Bagikan:

JAKARTA - Penjajah Belanda kerap mengikuti naluri keuntungan. Di mana ada untung, di situ ada pemerintah kolonial Hindia Belanda. Narasi itu diwujudkan dengan kehadiran transportasi udara di Nusantara. Sederet pesawat mulanya digunakan untuk militer, kemudian komersial.

Empunya kuasa untung besar. Kota-kota besar di Indonesia dapat ditempuh dengan cepat. Namun, urusan naik pesawat bukan perkara mudah. Barang siapa yang ingin naik pesawat harus berani bayar mahal dan hadapi resiko tinggi.

Kemunculan transportasi udara disambut dengan gegap gempita di Hindia Belanda (kini: Indonesia). Kehadirannya ditandai dengan berdirinya dinas penerbangan militer pada 1914. Eksistensi penerbangan diarahkan untuk sepenuhnya kepentingan militer. Dari pengangkutan personel hingga senjata.

Banyak pengusaha asal Belanda pun melihat celah keuntungan. Transportasi udara dapat menghemat banyak waktu, pikirnya. Narasi itu membuat pengusaha-pengusaha yang ada menggagas hadirnya dinas penerbangan komersial yang terorganisir.

Logo maskapai penerbangan Hindia Belanda, KNILM pada 1932. (Wikimedia Commons)

Usulan itu disampaikan langsung kepada empunya kuasa. Penjajah Belanda tak bisa menolak. Sebab, keuntungan dari hadirnya penerbangan sipil mampu menggemukkan kantong penjajah Belanda. Mereka dapat merasakan bagaimana kehadiran kereta api bahwa untung bejibun. Belanda berpikir hal yang sama berlaku pula bagi hadirnya pesawat terbang komersial.

Maskapai penerbangan Hindia Belanda, Koninklijke Nederlandsch-Indische Luchtvaart Maatschappij (KNILM) pun dibentuk pada 1928. KNILM hadir untuk menjawab kebutuhan penguasa dan pengusaha. Antara lain mengorganisasir penerbangan murah (subsidi), tamasya, fotografi, dan kepentingan lainnya.

Keinginan itu tambah kuat karena KNILM mulanya langsung dibekali dengan empat pesawat terbang berjenis Fokker VII. Masing-masing pesawat itu beregistrasi HN-AFA, HN-AFB, HN-AFC dan HN-AFD. Masalah muncul. Pengangkutannya memang belum optimal.

Satu pesawat hanya memiliki kapasitas delapan orang penumpang dan mengangkut bagasi sebanyak 300 Kg. Rute-rute penerbangan pun disiapkan dan terbatas. Demikian pula sarana dan prasarana lainnya. Armada pesawat pun perlahan-lahan ditambah tiap tahunnya.

Antusiasme penumpang pesawat Maskapai Hindia Belanda, KNILM. (Wikimedia Commons)

“Pengawas keuangan dan teknis dilaksanakan oleh Bagian Penerbangan Sipil Departemen Industri Pemerintah di Bandung, yang mengurusi seluruh masalah yang berkaitan dengan penerbangan sipil: misalnya pengaturan udara, registrasi, lisensi, inspeksi pesawat terbang, lisensi pilot, pendirian lapangan terbang, rute udara, dan fasilitas navigasi udara, hubungan internasional, subsidi dan penerbitan Maklumat Hindia Belanda ke pilot.”

“Lapangan terbang serta landasan terbang milik militer dan kelautan juga telah dimasukkan ke dalam administrasi lalu lintas udara sipil oleh Pemerintah. Lapangan terbang/landasan udara sekarang telah didirikan di Batavia, Semarang, Surabaya, Bandung, Palembang, dan Medan. Lebih jauh lagi kira-kira 30 lapangan terbang terdapat di Jawa, sementara di Sumatera maupun pulau-pulau lain Nusantara lapangan terbang yang bertempat di antara pulau Jawa dan Australia juga telah memungkinkan atau bisa memberi peluang kepada pesawat-pesawat untuk mendarat,” terang J. Stroomberg dalam buku Hindia belanda 1930 (2018).

Mahal dan Berbahaya

Eksistensi transportasi udara tak lantas membuat urusan naik pesawat jadi mudah. Naik pesawat di era Hindia Belanda bak uji nyali. Pertama, nyali diuji dengan penerbangan yang belum memiliki standar keamanan mempuni, alias berbahaya. Kedua, nyali diuji dengan mahalnya harga tiket yang ditetapkan dalam sekali perjalanan.

Urusan penerbangan yang berbahaya, misalnya. Penerbangan dapat berbahaya karena fasilitas keamanan pesawat belum mempuni. Tiada penomoran di delapan kursi rotan untuk penumpang. Siapa cepat, dia dapat.

Duduk pun tak mengenakan sabuk pengaman. Jendela pesawat dapat dibuka sesuai keinginan penumpang, Namun, kalau lepas landas dan mendarat jendela harus ditutup. Penumpang jangan harap merasakan kenyamanan seperti berada di kereta api kelas satu yang serba mewah. Pramugari saja tidak ada.

Pembukaan jalur udara pertama KNILM dari Bandara Cililitan (kini Halim Perdanakusuma) di Batavia (kini: Jakarta), menuju Bandung dan Semarang, tahun 1928. (Wikimedia Commons)

Gambaran itu membuat maskapai Belanda KNILM kerap mendapat citra buruk. Orang-orang pada zamannya menjuluki KNILM dengan: Kalau Naik Ini Lekas Meninggal. Sesuatu plesetan yang menegaskan berbahayanya penerbangan di era awal pesawat komersil mengudara.

Penerbangan berbahaya itu berbiaya mahal pula. Mereka yang dapat naik pesawat adalah mereka yang kaya dan sangat kaya saja. Dari pengusaha, pelancong, hingga pejabat pemerintahan. Barang siapa yang tak ingin mendapatkan potongan harga, mereka harus terdaftar dalam Perkumpulan Penerbangan Hindia Belanda terlebih dulu.

Kartu anggota perkumpulan itu bak kartu sakti. Modal menunjukkan kartu saja, potongan harga tiket sebanyak 15 persen didapat. Urusan membawa barang bawaan bagasi tak dibatasi. Namun, barang yang boleh dibawa bagasi pesawat terbatas. Sisa bagasinya akan dibawa via kereta api yang sudah jadi bagian harga tiket.

“Tentang harga tiket, sulit untuk memberi perbandingan degan harga sekarang. Biarkan demikian, di sini akan disebut beberapa angka; Batavia-Semarang satu jalan 60 gulden. Batavia-Surabaya 90 gulden, Batavia-Singapura 140 gulden, dan Batavia-Medan 225 gulden. Perbandingan waktu tempuh nampak lebih jelas. Setiap hari, kecuali hari Minggu, sebuah pesawat dari Batavia berangkat pukul 7.30 pagi dan tiba di Semarang pukul 10.00 (Semarang dengan Fokker 28 jarak ini ditempuh dalam waktu 45 menit).”

“Dari Semarang pesawat berangkat pukul 10.20 dan tiba di Surabaya pukul 12.00 siang (Sekarang Jakarta-Surabaya dengan DC-9 ditempuh dalam waktu 1 jam). Penerbangan ke Singapura hanya ada satu kali dalam seminggu, yaitu pada hari Selasa. Dari Batavia pesawat lepas landas pukul 7.25 dan tiba di Palembang pukul 9.55. Berangkat lagi dari Palembang pukul 13.55 (Sekarang jarak Jakarta-Singapura langsung, ditempuh dalam waktu sekitar 1 jam 20 menit),” tertulis dalam laporan Majalah Dharmasena berjudul Naik Pesawat Terbang 50 Tahun yang Lalu (1988).