JAKARTA - Di balik hiruk-pikuk problema yang ada di Jakarta, nyatanya Ibu Kota pernah mendapat puja-puji dari mantan orang nomor satu di Indonesia, Soekarno. Tak main-main, Bung Karno menyebut Jakarta sebagai mercusuar perjuangan bangsa. Di Jakarta, keragaman berkumpul. Kwitang jadi salah satu keberagaman itu. Inilah asal-usul Kampung Kwitang dan berbagai sejarah yang terjadi di dalamnya.
Peneliti Australia, Lance Castle pernah mengungkap hal senada. Bagi Castle, Jakarta adalah mozaik, panci pelebur berbagai identitas yang tumbuh menjadi satu. Dalam pandangan Castles, Jakarta memiliki daya tarik yang mampu menyerap beragam etnik dan latar belakang untuk hidup di dalamnya. Perwujudan yang diungkap Castle dapat dilihat dari hadirnya kampung-kampung di Jakarta yang dihuni multietnik.
Kampung Kwitang salah satu miniatur keberagaman di Ibu Kota. Kwitang adalah nama kampung yang berada di Jakarta Pusat. Selain karena dihuni oleh kaum bumiputra Betawi, Kwitang juga ditinggali oleh etnis Tionghoa, Arab, dan Eropa. Kampung ini legendaris. Apalagi, Kwitang sudah ada jauh sebelum Indonesia memproklamirkan kemerdekaan.
Hal itu dibuktikan dengan terdaftarnya Kwitang sebagai wijk (kampung) ke-13 dari 25 wijk yang berada di bawah Afdeling Batavia, District Weltevreden, Onderdistrict Senen. Menariknya, asal-usul dari nama Kwitang sempat jadi misteri karena memiliki banyak versi. Dikutip G.J Nawi, dalam tulisan berjudul Kwitang dari Kata Gnuidang (2019), setidaknya ada dua versi terkait asal mula nama Kampung Kwitang berdasar riwayat dan beberapa tuturan lisan.
"Versi pertama menyatakan Kwitang berasal dari Kwik Tang Kiam, nama seorang tuan tanah berdarah Tionghoa. Kwik Tang Kiam menguasai hampir seluruh wilayah kampung Kwitang pada saat itu, hingga masyarakat Betawi menyebutnya kampung Si Kwik Tang, yang akhirnya, lama kelamaan sebutan kampung Si Kwik Tang menjadi Kampung Kwitang,” tertulis.
Dalam versi kedua, nama Kwitang berasal dari nama seorang tabib yang juga pendekar kuntao --aliran seni bela diri, Kwe Tang Kiam. Masyarakat menyebutnya Kampung Kwe Tang, hingga lama-kelamaan menjadi Kwitang. Sayangnya, kedua versi itu cuma mitos yang tak berdasar.
G.J Nawi kemudian mencantumkan pendapatan budayawan peranakan Tionghoa, David Kwa, guna menegaskan kedua versi tersebut tak masuk akal. Ia menjelaskan, marga Kwik adalah sebutan marga yang umumnya digunakan oleh orang Tionghoa di Jawa bagian timur. Pun halnya marga Kwe yang umumnya hanya digunakan oleh Jawa bagian barat.
“Sejatinya, nama Kwitang muncul dari komunitas orang Hokkian dari Tiongkok Selatan yang dulu menjadi penduduk mayoritas di kampung itu. Sekali lagi, mengutip David Kwa bahwa nama Kwitang berasal dari frasa Gnuidang (Kwitang), yaitu nama Provinsi Guangdong (Kwangtung) dalam lafal Hokkian logat Ciangciu. Sedangkan dalam lafal Hokkian logat Amoi atau Emui adalah Gngdang,” tambahnya.
Dihuni para pesohor
Seiring perkembangannya, kampung Kwitang yang multietnik kemudian banyak dihuni para pesohor dari zaman ke zaman. Beberapa di antaranya ada yang berprofesi sebagai politikus, seniman, hingga budayawan, dan jago silat andal.
“Mr. Mohamad Roem, tokoh Masyumi, saat pecah revolusi fisik melawan Belanda, tangan kanannya tertembak ketika bergerilya di Kwitang. Mantan menteri agama, Tarmizi Taher, ketika tinggal di Kwitang sempat menjadi teman main bola saya. Di sini juga pernah tinggal pengarang terkenal Trisno Juwono yang juga jadi penerjun bebas,” tutur Alwi Shahab, dalam buku Maria Van Engels: Menantu Habib Kwitang (2004).
Alwi menambahkan, tokoh lain yang erat kaitannya pernah besar dan hidup di Kwitang adalah mantan Wakil Gubernur DKI Jakarta Eddy M Nalapraya; sutradara film, Arifin C Noer; mantan Duta Besar RI di Australia, Sabam Siagian; serta Kepala Sinematek, SM Ardan juga dibesarkan di Kwitang. Bahkan, Bekas rumah seniman legendaris, Ismail Marzuki yang menciptakan lebih dari 200 lagu hingga kini masih ada di Kwitang.
Awal mula cerita Nyai Dasima
Tak hanya itu. Kwitang juga dikenal karena kawasan itu adalah awal mula munculnya cerita terkenal Nyai Dasima yang melegenda. Konon, di sekitar Kali Ciliwung --titiknya sekarang ada di dekat Toko Buku Gunung Agung dan Markas Maritim-- tahun 1820-an, Nyai Dasima dihabisi nyawanya oleh Bang Puase, seorang jagoan di Kwitang.
Dahulu, Nyai Dasima dikenal sebagai istri muda seorang petinggi VOC yang kemudian kawin dengan Samiun, tukang sado dari Kwitang. Samiun diceritakan sering mangkal dengan sadonya di depan Kantor Kelurahan Kwitang. Nahas, Nyai Dasima yang dikenal cantik nan rupawan dibunuh oleh Bang Puase atas suruhan Hayati, istri tua dari Samiun yang kelewat cemburu.
Kisah Nyai Dasima lalu diangkat ke dalam sebuah buku oleh G. Francis dengan judul Tjerita Njai Dasima (1896). Kisah itu melegenda, bukan cuma di Hindia Belanda saja. Ketenaran cerita Nyai Dasima begitu menyebar hingga ke Semenanjung Malaya dan Singapura.
Namun, dalam perjalanan waktu, kisah yang ditulis oleh G. Francis direkonstruksi sedemikian rupa dengan tujuan membuat citra orang Betawi menjadi buruk. Pada 1963, tokoh Betawi, SM Ardan menyunting ulang cerita Nyai Dasima. SM Ardan kembali menghidupkan kisah Nyai Dasima dengan kondisi yang lebih relevan dengan masyarakat Betawi kala itu.
BACA JUGA:
Hasil tulisan ulang kisah Nyai Dasima oleh Ardan mendapat sambutan positif hingga kemudian dicetak ulang berkali-kali. Kisah yang Ardan tutur begitu berbeda. Versi Ardan membuat cerita Nyai Dasima lebih hidup, dibanding versi G. Francis yang menulis cerita Nyai Dasima tampak seperti menulis laporan.
Ardan membuka kisah Nyai Dasima dengan elegan lewat penggalan kalimat: Jakarta Jaman Betawi, tahun 1820-an. Kampung Kwitang waktu itu masih masih merupakan setengah hutan, belum banyak penghuninya.
Sementara, G. Francis memulai kisah dengan penggalan kalimat: Alkisah terseboet satoe perkatahan, kira-kira di tahun 1813 ada djadi koeasa di Tana Tjoeroek, pegangan Tangenang, satoe Toean orang Inggris nama Edward W. ini toean soenggoe blontoea, dia poenja satoe Nyai, orang prampoean Islam Kampung Koeripan namanya Dasima.