Pemecatan ratusan guru honorer di Jakarta adalah drama tragis yang terus berulang dalam dunia pendidikan Indonesia. Setiap kali isu ini mencuat, rasa sakit dan ketidakpastian para guru honorer kembali menjadi sorotan. Mereka adalah pahlawan tanpa tanda jasa yang berjuang di garis depan pendidikan, namun nasib mereka kerap terpinggirkan oleh kebijakan yang tidak berpihak.
Bayangkan menjadi seorang guru honorer. Gaji yang diterima tidak sebanding dengan jerih payah yang diberikan. Menurut survei yang dilakukan oleh Lembaga Riset Institute for Demographic and Poverty Studies (IDEAS) dan GREAT Edunesia Dompet Dhuafa pada Mei 2024 terhadap 403 guru di 25 provinsi di Indonesia, 74 persen responden memiliki gaji di bawah Rp2 juta dan sebagian lainnya di bawah Rp500 ribu. Artinya, bisa dikatakan gaji mereka di bawah Upah Minimum Kabupaten-Kota (UMK) 2024 terendah.
VOI pernah mengulas betapa nelangsanya kehidupan para guru honorer yang harus bertahan dengan gaji kecil, namun tetap memberikan dedikasi penuh demi masa depan generasi muda. Guru honorer awalnya hadir sebagai solusi sementara untuk menutupi kekurangan guru tetap. Dengan meningkatnya jumlah siswa dan kebutuhan pendidikan yang semakin kompleks, pemerintah kesulitan memenuhi kebutuhan guru melalui jalur PNS saja. Oleh karena itu, guru honorer dipekerjakan untuk memastikan proses belajar mengajar tetap berjalan. Namun, seiring berjalannya waktu, status mereka tetap honorer tanpa ada kejelasan tentang masa depan dan kesejahteraan mereka.
Pemecatan ini bukan sekadar angka di atas kertas. Di balik setiap pemecatan, ada cerita menyedihkan tentang seorang guru yang kehilangan penghasilan, tentang seorang anak yang kehilangan pengajar terbaiknya. Tulisan di Kompas mengisahkan bagaimana guru honorer di Jakarta terpaksa dipecat sepihak karena masalah pada Data Pokok Pendidikan (Dapodik). Kebijakan "cleansing" ini tidak hanya merugikan guru, tetapi juga merusak kualitas pendidikan di sekolah.
Menurut Dinas Pendidikan DKI Jakarta, pemecatan ini merupakan hasil dari temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang menunjukkan ketidaksesuaian antara data Dapodik dan kondisi nyata di lapangan. Beberapa guru honorer diduga tidak memiliki kualifikasi yang sesuai, sementara yang lain dianggap tidak diperlukan lagi karena pengurangan anggaran dan efisiensi. Namun, alasan-alasan ini sering kali tidak jelas dan menimbulkan ketidakpastian bagi guru-guru yang terkena dampak.
Ketua DPR, Puan Maharani, menyayangkan pemecatan ini dan mendorong pemerintah untuk memberikan solusi yang adil. Pemecatan massal ini menunjukkan betapa rapuhnya sistem pendidikan kita yang seharusnya memperjuangkan kesejahteraan para pendidiknya. Indonesia diprediksi akan kekurangan 1,3 juta guru pada tahun 2024, menurut Kemendikbudristek. Namun, kita masih saja memecat guru honorer.
BACA JUGA:
Solusi yang dibutuhkan bukanlah pemecatan massal, tetapi restrukturisasi dan pengelolaan yang lebih baik. Kebijakan Dinas Pendidikan DKI Jakarta bukanlah pemecatan, melainkan penataan ulang. Namun, penataan seperti apa yang kita butuhkan? Kita perlu kebijakan yang lebih berpihak pada kesejahteraan guru, memberikan mereka keamanan kerja dan penghargaan yang layak.
Di tengah semua ketidakpastian ini, ada harapan bahwa pemerintah akan mengambil langkah nyata untuk memperbaiki sistem pendidikan kita. Meskipun menjadi guru honorer adalah pilihan yang penuh tantangan, banyak yang melakukannya demi cinta terhadap profesi ini. Kita harus memastikan bahwa cinta mereka tidak bertepuk sebelah tangan.
Pemecatan guru honorer adalah gambaran dari karut-marutnya tata kelola pendidikan di Indonesia. Kita membutuhkan solusi yang komprehensif dan adil untuk mengatasi masalah ini. Pendidikan adalah fondasi masa depan bangsa. Solusi harus fokus pada kesejahteraan guru, keamanan kerja, dan kualitas pendidikan. Jika pemerintah serius, maka langkah nyata harus segera diambil. Pemecatan bukanlah solusi, tetapi pengelolaan yang lebih baik dan sistem yang berpihak pada guru adalah jawabannya. Pendidikan harus segera diselamatkan.