Bagikan:

Pandemi COVID-19 di Indonesia telah berjalan lebih dari satu tahun. Kita telah belajar banyak hal. Salah satunya bagaimana desa menunjukkan keberdayaannya menghadapi pandemi. Jangan-jangan ini waktunya mempertimbangkan langkah kembali ke desa. Jangan-jangan pembangunan seharusnya dibangun lewat desa. Jangan-jangan sudah terlalu jauh kita meninggalkan desa. Wakil Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Indonesia (PDTT) Budi Arie Setiadi menumpahkan pandangannya mengenai ini.

Badan Pusat Statistik (BPS) telah memetakan dampak pandemi COVID-19 bagi perekonomian bangsa. Hasilnya, ekonomi desa relatif lebih aman ketimbang perkotaan. Budi Arie membuka obrolan dengan data menarik ini. Ia mengatakan, faktor yang menunjang perekonomian desa adalah sektor ekonomi dasar Indonesia, yakni pertanian.

"Nah sektor pertanian menurut data BPS kan enggak terkontraksi. Enggak negatif. Yang membuat sektor pertanian agak sedikit turun ini kan harganya aja. Tapi kan kebutuhannya enggak hilang," tutur Budi Arie, ditemui VOI di kantornya, Senin, 29 Maret.

Menurut data itu, sektor pertanian adalah penopang dasar perekonomian desa. Dari 74.960 desa di seluruh Indonesia, 86 persen berbasis ekonomi di sektor pertanian. Selain pertanian, perikanan dan peternakan juga jadi penopang kuat perekonomian desa. Hal-hal ini yang membuat desa lebih berdaya di tengah badai ekonomi pandemi.

 "Misalnya, desa nelayan di Bekasi yang saya kunjungi waktu bulan September sampai Oktober. Dia (seorang nelayan) bilang, 'pendapatan kami turun, pak. Biasa kami jual ke restoran di Jakarta Rp50 ribu jadi Rp20 ribu.' Ya itu kan karena restoran Jakarta tutup. Tapi sekarang kan sudah mulai normal lagi. Harga sudah mulai kembali pada level yang sebelumnya. Jadi mereka sudah mulai mengalami pemulihan yang lebih cepatlah."

Budi Arie Setiadi

Kemendes PDTT sendiri, kata Budi Arie menyadari fakta ini. Kemendes PDTT merancang sejumlah program dan kebijakan untuk melindungi desa. Di aspek kesehatan, yang menurut Budi Arie adalah prioritas utama, Kemendes PDTT membentuk Satgas Penanganan COVID-19 di level desa. Satgas itu beranggotakan seluruh perangkat desa, mulai dari kepala desa, tokoh masyarakat, tokoh pemuda, hingga tokoh agama.

Selain sisi kesehatan, Kemendes PDTT juga berupaya menjaga aspek sosial, yang berkaitan langsung bagi ekonomi. Lewat program besar nasional yang disebut Jaring Pengaman Sosial, Kemendes PDTT berkontribusi dalam sejumlah hal, termasuk membuat skema bantuan langsung tunai dana desa dengan jumlah signifikan. Program ini dibentuk untuk meningkatkan daya beli masyarakat desa sehingga perekonomian tetap bergerak.

Budi Arie memantau situasi pandemi di sebuah desa (Sumber: Istimewa)

Upaya lain melindungi desa ada pada momen mudik. Pemerintah memang telah mengeluarkan larangan mudik dari 6-17 Mei. Namun, kita tak bisa tutup mata pada potensi kebobolan. Kita estimasi arus mudik tahun ini dengan melihat data 2019, masa sebelum pandemi. Tahun itu angka pemudik mencapai 20 juta orang. Dan itu hanya di Pulau Jawa. Jika dibagi 22.425 jumlah desa di Jawa, artinya satu desa akan menerima seribuan orang.

Kondisi tahun ini tentu berbeda dengan 2019 --saat situasi normal-- atau 2020, ketika pandemi baru dimulai dan mudik sama sekali dilarang. Tahun ini Budi Arie melihat yang paling penting dilakukan adalah memersiapkan desa dengan pengetatan protokol kesehatan. "Karena itu perlu ada kesiapan."

"Kalau sebelumnya ada isolasi dulu 14 hari, mungkin saat ini harus dicari formula yang lebih tepat untuk terjadinya prosesi mudik di 2021. Karena kita tahu mudik ini peristiwa kultural. Di mana selain merayakan hari besar Idulfitri juga ini sarana silaturahim."

Ya, hanya sebatas itu. Karena bicara vaksinasi pun desa belum tersentuh vaksin sama sekali. Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menargetkan vaksinasi rampung paling lambat awal tahun depan. Dalam target jangka pendek, Kemenkes menyasar vaksinasi bagi 45 juta warga pada Juni.

Jadi, prioritas harus tetap di pencegahan dari risiko kesehatan. Menurut Budi Arie, desa bagaimanapun lebih rentan dari sisi kesehatan. Bicara fasilitas kesehatan, desa jelas tertinggal. Dari puluhan ribu desa, baru lima ribu yang memiliki Puskesmas.

Hapus otonomi daerah untuk pendidikan dan kesehatan

Ilustrasi foto (Mufid Majnun/Unsplash)

Fakta mengenai ketersediaan Puskesmas di desa memang ironi. Ini juga yang jadi pertanyaan besar soal keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, termasuk mereka yang di desa. Budi Arie menyoroti aspek kesehatan bersama aspek pendidikan sebagai dua sektor yang wajib direformasi.

Reformasi secara apa? Secara pengelolaannya. Budi Arie menyebut dua aspek itu seharusnya kendalinya dikembalikan ke pusat. Hapus dua aspek itu dari mekanisme otonomi daerah. Menurutnya, otonomi daerah di sektor kesehatan dan pendidikan adalah sumber dari melebarnya kesenjangan.

Budi Arie menuturkan sebuah cerita bagaimana guru-guru di banyak wilayah di Indonesia Timur harus mengajar lima mata pelajaran. Dengan proporsi dan beban demikian, bisa dibayangkan bagaimana hal itu berdampak pada kualitas anak didiknya? Penyebaran sumber daya pengajar jadi satu masalah. Lainnya, di konteks kesehatan, masalah distribusi sumber daya manusia juga masalah.

Ilustrasi foto (Sumber: Antara)

"Dari sini kan kita bisa lihat dua, guru yang berkualitas dan dokter yang berkualitas, yang di antardaerah di Indonesia ini tidak merata jumlahnya. Semua dokter terbaik, guru terbaik, adanya di Pulau Jawa. Padahal sumber kesenjangan utama antarwilayah, antargenerasi ini di sumber daya manusia."

"Departemen Kesehatan tidak punya kontrol vertikal langsung karena ada mekanisme Otda. Termasuk memindahkan dokter, memindahkan guru. Loh, kabupaten yang punya dokter dan guru yang baik mana mau lepas dokter dan gurunya yang baik. Artinya apa? Ya, kabupaten itu akan maju sekali. Cuma kabupaten lain akan tertinggal sekali. Jadi in the long run, dalam jangka panjang, kesenjangan akan terjadi. Akan makin melebar."

 "Contoh, saya kedatangan Bupati dan Wakil Bupati Wakatobi. Dia bilang, 'kami punya rumah sakit, pak, tolong mintain ke Depkes, kami enggak punya dokternya.' Gila enggak?!

Budi Arie Setiadi

 Yang namanya Indonesia maju itu kan enggak boleh ada yang tertinggal. Nah kunci maju itu apa? Bolak-balik rupanya cuma satu, sumber daya manusia. Atau lebih bahasa lugasnya lagi, orangnya. Nah, persoalannya orangnya itu dapat darimana? Pendidikannya bagus. Kesehatannya bagus.

Budi Arie Setiadi

Ekonomi desa

Indonesia adalah desa. Itu fakta. Menurut data BPS, secara wilayah, desa mencakup 91 persen wilayah Indonesia. Secara ekonomi, pemanfaatan potensi itu jauh dari maksimal. Data BPS juga menyebut sumbangan ekonomi desa baru 14 persen dari keseluruhan GDP nasional. Bayangkan bagaimana jika potensi ekonomi desa didongkrak?

Pemerintah memang tak diam. Program kunci yang disebut Dana Desa sudah memasuki tahun ketujuh. Uang Rp323 triliun telah dikucurkan ke seluruh desa se-Indonesia yang berjumlah 74.960. Namun, masih ada 20 ribu lebih desa se-Indonesia yang statusnya Tertinggal dan Sangat Tertinggal. Ada banyak variabel penentu status itu, pastinya.

Tapi, kenapa keadilan sosial belum menyeluruh, padahal kesempatan membangun diri bagi desa sudah diberikan lewat Dana Desa? Kita tahu, pada prinsipnya Dana Desa adalah upaya mendistribusikan keberdayaan. Desa diberi kesempatan membangun diri mereka sendiri. Budi Arie menjawab pertanyaan itu dengan kembali menyoroti sumber daya manusia.

"Saya bolak-balik rumusin, kenapa ini maju, kenapa ini tertinggal, kenapa ini terseok-seok. Tiga rumus desa potensi maju. Masih banyak anak muda, SDM kreatif inovatif. Partisipasi warga."

 "Makanya ketika saya pertama kali ke desa, yang saya tanya kepada Pak Kades, seberapa banyak anak mudanya? Karena selama desa itu masih punya anak muda, desa itu punya harapan untuk maju."

Budi Arie Setiadi

Budi Arie mewacanakan mendorong kelahiran enterpreneur-enterpreneur di desa. Selain itu, melihat pertanian sebagai salah satu basis dasar perekonomian bangsa, tentu saja memerbanyak tenaga pekerja pertanian di desa. Dan harapan-harapan itu ada di para pemuda.

Budi Arie Setiadi (Sumber: Istimewa)

Fakta-fakta di atas juga memunculkan pekerjaan besar untuk Kementerian Desa PDTT. Kemilau kota tentu sulit dibantah. Kota masih jadi tujuan utama bagi seseorang memperbaiki nasib. Desa kehilangan potensi-potensi yang terpancing pergi ke kota. Bagaimana Kementerian Desa PDTT merespons situasi ini?

Kata Budi Arie, hal terdekat untuk mengejar ketertinggalan kilau desa dari kota adalah memeratakan akses internet dan listrik. Sampai mana progresnya? Hingga saat ini ada 2.400-an desa yang sambungan listriknya belum tersedia 24 jam.

Bahkan, masih ada 433 desa tanpa aliran listrik sama sekali. Rata-rata ada di Papua. Untuk internet, saat ini masih ada 12.500 desa yang belum memiliki akses internet. Pemerintah menargetkan seluruh desa tersambung ke internet pada akhir 2022.

Dari sekian banyak dan ketertinggalan, Budi Arie tetap mengajak para pemuda untuk melihat kembali esensi penting membangun desa. Sekali lagi, berbagai kajian menyebut tiga potensi terbesar yang dimiliki Indonesia adalah pertanian, perikanan dan peternakan, serta pariwisata. Di mana semua itu kalau bukan di desa?

Dengan pemaparan berbagai data soal potensi desa di atas, termasuk bagaimana kuatnya desa bertahan dari petaka paling buruk macam pandemi ini, apa yang dikatakan Arie jadi terasa beralasan.

 "Masa depan Indonesia itu ada di desa. Kenapa masa depan Indonesia ada di desa? Karena kalau desa ini dibangun, maka Indonesia maju. Jadi desa maju, Indonesia maju. Jadi membangun desa itu sama dengan membangun Indonesia.

Budi Arie Setiadi

INTERVIU Lainnya