Bagikan:

JAKARTA - Penjajahan Belanda membawa pengaruh besar dalam segala bidang. Bidang kuliner, misalnya. Banyak di antara masakan Belanda diadopsi oleh kaum bumiputra. Begitu pula sebaliknya. Peleburan budaya kuliner itu sebagai perwujudan tak langsung kedekatan kedua negara.

Perwujudan paling nyata adalah kue nastar. Kue kering itu dipopulerkan oleh orang Belanda. Mereka menyajikan kue nastar untuk hari besar: paskah dan natal. Kaum bumiputra pun ikutan menghidangkannya di hari spesial, Hari Lebaran.

Keputusan Belanda memonopoli jalur perdagangan rempa di bumi Nusantara sudah final. Mereka pun mencanangkan keinginan untuk membangun negeri koloni. Jayakarta pun ditaklukkannya pada 1619. Di atas puing-puing Jayakarta, maskapai dagang Belanda VOC membangun Batavia.

Belanda lalu membuat Batavia menjadi pemukiman yang layaknya kota-kota besar di Eropa. Setelahnya, Belana berupaya mendatangkan orang-orang Eropa. Namun, mereka yang datang didominasi oleh kaum pria. Sedang kaum wanita banyak yang enggan ke menuju Nusantara. Jarak yang jauh jadi alasan. Masalah itu kemudian membuka jalan bagi pejabat dan serdadu Belanda mempersunting istri dari kalangan bumiputra.

Industri kue kering Cahaya Baru di Palembang, Sumatra Selatan. Kue kering adalah jenis kuliner ringan yang laris di saat Idulfitri. (Antara/Feny Selly) 

Perkawinan itu nyatanya menghasilkan ragam produk budaya. Dari bangunan, musik, hingga makanan. Banyak di antara orang Belanda mulai menyukai  makanan hasil olahan kaum bumiputra. Begitu pula sebaliknya. Pada masa pemerintahan kolonial Hindia-Belanda, terutama.  Bahkan tak jarang pula kedua cita rasa makanan digabungkan menjadi satu.

Saban hari, perpaduan makanan itu menghiasi meja-meja makan orang Belanda dan kaum bumiputra. Cita rasa baru itu banyak digemari oleh pelancong-pelancong dari luar negeri. Pun sajian itu banyak dihadir di hotel-hotel mewah Hindia-Belanda. Indistche rijsttafel, namanya.   

“Di negeri Belanda sampai sekarang banyak rumah makan yang menyediakan berbagai jenis makanan (menu) Indis Tempo Doeloe dengan memasang papan nama bertuliskan: Indische Restaurant. Banyak keluarga Belanda, khususnya anak keturunan yang pernah tinggal atau datang dari Indonesia, menghidangkan menu Indistche rijsttafel. Hidangan ini terdiri dari nasi soto, nasi goreng, gado-gado, nasi rames, lumpia, dan sebagainya.”

“Sementara itu, di Indonesia, masyarakat indis, termasuk priayi Jawa, menghidangkan makanan keluarga dengan perlengkapan dan menu campuran Eropa dan Jawa. Misalnya, beafstuk, resoulles, dan soep. Pengaturan susunan peralatan makan di meja makan pun tidak sama dengan di negeri Belanda,” ungkap Djoko Soekiman dalam buku Kebudayaan Indis: Dari zaman Kompeni sampai Revolusi (2011).

Sejarah Nastar

Hidangan hasil perpaduan budaya Indonesia-Belanda tak melulu hadir dalam makanan berat belaka. Kue nastar, misalnya. Ada sentuhan pemukim Portugis dalam kehadiran nastar di Nusantara. Mereka berperan besar dalam membawa bibit nanas dari koloninya (Amerika Selatan) ke Asia.

Olahan nanas pun menjadi populer di Asia. Nusantara apalagi. Orang Portugis banyak menghasilkan resep baru olahan nanas. Kehadiran buah nanas itulah yang melatarbelakangi orang Portugis acap kali membuat seloyang kue pai nanas.

Kue pai nanas yang menjadi kegemaran orang Portugis mulai gemari oleh orang Belanda. namun, kue pai nanas itu tak mampu bertahan lama setelah dimasak. Sedang orang Belanda ingin supaya kue itu dapat tahan lama. Orang Belanda pun mulai bersiasat. Akhirnya, tercetuslah ide mumbuat ananastaart. Ananas dalam bahasa Belanda berarti nanas, tart berarti kue.

Penjual melayani pembeli kue kering menjelang Idulfitri di sebuah kios di Pasar Jatinegara, Jakarta. (Antara/Aprillio Akbar)

Kue nastar pun dihidangkan oleh orang Belanda tak sembarang. Sebab, kue-kue itu dikonsumsi pada hari-hari spesial seperti Paskah dan Natal. Kaum bumiputra pun tak mau kalah. Mereka pun turut melanggengkan sajian kue nastar untuk hari besar. Hari Raya Idulfitri, misalnya. Kue ini jadi kegemaran saat Idulfitri di seantero negeri. Saking populernya, nastar bahkan tak pernah absen mengisi meja tamu di Hari Lebaran.

“Jadi orang Portugis memasak dengan menambahkan irisan nanas ke kari mereka, mengarah ke kari ikan asam manis yang disebut ikan asam manis. Orang portugis lalu mulai memanggang kue-kue dengan andalan kue pai nanas dan ternyata populer.”

“Dewasa ini, kue-kue pai seperti itu tersedia dalam berbagai rasa stroberi, rasberi, tetapi yang terbaik adalah buah nanas. Orang belanda menggunakan cetakan mirip gunting untuk menghasilkan kue yang sama tapi lebih kecil. Orang jawa (kini: Indonesia) menyebutnya sebagai kue nastar,” ungkap Vincent Gabriel dalam buku  Success In the Peranakan Food Business (2015).