Bagikan:

JAKARTA - Dalam setiap perayaan Hari Raya Idulfitri, berkumpul di meja panjang atau Meja Nyai merupakan momentum yang paling ditunggu-tunggu oleh segenap orang Betawi. Meja Nyai dikenal memiliki kekuatan magis. Magis karena dapat mengikat kebersamaan antarkeluarga maupun sahabat terdekat. Serta magis karena dapat memunculkan wujud dari keberagamaan budaya Betawi.

Saking spesialnya Meja Nyai, segala bentuk peleburan budaya, mulai Portugis, China, dan Belanda dapat berkumpul di atasnya. Beberapa di antara peleburan itu hadir dalam bentuk kue kering seperti nastar, kue semprit, kue satu, kue kiji, dodol maupun aneka manisan. Tak hanya itu, makanan berat juga seperti semur daging kerbau, perkedel dan sup kacang merah turut dihadirkan untuk menyambut tamu yang datang bersilaturahmi.

Sebagaimana yang diungkap oleh Sejarawan JJ Rizal, letak nyawa dari keberagaman budaya Betawi dapat dinikmati dari barisan makanan yang ada pada Meja Nyai. Lantas, kala orang-orang ingin mengetahui wujud sejauh mana orang Betawi dapat menerima perbedaan, maka langsung saja melirik menu-menu yang disajikan.

"Ramadan itu peristiwa besar, karena orang betawi sering diidentikkan dengan islam. Namun, pada saat lebaran tiba, anehnya, hampir gak ada makanan islam, gak ada makanan Arab, mayoritas makanan dari dunia etnis, ras, kultur, di luar kultur yang ras etnis islam," ujarnya saat dihubungi VOI pada 22 Mei.

Rizal pun menambahkan perihal makanan bagi orang Betawi bukan cuma soal enak atau berharga mahal. Bahkan, lebih dari itu. Orang Betawi percaya bawa dalam tiap makanan yang dihidangkan ada suatu nilai yang dapat menjadi pelajaran berharga. "Makanan itu tak sekadar maknyus-maknyusan, ajib-ajiban, tetapi ada nilai, ada kearifan dalam makanan. Dan dari makanan kita diajarkan nilai-nilai menghargai serta hidup bersahabat dengan perbedaan.”

Keberagaman dalam makanan

Pendapat Rizal benar adanya. Jikalau ditelusuri, rata-rata menu yang terhidang di Meja Nyai tak ada menu yang benar-benar berasal atau bernuasa Arab. Nastar, misalnya. Menurut Vincent Gabriel dalam bukunya Success In The Peranakan Food Business (2015), kehadiran nastar di Indonesia justru hadir berkat para pemukim Portugis yang datang ke Asia dengan membawa bibit nanas dari koloninya, Amerika Selatan.

Orang Portugis sering mengolah nanas sebagai bahan utama membuat seloyang kue pai nanas. Tak disangka, kue pai nanas pun kesohor. Oleh orang Belanda yang datang setelah Jayakarta di taklukkan oleh kongsi dagang VOC pada 1619, kue pai tersebut dimodifikasi sedemikian rupa sehingga menjadi kue yang dikenal dengan nama nastar.

“Ananas tart (kue pai nanas) kemudian dimodifikasi oleh orang Belanda sehingga menjadi nastar, seperti yang banyak disebut oleh orang Jawa.”

Tak hanya itu. Ada pula kue kering dari Belanda lainnya yang diadaptasi menjadi jajanan lebaran. Seperti kaas stengels (kue keju) maupun botersprits, yang disesuaikan dengan pelafalan orang betawi menjadi kue semprit.

Barisan kue tersebut menjadi bukti jikalau kue yang lazimnya disajikan pada saat Natal oleh orang Belanda, kemudian dapat diadopsi dan dimodifikasi menjadi salah satu kue yang mengisi salah satu stoples makanan pada Meja Nyai.

Perihal makanan utama pun sama. Fadly Rahman, dalam buku Rijsttafel: Budaya Kuliner di Indonesia Masa Kolonial 1870-1942 (2016) menjelaskan, banyak makanan Indonesia yang berasal dari budaya kuliner orang Belanda kini mulai menjadi menu wajib saat Lebaran bagi orang Betawi. Beberapa di antaranya ada nama semur daging kerbau dan perkedel.

“Semur (smoor) adalah jenis makanan yang memiliki cita rasa manis khas Belanda dengan menggunakan bahan daging ayam atau sapi. Makanan ini telah diadopsi menjadi hidangan lokal populer dalam rijsttafel dengan nama Smoor Djawa (gebakken vis met een pittige saus),” ucap Fadly.

Uniknya, perpaduan antara budaya kuliner Nusantara dan Belanda dalam semur diperkuat pula oleh sentuhan Tionghoa peranakan lewat adanya kecap pelengkap cita rasa makanan bercita rasa manis tersebut. Perkedel pun begitu. Dahulu, pelafalan perkedel yang merupakan jenis makanan yang berbahan dasar kentang yang dihaluskan dalam bahasa Belanda, yakni frikedel.

“Kesulitan mengucapkan huruf ‘f’ oleh orang-orang pribumi menyebabkan kata frikedel berubah pelafalan menjadi perkedel. Setelah masuk sebagai salah satu hidangan pribumi, frikedel mulai mengalami proses modifikasi bahan seperti tempe, tahu, dan jagung,” tambahnya.

Hargai perbedaan

Tokoh muda Betawi, Masykur Isnan mengungkap, kemampuan orang Betawi berdamai dengan memasukkan unsur luar pada barisan menu yang terhidang dalam Meja Nyai bukan tanpa alasan. Sejak dulu, orang Betawi paling rajin memupuk rasa persaudaran dan semangat kebersamaan kepada siapa saja.

“Masyarakat Betawi sudah dari dulu dikenal sangat religius. Untuk itu, momentum lebaran dijadikan sebagai ajang dalam membuktikan kalau masyarakat Betawi itu terbuka dan sangat toleran,” ucapnya saat dihubungi VOI.

“Bukan cuma itu aja, Betawi ini merupakan hasil dari keragaman budaya dan proses akulturasi. Jadi gak heran jika orang Betawi dan budaya luhurnya sangat terbuka dan toleran dengan keberagamaan dan perbedaan. Makanya, orang-orang yang mengetahui seluk-beluk orang Betawi akan melihat Betawi sebagai potret keberagaman yang berani mewujudkan makna dari Bhinneka Tunggal Ika, walau dalam bentuk sajian Lebaran,” tutupnya.