JAKARTA - Isu Taliban di tubuh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali menguat. Sederet upaya pengusutan kasus korupsi, terutama bansos COVID-19 jadi muaranya.
Lebih lagi, isu ini berembus seiring gencarnya pemerintah menggembosi kinerja lembaga antirasuah tersebut. KPK, yang awalnya harus independen, selangkah lagi didikte oleh elite oligarki.
Namun, isu Taliban bukan barang baru. Dua tahun sebelumnya, isu kelompok Taliban juga menggelora. Berikut hasil temuan yang berhasil dihimpun tim VOI.
Berdasar sejarahnya, KPK adalah lembaga negara yang dibentuk dengan tujuan meningkatkan daya guna dan hasil guna terhadap upaya pemberantasan korupsi. KPK didirikan 2002, melewati sejarah panjang hingga hari ini terancam 'dimatikan'.
Dan dalam waktu singkat pelemahan KPK hadir lewat sebuah produk undang-undang. Alhasil, semakin tinggi kinerja KPK menangkap koruptor, upaya pelemahan pada lembaga tersebut kian gencar.
Salah satunya dengan kembali menggelorakan isu radikal Taliban yang dianggap jadi duri dalam daging KPK. Isu itu kemudian ditepis oleh penyidik senior KPK, Novel Baswedan.
Novel justru kembali mengkritisi isu dugaan Taliban yang digencarkan hanya sebentuk upaya menggembosi KPK. Bahkan novel tak ragu-ragu berkicau lewat twitter menyebut isu radikal Taliban tak lebih dari lagu lama.
Kicauan itu diungkap novel sembari mengomentari akun @paikodirajo yang menyebut ada misi sedang dijalankan merujuk pada momentum saat revisi UU KPK berhasil diaplikasikan pada 2019 silam.
"Isu radikal-taliban, lagu lama," demikian kicauan Novel lewat akun pribadinya @nazaqitsha.
Novel menambahkan, isu ini kerap muncul tiba-tiba disaat KPK bekerja dan ada yang merasa terganggu. Oleh sebab itu, Novel memastikan segala bentuk isu Taliban dengan ragam narasinya sarat dengan muatan fitnah.
"Bila isu itu diembuskan biasanya ada kepentingan mereka yang terganggu di KPK dan selama ini memang demikian. Bila KPK sedang bekerja benar untuk perangi korupsi, maka mereka, para pendukung koruptor, menyerang menggunakan isu itu," ujar Novel dikutip Detik.
"Yang menyedihkan beberapa waktu terakhir penggunaan isu radikal Taliban dianggap mereka cukup efektif karena cukup banyak orang yang termakan dengan isu tersebut," tambahnya.
Senada dengan Novel, mantan juru bicara KPK, Febri Diansyah juga ikut berkomentar terkait isu Taliban. Febri menduga serangan isu Taliban dilancarkan ketika KPK tengah mengusus kasus korupsi besar yang melibatkan sejumlah menteri pemerintahan Joko Widodo (Jokowi).
"Kayaknya isu Taliban dengan video tahun 2019 sebelum demo mahasiswa dimunculin lagi. Berbarengan dengan mulai menghangatnya penanganan kasus korupsi Bansos Covid-19. Masih laku 'jualan' isu Taliban di KPK?," kicau Febri lewat akun Twitter @febridiansyah.
Iseng2 liat bbrpa mention, kayaknya isu Taliban dg video tahun 2019 sebelum demo mahasiswa dimunculin lagi. Berbarengan dengan mulai menghangatnya penanganan kasus korupsi Bansos Covid-19.
Ada apa ya?
Hmm...
Masih laku “jualan” isu Taliban di KPK? 😊
— Febri Diansyah (@febridiansyah) January 23, 2021
Awal mula isu Taliban KPK
Boleh jadi kelompok Taliban sendiri merupakan kelompok fundamentalis Islam yang menguasai Afghanistan mulai dari tahun 1996 hingga 2001. Dalam sejarahnya, Taliban dibentuk pada tahun 1990-an oleh para mujahidin Afghanistan atau para gerilyawan Islam yang melawan pendudukan Soviet di Afghanistan (1970-1989).
Gerakan ini didominasi oleh orang-orang Pashtun yang kemudian dikenal militan nan radikal. Akan tetapi, gerakan mereka kerap melakukan pelanggaran HAM di Afghanistan.
Benang merah antara kelompok Taliban Afghanistan dan Taliban KPK ada pada hal militansi. Istilah itu pertama kali dimunculkan oleh Ketua Indonesia Police Watch, Neta S. Pane pada 2009.
Dalam siaran persnya, Neta mengomentari surat terbuka dari 50-an penyidik Kepolisian Indonesia yang bertugas di KPK. Mereka –penyidik kepolisian— mempersoalkan pengangkatan 21 penyelidik yang menjadi penyidik independen di lembaga tersebut. Untuk itu, Neta menulis terdapat perpecahan di KPK menjadi dua kubu, yakni polisi India dan Grup Taliban.
“Polisi India merujuk pada penyidik KPK yang berasal dari institusi Polri. Sedangkan Grup Taliban merujuk pada penyidik Novel Baswedan yang disokong Wadah Pegawai KPK. Kelompok ini, disebut dalam surat itu, juga dianggap militan karena kerap mempersoalkan kebijakan pemimpin,” ungkap Linda Trianita, Anton Aprianto dan Mustafa Silalahi dalam tulisannya di Majalah Tempo berjudul Taliban dalam Seleksi Pemimpin KPK (2019).
Isu Taliban semakin berhembus ketika sejumlah pengacara yang kerap menangani perkara di KPK mengaku mendengarkan istilah adanya kubu Taliban di KPK. Apalagi, kubu Taliban ini dianggap selalu menangani kasus-kasus dengan nama-nama besar. Lantaran itu muncul nama Novel Baswedan yang dikaitkan dengan kelompok islam konservatif —hanya karena ia berjanggut tebal dan kerap bergamis.
Setelahnya, sejumlah penegak hukum di KPK menyebutkan isu radikalisme –dalam bentuk Grup Taliban— adalah cara panitian seleksi menjegal langkah Novel Baswedan untuk memimpin KPK. Tuduhan itu beralasan.
Sebab, panitia seleksi telah menggandeng Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) dan Badan Intelijen Negara (BIN) untuk menelusuri rekam jejak para kandidat calon pemimpin KPK. Panitia seleksi berdalih tak mau para kandidat yang terpilih terpapar paham radikalisme. Paham itu ditakutkan akan memperparah kondisi di KPK.
Belakangan, isu Taliban kemudian menghebohkan jagat dunia maya, terutama Twitter. Isu itu berkembang dengan deras sebagai bentuk upaya pelemahan KPK. peristiwa pelemahan KPK memberi pelajaran kepada khalayak bahwa media sosial dengan mudah dibajak oleh elite oligarki melalui cyber troops dan computational propaganda.
Sebagaimana yang diungkap oleh Pendiri Drone Emprit (DE), Ismail Fahmi. Berdasar riset DE, gerakan pelemahan KPK didukung oleh adanya pasukan siber yang masif melakukan serangan terhadap gerakan penolak revisi. Tagar-tagar yang melemahkan itu antara lain berbunyi KPK adalah #KPKdanTaliban, #KPKPatuh Aturan, #KPKCengeng dan sebagainya.
“Tagar KPK Taliban telah sempat berhasil membuat publik ragu kepada KPK dan mencurigai lembaga antirasuah itu sebagai sarang radikalisme. Dalam uraiannya, DE menyimpulkan bahwa gerakan para akademisi yang melakukan kampanye Twitter secara sporadik kalah oleh tagar KPK Taliban yang jauh lebih masif dan sistematis. Ini membuat DE menyimpulkan terjadinya semacam fenomena matinya kepakaran alias the death of expertise,” tutup Widjayanto DKK dalam buku Menyelamatkan Demokrasi (2020).
*Baca Informasi lain soal KPK atau baca tulisan menarik lain dari Detha Arya Tifada.