kelembagaan itu."

Febri Diansyah

INTERVIU LAINNYA