JAKARTA - Ketua Indonesia Police Watch, Sugeng Teguh Santoso berpendapat, konflik yang terjadi di Pulau Rempang, Kota Batam, Kepulauan Riau, merupakan kegagalan negara dalam menjalankan amanat Pasal 18 B ayat (2) UUD Tahun 1945, yang mengatur bahwa negara mengakui dan menghormati keberadaan masyarakat adat dan seharusnya dimanifestasikan dalam sebuah undang-undang.
Akan tetapi, kata Sugeng, Rancangan Undang-Undang Masyarakat Adat yang telah beberapa kali masuk dalam Program Legislasi Nasional (Proglegnas) sejak tahun 2004 sampai dengan saat ini, tidak kunjung disahkan.
"Menilik sejarahnya, rakyat Rempang telah mendiami wilayah itu sejak tahun 1834, jauh sebelum Indonesia memproklamirkan diri sebagai sebuah negara merdeka, karenanya pengakuan dan penghormatan rakyat Rempang sebagai warga negara adalah sebuah keniscayaan," kata Sugeng saat dikonfirmasi VOI, Selasa, 19 September.
Untuk itu, IPW mendesak Presiden Joko Widodo agar meninjau ulang kawasan Rempang Eco-City, Kota Batam, Kepulauan Riau sebagai Proyek Strategis Nasional.
"Turun langsung mendengar keluhan masyarakat Rempang Galang bukan malah memerintahkan kepala BKPM / menteri investasi Bahlil Lahadalia yang malah melontarkan tuduhan pada negara lain atas konflik di Rempang Galang karena represi aparat keamanan," ujarnya.
IPW juga meminta Polri tidak melakukan intimidasi serta tindakan represif pada masyarakat. Sebaliknya, Polri harus berlaku humanis, melindungi masyarakat Rempang-Galang agar dapat mereka menyatakan sikap secara bebas, setara dalam mempertahankan haknya bahkan ketika harus melakukan perundingan dalam ganti rugi dan relokasi.
"Polri harus menghentikan dugaan upaya kriminalisasi pada warga Rempang-Galang yang telah menggarap lahan yang diklaim oleh otorita BP Batam. Indikasi ini terlihat dengan adanya panggilan permintaan keterangan pada masyarakat oleh Polda Kepri," katanya.
Selain itu, IPW juga meminta agar KPK, Polri dan Kejaksaan Agung sebagai penegak hukum dapat mengusut dugaan kasus korupsi pengembangan kawasan Rempang Eco-City, Kota Batam, Kepulauan Riau bila terdapat cukup bukti.
"Komnas HAM harus membentuk tim pencari fakta independen yang bertugas menemukan akar masalah konflik masyarakat Rempang Galang dengan pemerintah terkait proyek Rempang eco city yang dikonsesikan pada PT MEG dengan melibatkan organisasi kemasyarakatan dan mengumumkan hasil investigasinya kepada publik," katanya.
Lebih lanjut IPW meminta DPR harus bekerja membela rakyat dengan membentuk Pansus Rempang-Galang sebagai pertanggungjawaban lembaga tinggi negara tersebut kepada masyarakat yang kasusnya telah menasional.
Sebelumnya, bentrokan itu dipicu oleh penolakan masyarakat adat Pulau Rempang atas Pembangunan kawasan industri di lahan pulau seluas 17 ribu hektare. Proyek yang dilabeli dengan proyek strategis nasional untuk membangun kawasan industri, perdagangan, dan wisata itu merupakan Proyek Strategis Nasional (PSN) pada 2023 sebagai Rempang Eco City.
BACA JUGA:
Bentrokan terjadi saat tim gabungan berusaha menerobos masyarakat yang berjaga di Jembatan IV Barelang Pulau Rempang karena menolak dilakukannya pengukuran dan pemasangan batok di wilayah tersebut.
Pemblokiran dilakukan warga dengan membakar sejumlah ban dan merobohkan pohon di akses jalan menuju kawasan Rempang. Meski begitu, petugas tetap memaksa masuk untuk memasang patok, dan menembakkan gas air mata serta water cannon untuk melerai kericuhan.
Akibat adanya tembakan suara letupan dari gas air mata, siswa-siswa SD di Pulau Rempang berteriak histeris ketakutan. Tak hanya itu, sejumlah siswa SMPN 22 yang berjarak 100 meter dari ruas Jalan Trans Barelang turut menjadi korban bentrok tersebut.
Uap gas air mata yang ditembakkan ke udara oleh aparat terbawa ke kompleks sekolah dan membuat para siswa dan guru nyaris pingsan, bahkan sampai ada yang lari ke kawasan hutan untuk menghindari udara pengap akibat gas air mata.