Sutiyoso di Timor Timur pada 1974 untuk menjalani operasi pengintaian. Sutiyoso seorang diri kala itu. Tahun 1975, ia kembali dalam operasi berskala lebih besar: Operasi Flamboyan. Tahun 1997 hingga 2007 Sutiyoso menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta. Ia melewati banyak karier pengabdian lain, hingga berakhir sebagai Kepala Badan Intelijen Negara pada 2016. Ada satu benang merah soal Sutiyoso dan berbagai capaian karier yang ia emban: kemampuannya menganalisis masalah.
Satu malam di akhir tahun 1974, Sutiyoso dipanggil menghadap Jenderal Benny Moerdani. Sutiyoso yang saat itu menjabat Kepala Seksi Intelijen Grup II Kopassandha --sekarang Kopassus-- diperintahkan melakukan misi pengintaian rahasia ke wilayah Timor Timur untuk mencari titik-titik yang bisa jadi pintu masuk untuk operasti setelahnya.
Sutiyoso kemudian berangkat ke Atambua, wilayah di perbatasan Timor Timor. Sutiyoso sendirian. Menyamar sebagai sipil, Sutiyoso hanya dibekali pistol kecil dan teropong. Selama misi Sutiyoso memalsukan identitasnya menjadi mahasiswa. Sekali waktu, Sutiyoso adalah kuli angkut.
"Namun kemudian saya dari penyelidikan itu ada kesempatan untuk menyamar masuk ke daerah mereka (Timor Timur). Walaupun itu sebenarnya aku enggak diizinkan oleh Pak Benny untuk masuk. Tapi kan saya kan ingin," kata Sutiyoso kepada VOI, Sabtu, 27 Februari.
Perbincangan kami dan Sutiyoso berlangsung di dalam Museum Bang Yos. Museum itu terletak di area kediamannya di Jalan Kalimanggis Nomor 100, Kelurahan Jatikarya, Kecamatan Jatisampurna, Kota Bekasi, Jawa Barat. Di museum ini, segala perjalanan Sutiyoso ditampakkan. Lewat museum ini Sutiyoso ingin bercerita sekaligus memberi pengaruh.
Kembali ke operasi pengintaian rahasia Sutiyoso di Timor Timur. Suatu hari ia berhasil memasuki wilayah Batu Gede, Timor Timur dengan menyusup di antara rombongan warga sipil. Rombongan itu menuju Hari Pasar. Sutiyoso cerita, di setiap Hari Pasar, petugas perbatasan terbiasa membuka akses masuk ke Batu Gede bagi masyarakat luas.
"Kita boleh masuk rombongan, dengan membawa surat keterangan dari pos setempat. Dari border gitu ya. Nah aku ikut mereka itu. Dan mereka rombongan itu pun enggak tahu aku siapa. Aku juga sudah menyamar dari mereka."
"Jadi, akhir perjalanannya walaupun dengan liku-liku yang sangat berbahaya di situ, akhirnya aku bisa lolos dan mendapatkan banyak keterangan."
Sutiyoso di Operasi Flamboyan 1975
Operasi rahasia Sutiyoso membuka jalan ke operasi berskala lebih besar: Operasi Flamboyan. Di tahun 1975, Kopassus mengirim tiga regu berkekuatan seratus prajurit. Tiga tim itu kemudian dikenal sebagai "The Blue Jeans Soldiers." Tiga tim itu diberi sandi Susi, Umi, dan Tuti.
Mereka ditugaskan menyusup ke Timor Timur untuk merekrut milisi setempat dan memersiapkan basis untuk operasi militer skala besar. Sutiyoso ada di tim Umi. Sutiyoso menceritakan, saat itu Benny Moerdani memberikan empat instruksi kepada seluruh tim. Pertama, operasi tersebut bersifat rahasia.
"Ini briefing dari Pak Benny Moerdani, nih. Satu, kamu dimasukkan secara rahasia. Karena itu operasi ini enggak boleh bocor. Oleh karenanya kalian pun enggak boleh pamit dengan para keluargamu mau ke mana kamu. Silakan pamit tapi ke tempat lain."
Instruksi ketiga dari Benny Moerdani adalah setiap anggota tim harus menggunakan nama samaran yang identik dengan orang Timor Timur. Saat itulah Sutiyoso memilih nama Manik, yang menurut Sutiyoso diambil dari nama orang di perbatasan. Nama manik kemudian dimodifikasi oleh Sutiyoso menjadi "Manix." Dari situlah Sutiyoso kemudian dikenal dengan julukan "Kapten Manix."
Instruksi terakhir Benny Moerdani kepada tim saat itu adalah:
Namun instruksi itu tak benar-benar dilakukan. Sutiyoso menceritakan, suatu hari, empat anggotanya terkena luka tembak. Namun Sutiyoso tak mengikuti instruksi Benny Moerdani. Ia mengambil pilihan lain. Seluruh anggotanya yang terluka dievakuasi menggunakan helikopter. Sutiyoso menceritakan proses evakuasi sebagai peristiwa yang katanya luar biasa.
Sutiyoso ke markas GAM
Berpuluh tahun berlalu, Sutiyoso menjalani sejumlah operasi lain, baik sebagai kombatan atau dalam misi intelijen. Di masa pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi), Sutiyoso diangkat menjadi Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) pada Juli 2015. Banyak prestasi yang dicatat Sutiyoso di masa jabatannya itu.
Yang paling diingat adalah bagaimana Sutiyoso mengajak dedengkot Gerakan Aceh Merdeka (GAM), Nurdin Ismail alias Din Minimi bergambung kembali dengan masyarakat. Tak ada tembakan, apalagi darah. Kepada kami, Sutiyoso menceritakan detail pendekatan diplomatisnya kepada Din Minimi, termasuk perjalanan yang ia lakukan ke markas GAM, bahkan ke kampung halaman Din Minimi.
Sutiyoso menuturkan, sejak dilantik menjadi Kepala BIN, ia langsung menginventarisir sejumlah masalah. Din Minimi jadi salah satu fokusnya. Din Minimi kala itu adalah salah satu pemberontak yang paling dicari. Kontak pertama Sutiyoso dengan Din Minimi dilakukan lewat telepon. Komunikasi berlanjut terus-menerus hingga Sutiyoso mengajak Din Minimi bertemu.
Din Minimi setuju melakukan pertemuan. Keduanya menyepakati tanggal 28 Desember 2015, dengan lokasi pertemuan yang ditentukan Din Minimi: markas GAM, persembunyian Din Minimi. Sutiyoso kemudian berkoordinasi dengan Panglima TNI Gatot Nurmantyo dan Kapolri, yang saat itu dijabat Badrodin Haiti. Sutiyoso meminta TNI ataupun Polri memerintahkan pasukan di garis depan pertempuran untuk tak bergerak.
"Saya jujur aja dari pengalaman operasi saya, yang paling saya takuti adalah saya dikepret sama pasukan kita sendiri. Itu yang bahaya kan gitu. Karena kita kan menyamar aja pakaiannya kayak gini. Bukan pakai atribut militer kan," kata Sutiyoso.
Perjalanan pun dilakukan. Sutiyoso bersama satu ajudan dan pengawalnya bergerak menjauh dari Lhokseumawe ke arah yang ditentukan Din Minimi. "Kiri sawah. Kanan sawah. Tetapi kayak ada pulau kecil di situ. Ternyata motor keluar dari situ pakai baju putih. Terus dia gini (memberi isyarat agar diikuti) kan."
Dari situ, perjalanan menembus hutan ditempuh selama empat jam, hingga Sutiyoso dan rombongan sampai di kamp Din Minimi. Dalam pertemuan pertamanya dengan Din Minimi, Sutiyoso mendalami percakapan-percakapan telepon yang sebelumnya mereka lakukan. Sutiyoso menegaskan pemerintah siap mengakomodir seluruh permintaan Din Minimi.
"Misalnya minta diurus yatim piatu yang dari GAM. Ini kan urusan daerah semua. Terus janda-janda GAM ini supaya jangan keleleran. Pokoknya gitulah. Terus di sana tuh supaya dicek apakah ada korupsi."
"Kayaknya ada konflik, ada kesenjangan dengan pemerintah daerah sendiri. Justru pemerintah daerah sendiri itu orang GAM kan kebanyakan. Gubernurnya itu orang GAM kan. Terus ada lagi dia minta agar nanti kalau pilkada, majunya gubernur-gubernur, ada tim khusus supaya tidak ada intimidasi segala macam gitu kan.
Di luar semua itu, Din Minimi dan kelompoknya yang terdiri dari 120 orang juga telah lama mengalami kesulitan logistik. Dari seluruh anggota kelompok, 40 orang di antaranya ditugaskan ke kampung-kampung untuk mencari logistik. 40 orang lain berperan sebagai intelijen. Dan 40 lainnya, kombatan. Situasi ini dibaca Sutiyoso dengan baik, yang kemudian memberi pertanyaan kepada Din Minimi.
"'Kamu sudah berapa lama enggak pulang ke rumah?'" Sutiyoso memeragakan percakapannya dengan Din Minimi.
"'Sudah empat tahun, jalan lima, pak.'"
"'Enggak rindu kamu sama keluarga?'"
"Wah jelas, pak. Saya ingin lihat anak saya sudah sebesar apa," kata Din Minimi, yang kemudian ditanggapi Sutiyoso. "Bagaimana kalau kita lanjutkan pertemuan ini di rumah kamu?"
Din Minimi sempat terkejut, memertanyakan keamanannya dan kelompok jika harus turun gunung. Sutiyoso pun meyakinkan Din Minimi dengan menjamin keamanannya. Din Minimi setuju. Perjalanan pun dimulai menggunakan sebuah truk sewaan. Seluruh anggota kelompok Din Minimi ikut dalam perjalanan itu. Beberapa jam, rombongan sampai di kediaman Din Minimi.
Pemandangan dramatis disaksikan Sutiyoso, bagaimana keluarga yang lama terpisah ini akhirnya bertemu kembali. Berat memang bagi keluarga ini, terutama sang ibu. Ayah Din Minimi adalah kombatan GAM yang telah gugur. Din Minimi kemudian bersama adiknya mengikuti jejak sang ayah sebagai kombatan.
Nama Minimi diadopsi dari produk senapan mesin ringan produksi Belgia. Senjata itu tangguh, menggambarkan sosok Din Minimi. Kesepakatan pun akhirnya tercapai antara Sutiyoso dan Din Minimi, dengan Sutiyoso berjanji mengakomodir seluruh permintaan Din Minimi, termasuk amnesti.