Bagikan:

JAKARTA - Pembangunan Proyek Strategis Nasional (PSN) Rempang Eco City diprotes oleh warga Rempang, Batam, Kepulauan Riau. Proyek ini dianggap mengancam eksistensi 16 kampung adat Melayu yang ada di Pulau Rempang sejak 1834.

Meski pembangunan proyek diwarnai dengan konflik, Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadali memastikan proyek ini akan tetap jalan.

Terkait dengan konflik ini, Bahlil mengatakan akan ada sosialisasi untuk warga Rempang, Batam, Kepulauan Riau.

“Harus jalan dong. Nanti kita lihat lah . nanti sosialisasi,” tuturnya ditemui usai rapat kerja dengan Komisi VI DPR, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu, 13 September.

Bahkan, Bahlil juga optimistis konflik yang terjadi di Pulau Rempang ini tidak memberi citra buruk di mata investor.

“Saya pikir enggak lah. Nanti kita lihat itu biasa dinamika,” jelasnya.

Dikutip dari laman BP Batam, Rempang Eco City merupakan salah satu proyek yang terdaftar dalam Program Strategis Nasional 2023 yang pembangunannya diatur dalam Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Nomor 7 Tahun 2023 yang disahkan pada 28 Agustus.

Proyek Rempang Eco City merupakan kawasan industri, perdagangan, hingga wisata terintegrasi yang ditujukan untuk mendorong daya saing dengan Singapura dan Malaysia.

Proyek tersebut akan digarap oleh PT Makmur Elok Graha (MEG) dengan target investasi mencapai Rp381 triliun pada 2080. PT MEG merupakan rekan BP Batam dan Pemkot Batam.

Nantinya, perusahaan itu akan membantu pemerintah menarik investor asing dan lokal dalam pengembangan ekonomi di Pulau Rempang.

Untuk menggarap Rempang Eco City, PT MEG diberi lahan sekitar 17.000 hektare yang mencakup seluruh Pulau Rempang dan Pulau Subang Mas. Pemerintah juga menargetkan, pengembangan Rempang Eco City ini akan menyerap sekitar 306.000 tenaga kerja hingga 2080.

Namun, pembangunan proyek tersebut diprotes oleh warga Rempang dengan menghadang aparat gabungan yang akan mematok dan mengukur lahan pada Kamis 7 September.

Konflik yang diwarnai kekerasan hingga mengakibatkan korban luka-luka bahkan trauma pada anak-anak setempat dipicu oleh penolakan warga terhadap proyek yang mengharuskan sekitar 7.500 warga setempat direlokasi.