Bagikan:

JAKARTA - Ombudsman RI turut menyoroti soal Rempang Eco City yang masih berpolemik hingga saat ini.

Anggota Ombudsman RI Johanes Widijantoro menemukan adanya potensi maladministrasi yang dilakukan oleh Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam (BP Batam) dan Pemerintah Kota Batam (Pemkot Batam) pada rencana relokasi warga Kampung Tua di Pulau Rempang.

Pasalnya, Ombudsman RI mendapatkan informasi bahwa BP Batam telah mencadangkan alokasi lahan Pulau Rempang sekitar 16.500 hektare (ha).

Lahan ini akan dikembangkan sebagai Proyek Strategis Nasional (PSN) 2023 menjadi kawasan industri, perdagangan, hingga wisata dengan nama Rempang Eco Park Pulau Rempang.

Terhadap pencadangan alokasi lahan atau rencana pengalokasian tersebut, Johanes menyebut, hal ini tidak sesuai ketentuan, karena belum dikeluarkannya sertifikat Hak Pengelolaan Lahan (HPL) oleh Kementerian ATR/BPN kepada BP Batam.

"Penerbitan HPL harus sesuai dengan mekanisme yang berlaku, salah satunya adalah tidak adanya penguasaan dan bangunan di atas lahan yang dimohonkan (clear and clean). Sepanjang belum didapatkannya sertifikat HPL atas Pulau Rempang, maka relokasi warga menjadi tidak memiliki kekuatan hukum," ujar Johanes dalam keterangan tertulis yang diterima VOI, Senin, 18 September.

Johanes menilai, pembangunan PSN perlu memperhatikan mekanisme dan tahapan yang diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 19 Tahun 2021 tentang Pengadaan Tanah Bagi Kepentingan Umum.

Sehingga, lanjut dia, Ombudsman akan melakukan pemeriksaan apakah pembangunan Rempang Eco City sudah dilakukan sesuai dengan tahapan pada aturan tersebut atau tidak.

"Ombudsman juga akan mendalami penguasaan fisik bidang tanah masyarakat yang sudah puluhan tahun berada di Pulau Rempang, apakah ada unsur kelalaian negara yang tidak memberikan akses kepada masyarakat untuk mendapatkan hak milik di tanah yang sudah turun temurun ditempati," kata dia.

Diketahui ada 16 Kampung Tua yang tersebar di Pulau Rempang, yakni Tanjung Kertang, Rempang Cate, Tebing Tinggi, Blongkeng, Monggak, Pasir Panjang, Pantai Melayu, Tanjung Kelingking, Sembulang, Dapur Enam, Tanjung Banun, Sungai Raya, Sijantung, Air Lingka, Kampung Baru dan Tanjung Pengapit.

Berdasarkan penelusuran Ombudsman, masyarakat di 10 Kampung Tua yang ada di Pulau Rempang mendukung dilakukannya investasi di Pulau Rempang, namun menolak dilakukan relokasi.

Mereka lebih mendukung apabila dilakukan penataan Kampung Tua dengan pengembangan investasi.

"Sosialisasi yang dilakukan BP Batam masih tergolong belum masif dan butuh waktu yang lebih lama untuk berupaya meyakinkan masyarakat mau direlokasi atau berdialog untuk mencari jalan tengah," ucapnya.

Selain itu, ada dugaan jika sosialisasi yang dilakukan tidak tepat sasaran sehingga berdasarkan temuan Ombudsman, warga Rempang minim yang mendaftar untuk relokasi.

"Ombudsman akan meminta klarifikasi kepada BP Batam, Pemerintah Kota Batam, Kementerian Investasi/BKPM, Tim Percepatan Pengembangan Pulau Rempang serta pihak terkait lainnya. Selanjutnya, akan diterbitkan Laporan Akhir Hasil Pemeriksaan (LAHP) berupa Tindakan Korektif untuk dilaksanakan pihak Terlapor," ungkap Johanes.

Sebelumnya, Menteri Agraria dan Tata Ruang/ Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Hadi Tjahjanto mengatakan, tanah seluas 17.000 ha di Pulau Rempang sebagian besar merupakan kawasan hutan dan tidak ada hak atas tanah di atasnya.

Saat ini, di pulau tersebut juga ada pengajuan permohonan Hak Pengelolaan (HPL) oleh BP Batam seluas kurang lebih 600 ha yang merupakan Area Penggunaan Lain (APL).

"Jadi, masyarakat pun yang tinggal di sana juga tidak ada sertifikat," kata Hadi Tjahjanto di Ruang Rapat Komisi II DPR RI, Jakarta, pada Selasa, 12 September lalu.