JAKARTA - Kesohornya Thomas Stamford Raffles di Asia Tenggara tak perlu diragukan. Ia pernah memimpin Hindia Belanda dan Bengkulu. Kepemimpinan Raffles membekas di mata negaranya dan maskapai dagang Inggris, EIC.
Prestasinya kian moncer kala memilih Singapura sebagai pos dagang baru Inggris. Ia mampu mengubah wajah Singapura yang kumuh. Raffles mencoba membangun sebuah peradaban modern di Singapura. Ia pun menjelma jadi orang pertama yang membangun sekolah di Singapura.
Kongsi dagang Inggris, East India Company (EIC) pernah punya pejabat teladan. Raffles, namanya. Sosok itu kemudian mendapatkan kepercayaan untuk menjalankan kuasa Inggris di Hindia Belanda. Raffles pun menjabat di wilayah yang sebelumnya dikuasai Belanda sebagai Letnan Gubernur Jenderal.
Jabatan itu diembannya dari 1811-1816. Kepemimpinannya berjalan baik. Sekalipun terdapat kontroversi. Pun kepemimpinannya di Nusantara ia mampu menelurkan karya yang fenomenal The History of Java (1817).
Tiada yang abadi. Jabatannya di Nusantara terhitung singkat. Kompeni Inggris itu lalu mengutusnya untuk jadi Letnan Gubernur Bencoleen (Bengkulu) yang menjabat dari 1818-1824. Loyalitas Raffles kepada EIC tiada dua.
Ia menawarkan diri untuk melanggengkan ekspedisi pencarian lokasi pos perdagangan Inggris yang tepat di Asia tenggara. Rencana ekspedisi menemukan pelabuhan bebas yang strategis dibuat. Pucuk dicinta ulam tiba. Rencana Raffles disetujui.
Eksedisi itu membawa Raffles dan rombongannya ke Singapura pada 1819. Orang-orang melihat Singapura tak lebih dari tempat hidup nelayan dan daratannya yang dipenuhi hutan Belantara. Namun, Raffles melihatnya berbeda.
Raffles bak memprediksikan ke depan bahwa Singapura jadi pelabuhan tersibuk milik Inggris di Asia Tenggara. Keyakinan itu dikunci dengan perjanjian dengan penguasa lokal yang mengizinkan EIC membangun Singapura.
“Selama puluhan tahun, gagasan markas Inggris di ujung selatan Selat Malaka telah dibahas di banyak ruang diskusi dan ruang dewan di timur, dan pada akhir 1818, Raffles menerima izin terbatas ketat dari Kolkata untuk melakukan proyek di daerah tersebut; satu pos Inggris harus didirikan di suatu tempat dekat ujung selatan Semenanjung Melayu jika – dan hanya jika—pos tersebut bertentangan dengan perjanjian yang mungkin ada antara Belanda dengan penguasa lokal.”
“Mantan residen Inggris di Malaka, William Farquhar, seorang lak-laki yang lebih kenal mengetahui perairan dan jalan di Selat Malaka Selatan daripada orang lain, sudah mencari-cari tepat seperti itu. Raffles dengan cepat mengerjakan proyeknya, dan pada pada bulan pertama 1819, tanpa mengecek dulu dokumen-dokumen Belanda, mereka mendirikan pos itu. Namanya adalah Singapura,” terang Tim Hannigan dalam buku Raffles dan Invasi Inggris ke Jawa (2016).
Bangun Sekolah Pertama
Mimpi EIC memiliki pos dagang di Singapura akhirnya terwujud. Raffles dan EIC pun mulai melanggengkan pembangunan supaya Singapura nyaman ditinggali oleh orang Inggris dan pendatang lainnya. Segala macam fasilitas kesehatan dan pendidikan dibangun.
Raffles bahkan berencana membangun sekolah pertama di Singapura. Musyawarah pembangunan sekolah pun dilanggengkan. Raffles mengumpulkan seluruh orang penting di Singapura. Dari orang Inggris, China, India, dan Melayu.
Raffles mengutarakan idenya untuk mencerdaskan seisi Singapura. Raffles yang bukan tipe lempar batu sembunyi tangan, lalu menyumbang sendiri sebanyak 2 ribu dolar AS dan istri yang kedua, Sophia seribu dolar AS untuk pembangunan. Gerakan pembangunan sekolah itu diikuti oleh lainnya.
EIC tak mau kalah. Kongsi dagang Inggris itu ikut menyumbang 4 ribu dolar AS dan diikuti oleh pemimpin setempat yang mencapai belasan ribu dolar. Kurikulum sekolah pun disiapkan. Demikian pula dengan arsitek, Philip Jackson merancang pembangunan gedung sekolah di Jalan Bras Basah.
Keinginan itu kemudian menjadi nyata pada 5 Juni 1823. Raffles dan pejabat lainnya hadir dalam peletakan batu pertama. Upacara simbolis pembangunan itu disambut dengan gegap gempita. Sekolah itu kemudian dinamakan Institution (kemudian dikenal Raffles Institution).
Awal peruntukan sekolah itu dielukan sebagai perguruan tinggi, namun seiring berjalannya waktu Raffles Institution jadi sekolah dasar. Perkembangannya pun pesat dan sempat pula berpindah lokasi ke Jalan Grange pada 1972.
Sekolah itu bahkan jadi primadona di era kekinian. Narasi itu dibuktikan dengan banyaknya alumni Raffles Institution yang jadi pejabat Singapura di masa depan. Lee Kuan Yew, misalnya. Keberhasilan Raffles Institution jadi bukti yang memperkuat narasi Raffles adalah Bapak Singapura Modern.
“Dia sendiri mengeluarkan uang 2 ribu dolar. isterinya 1.000 dolar,- dan Kompeni Inggris 4 ribu dolar pula. Penguasa lokal pun tentu tiada mau kalah. Demikian pula toko-toko dan saudagar-saudagar. Tahukah saudara-saudara, bagaimana orang meletakkan batu pertama pada ketika itu? Oleh Raffles dibubuhnya sebuah mata uang mas pound sterling ke dalam lubang yang disediakan untuk tempat tumpuan pintu.”
“Pembesar-pembesar lain meniru perbuatan itu dengan menjatuhkan dolar dan mata uang lain. Setelah lubang itu ditutup dengan tinah, maka batu pun disusun di atasnya. Meriam diletuskan dua belas kali. Dengan letusan itu selesai peresmian sekolah pertama di bandar Singapura, yang dinamai Institution (kemudian dikenal Raffles Institution) pada tahun 1823,” ungkap Madong Lubis dalam tulisannya di Majalah Medan Bahasa berjudul 100 Tahun Abdullah Bin Abdulkadir Munsji (1955).