Ombudsman Temukan Adanya Maladministrasi dalam Pengembangan Rempang Eco-City
Bentrok aparat dan warga di Rempang Eco City. (Foto: Dok. Antara)

Bagikan:

JAKARTA - Ombudsman RI menemukan adanya maladministrasi dalam pengembangan proyek Rempang Eco-City di Pulau Rempang, Batam, Kepulauan Riau. Temuan tersebut merupakan hasil investigasi yang dilakukan Ombudsman pada sejak September 2023 lalu.

“Pada dasarnya Ombudsman menemukan adanya maladministrasi yang berkaitan dengan kelalaian, penundaan berlarut dan langkah-langkah yang tidak prosedural dalam konteks pengembangan Rempang Eco-City ini,” ujar Anggota Ombudsman RI Johanes Widijantoro, dalam konferensi pers, di Jakarta, Senin, 29 Januari.

Johanes mengaku telah menyetorkan laporan hasil pemeriksaan (LHP) tersebut kepada sejumlah pihak. Seperti, Badan Pengusahaan Kawasan Batam (BP Batam), Polri, Kementerian ATR/BPN hingga Kementerian Investasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM).

Lebih lanjut, Johanes pun mengungkapkan beberapa rekomendasi yang dikeluarkan Ombudsman. Pertama, kepada pihak kepolisian, Ombudsman menyoroti mengenai tindakan yang dilakukan kepada masyarakat yang menolak relokasi.

Johanes bilang Ombudsman meminta aparat kepolisian untuk mengedepankan restorative justice dalam menangani masyarakat yang menolak untuk direlokasi.

“Apa argumentasi Ombudsman? Lebih karena kita tahu bahwa sebenarnya kalau kita bicara kriminalitas hukum pidana mereka sejatinya sedang berusaha untuk memperjuangkan apa yang menjadi kepentingan mereka untuk bisa tetap tinggal di sana,” katanya.

“Namun kemudian polisi juga punya argumentasi atau alasan kenapa kemudian tindakan-tindakannya mengarah kepada penindakan hukum pidana,” sambungnya.

Lebih lanjut, Johanes bilang rekomendasi Ombudsman bagi Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Ombudsman terkait dengan pengalihfungsian atau pemberian hak kepada masyarakat, termasuk dalam bentuk hak pemanfaatan lahan (HPL).

Johanes meminta Kementerian ATR/BPN untuk melaksanakannya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

“Sehingga tentu dalam banyak hal kita bicara prinsip non diskriminasi, siapapun yang mengajukan hak-hal seharusnya diproses dengan peraturan yang ada termasuk dalam hal ini untuk kasus pengembangan Rempang Eco-City,” ucapnya.

Untuk BP Batam, sambung Johanes, Ombudsman meminta agar melihat aturan mengenai eksistensi kampung tua, pada konteks ini menyangkut juga kampung di Pulau Rempang.

Pasalnya, kata dia, pada 2004 silam saat proses aturan untuk melegalisasi masyarakat yang tinggal di kampung adat di Pulau Rempang, hanya saja, proses itu terhenti dan akhirnya terancam dengan adanya Proyek Strategis Nasional (PSN).

“Kami menggaris bawahi bahwa di undang-undang, di peraturan perundang-undangan semua itu bicara soal mengedepankan musyawarah. Jadi kalau sampai hari ini kita masih mendengar bahwa ada banyak masyarakat kita yang masih menolak untuk direlokasi, tentu ini menjadi PR tersendiri bagi BP Batam dan juga Pemkot Batam untuk mencari solusi terbaik,” tuturnya.

Sementara untuk Kementerian Investasi/BKPM, sambung Johanes, pihaknya lebih menekankan mengenai koordinasi dengan pihak-pihak yang terlibat dalam proyek Rempang Eco-City ini.

“Kalau terkait tim percepatan yang ada di BKPM, saya kira tadi kita lebih menekankan pada aspek koordinasi ya antara pihak-pihak terkait,” jelasnya.