Bagikan:

JAKARTA - Kepala Departemen Perizinan dan Manajemen Krisis Perbankan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Aslan Lubis menyampaikan, dukungan berbagai regulasi yang diterbitkan otoritas diharapkan dapat memberikan ruang bagi perbankan dalam penyaluran kredit kepemilikan rumah (KPR).

“Dengan aturan-aturan (yang diterbitkan OJK), kami berharap ini bisa melonggarkan atau memberikan ruang bagi perbankan untuk penyaluran kredit,” kata Aslan dalam "Dialog Solusi Pendanaan Program 3 Juta Rumah" di Jakarta, dikutip dari Antara, Senin 17 Desember.

Salah satu regulasi untuk mendukung pertumbuhan pasar perumahan nasional yaitu tidak ada larangan bagi bank untuk menyalurkan kredit atas pengadaan atau pengolahan tanah kepada pengembang.

Hal ini sebagaimana yang tertuang dalam Peraturan OJK (POJK) No.27/2022 yang mencabut POJK No.44/2017 jo. POJK No.16/2018 yang mengatur tentang pembatasan pemberian kredit untuk pengadaan/pengolahan tanah.

“Sebagaimana diketahui, kalau untuk kita debitur akhir atau konsumen akhir, membeli rumah itu kita tidak bisa membeli kavling untuk dapat kredit dari bank. Tetapi untuk pengembang ini bisa dilakukan,” ujar Aslan.

Kemudian, OJK juga telah mengeluarkan POJK No.32/POJK.03/2018 jo. POJK No.38/POJK.03/2019 yang memungkinkan penyediaan dana dalam rangka pengadaan perumahan dapat diberikan pengecualian batas maksimum pemberian kredit (BMPK) dalam hal dijamin oleh lembaga keuangan penjaminan atau asuransi BUMN dan BUMD.

“Untuk pengadaan lahan misalnya bagi para pengembang itu butuh dana yang cukup besar. Dalam konteks itu, nanti bisa dikecualikan dari BMPK-nya bank,” imbuh Aslan.

Dukungan dalam bentuk regulasi selanjutnya yaitu SEOJK No.24/SEOJK.03/2021 tentang Perhitungan Aktiva Tertimbang Menurut Risiko (ATMR) Risiko Kredit dengan Pendekatan Standar. Dengan aturan ini, bobot risiko kredit beragun rumah tinggal berdasarkan rasio loan to value (LTV). Melalui bobot risiko granular, semakin kecil LTV maka semakin kecil bobot ATMR Kredit.

“Jadi kalau Bank Indonesia mengatur loan to value-nya semakin kecil, maka bobotnya di ATMR nantinya ini akan mempengaruhi modal yang dibutuhkan untuk kredit tersebut semakin kecil pula,” kata dia.

Aslan menambahkan terdapat pula regulasi yang mendukung penetapan kualitas aset produktif berdasarkan satu pilar yang tertuang dalam POJK 40/POJK.03/2019 tentang Penilaian Kualitas Aset Bank Umum. Penetapan kualitas aset produktif untuk debitur dengan plafon sampai dengan Rp5 miliar hanya didasarkan atas satu pilar, yakni ketepatan pembayaran pokok dan/atau bunga.

Ia menjelaskan, ada tiga pilar yang digunakan perbankan untuk menguji layak atau tidak layaknya debitur antara lain prospek usaha, kemampuan membayar, serta angsuran yang dimiliki. Khusus masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) dalam konteks KPR, maka hanya satu pilar yang berlaku yakni kemampuan membayar.

“Sayangnya, ini juga yang sama-sama kita ketahui, untuk masyarakat MBR ini kemampuannya kurang juga. Jadi memang kalau mengandalkan dana perbankan untuk membantu memenuhi kebutuhan perumahan bagi MBR memang sangat sulit rasanya,” ujar dia.

Aslan mengamini bahwa dibutuhkan pendanaan yang sangat besar untuk membantu masyarakat kelompok MBR untuk dapat memiliki rumah. Sementara dana terbesar di perbankan yaitu dana jangka pendek sehingga akan ada mismatch yang sangat besar antara dana yang dihimpun oleh perbankan untuk memenuhi kebutuhan jangka panjang.

“Merujuk pada data price to income ratio tahun 2023, data UMP dibandingkan dengan kemampuan dia (masyarakat) membayar untuk rumah yang layak huni, yang paling tinggi itu adalah 73 tahun di Surabaya dan yang tersingkat di Bekasi itu pun 22 tahun," katanya.

"Kemudian kalau dilihat dari sisi pendapatan per kapita, yang tersingkat adalah 4 tahun di Jakarta Pusat dan yang terpanjang adalah 37 tahun di Depok. Artinya, kita membutuhkan dana yang sangat besar untuk membantu masyarakat berpenghasilan rendah,” kata Aslan.