JAKARTA - Isu radikalisme disebut menyerang instusi negara. Penyidik senior Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Novel Baswedan menyebut isu tersebut digunakan untuk menyerang lembaganya.
Menurut Novel, isu radikal-Taliban sering digunakan para pendukung koruptor. Dirinya menyebut jika itu tersebut tidak benar dan mengada-ada.
Jauh sebelum isu taliban di tubuh KPK, radikalisme di Indonesia sudah terjadi hampir satu abad yang lalu. Hal tersebut yang kemudian memicu lahirnya organisasi Nahdlatul Ulama atau NU.
Dilansir VOI dari laman resmi The Wahid institute, NU diririkan pada 31 Januari 1926 atas respon dari maraknya gerakan radikalisme Islam di Indonesia. Hingga kemudian NU menggaungkan ”Aswaja”.
Aswaja atau ”Ahlus Sunnah Waljamaah” adalah konsep yang menekankan aktualisasi nilai Islam berupa ta’âdul (keadilan), tawâzun (kesimbangan), tawassuth (moderat), tasâmuh (toleransi), dan ishlâhîyah (perbaikan/reformatif).
Selanjutnya gagasan Aswaja dirumuskan pada landasan berpikir NU atau Fikrah Nahdhîyah. Pandangan Aswaja di tubuh NU hingga kini dijadikan dasar untuk menentukan arah perjuangan guna perbaikan umat atau ”ishlâh al-ummah”.
Beberapa aktualisasi konsep Aswaja yang dilakukan di antaranya penerimaan sistem hukum penjajah oleh NU. Alasan NU menerima hukum tersebut lantaran dalam keadaan darurat negara tidak boleh kosong dari sistem hukum.
BACA JUGA:
Kemudian terkait cara yang dilakukan NU untuk menangkal paham dan gerakan radikalisme di Indonesia adalah dengan melakukan aktualisasi nilai Aswaja ke lembaga masyarakat dan pendidikan.
Katib Syuriyah PBNU tahun 2015-2020, Sa’dullah Affandy, melalui tulisannya menyebut jika Aswaja adalah sebuah paradigma yang merupakan cerminan dari sikap NU.
NU menurut Sa’dullah memiliki pandangan ”yang selalu dikalkulasikan atas dasar pertimbangan hukum yang bermuara pada aspek mashlahah dan mafsadah.” Hal tersebut yang membuat konsep Aswaja NU menjadi cara penilaian dan pencitraan Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin.