JAKARTA - Gede Pangrango adalah gunung dengan sejuta pesona. Magnet utamanya terletak pada dua puncak gunung: Puncak Gede dan Puncak Pangrango. Daya pikat itu kemudian mendatangkan pecinta eksotisme timur dari pelosok negeri.
Thomas Stamford Raffles dan Alfred Russel Wallace adalah beberapa di antaranya. Bagi mereka yang mendaki, dan mereka yang melihat dari Batavia (Jakarta), keindahan Gede Pangrango amatlah mengagumkan.
Di balik itu semua, Gede Pangrango juga dikenal sebagai gunung yang sakral. Utamanya, karena Gede Pangrango disebut sebagai “Bukit Agueng.”
Eksistensi Gunung Gede Pangrango tak cuma tercatat di dalam banyak dokumen Belanda saja. Gede Pangrango telah hadir dalam naskah kuno, Bujangga Manik dari abad ke-15.
Dalam naskah tersebut, pengelana Hindu asal Pakuan Padjadjaran, Bujangga Manik mengisahkan masyarakat Sunda Kuno menganggap Gede Pangrango sebagai tempat suci nan sakral. Alhasil, penduduk sekitar Pakuan mengenal Gede Pangrango sebagai Bukit Agueng, yang berarti "Bukit Besar." Detailnya Bujangga Manik menulis:
Panjang tanjakan ditedak, ku ngaing dipeding-peding. Sadatang aing ka Puncak, deuuk di na mu(ng)kal datar, teher ngahihidan awak.Teher sia ne(n)jo gunung, itu ta na Bukit Ageung, hulu wano na Pakuan. (Panjang tanjakan yang kulalui, kutempuh dengan tekun. Setiba aku di Puncak, aku duduk di atas batu datar (rata) sambil mengipasi tubuh. Lalu aku memandang ke arah gunung, itulah Bukit Ageung, titik tertinggi di Pakuan.
Perjalanan yang dilakukan Bujang Manik sejatinya adalah ziarah. Ia mengelilingi Pulau Jawa hingga Bali. Kendati demikian, Bujang Manik nampak seperti pelancong modern, dengan menikmati panorama alam dan bersantai di banyak tempat.
Lebih lagi, dalam naskah itu Bujang Manik memuat banyak informasi seputar tempat yang dijelajahinya. Tambahan penjelasan, seperti Gunung Gede dahulunya jadi kabuyutan --tempat suci-- dsri Kerajaan Pakuan Padjadjaran (Abad 15-16) yang sekarang Bogor jadi buktinya.
“Apabila identifikasi tersebut benar, di Gunung Gede pada masa Sunda Kuno pasti terdapat bangunan suci yang cukup besar karena berstatus sebagai kabuyutan kerajaan. Menarik untuk diperhatikan pula adalah frasa Sanghiang Talaga Warna yang sesungguhnya dapat merujuk kepada bangunan suci yang terletak di Telaga Warna. Seperti diketahui bahwa kata sanghyang berasal dari kata sang +hyang dan lazim digunakan sebagai kata sandang dari hal-hal yang bersifat sakral atau suci,” tulis Dani Sunjaya dalam Jurnal Purbawidya berjudul Gunung Sebagai Lokasi Situs-Situs Keagamaan dan Skriptoria Masa Sunda Kuno (2019).
Pendakian naturalis Eropa
Di antara orang Eropa yang pernah mendaki Gede Pangrango, ada nama Letnan Gubernur Jenderal Hindia-Belanda Thomas Stamford Raffles (1811-1816) . Raffles diketahui mendaki Gede Pangrango pertama kali pada pertengahan tahun 1815. Tujuan pendakiannya adalah meneliti tanaman medis di Hindia-Belanda.
Saat berada di puncak, Raffles mendata dinamika suhu dan langsung mengukur ketinggiannya. Amatan Raffles lalu diabadikan oleh jandanya, Lady Sophia Raffles (Sophia Hull). Sophia menulis kembali amatan Raffles berasal surat bertarikh 7 Maret 1815.
Raflles kala itu mengirim surat itu kepada koleganya naturalis Amerika, Dr. Thomas Horsfield (1773-1859). Lewat surat itu pula Raffles berseloroh bahwa dirinya adalah orang Eropa pertama yang menjejakkan kaki di puncak Gunung Gede.
“Kami memiliki pandangan paling luas di puncak: jalan-jalan Batavia. dan kami dapat melihat pesisir paling selatan Sumatera, ombak di pantai selatan terlihat dengan mata telanjang, ke timur kami dapat melihat Indra Mayu dan Bukit Cheribon yang menjulang paling tinggi di sana,” tulis Raffles dikutip oleh Lady Sophia dalam buku Memoir of the Life and Public Servicers of Sir Thomas Stamford Raffles (1830).
Isi surat itu menjadi penegas jika Raffles begitu kagum dengan bentang alam yang disaksikannya dari puncak Gunung Gede. Apalagi, Raffles menumpahkan rasa kagumnya kepada Gede Pangrango kepada Holsfield. Holsfield kata Raffles, adalah panutan. Bahkan, setelah dirinya tak lagi aktif di Hindia-Belanda, keduanya masih aktif berhubungan lewat surat.
“Dalam surat pribadi dari Hasting ke singapura tertanggal 17 Juni 1819, Raffles melaporkan pertemuannya di Kolkata dengan dua naturalis Prancis, Pierre Diard dan Alfred Duvaucel. Raffles mengajak mereka untuk menemaninya ke Bengkulu dalam rangka penelitian terhadap fauna Sumatra dengan alasan yang sama seperti Dr. Horshield. Sebab, Horshield telah mengadakan penelitian sejarah alam di Jawa,” ujar John Bastin dalam buku Raffles and Hastings (2014).
Setelah Raffles, ada nama naturalis kesohor asal Inggris Alfred Russel Wallace yang melakukan pendakian ke Gede Pangrango. Saat mendaki untuk meneliti flora dan fauna, Wallace menyadari pendakian yang dilakukannya ke puncak Panggerango dan Gede adalah kejadian yang paling menarik selama di Pulau Jawa. Puncak Pangrango, kata Wallace merupakan dataran yang bergelombang dan dibatasi tebing-tebing rendah dengan sebuah jurang yang dalam.
Akan tetapi, selama berada di gunung, Wallace tak dapat melihat dengan jelas pamandangan dari puncak gunung. Penyebabnya, antara lain cuaca yang sedang berkabut dan hujan. Walaupun demikian, Wallace sangat menikmati keberadaannya di tempat itu. Lantaran pendakiannya mampu memetakan banyak jenis tumbuhan dan hewan di Gede Pangrango.
“Walaupun Demikian, saya sangat menikmati keberadaan saya di sana, karena untuk pertama kalinya berada di tempat yang cukup tinggi di sebuah gunung yang terletak di dekat garis khatulistiwa. Saya mengamati peralihan flora dari daerah panas ke daerah beriklim sedang, kemudian membuat catatan singkat mengenai perubahan tersebut berdasarkan penelitian saya di Jawa,” cerita Alfred Russel Wallace dalam mahakaryanya Kepulauan Nusantara (2009).
Keindahan Gede Pangrango dari Batavia
Jejak keindahan Gede Pangrango tak cuma milik mereka yang mendaki saja. Mereka yang melihat dari jauh pun begitu. Utamanya, bagi mereka yang hidup di Batavia. Keterangan akan kemegahan Gede Pangrango sempat ditulis oleh Sardadu Belanda, H.C.C Clockener Brousson dalam buku Batavia Awal Abad 20 (2004). Keindahan Gede Pangrango menurutnya paling indah dinikmati pagi hari dari Lapangan Gambir alias Koningsplein --sekarang Monas.
“Di sebelah utara, kita dapat menikmati fajar menyinsing. Saat itu oog van de dag yang dalam bahasa Melayu disebut matahari, yang juga dinamakan Italiaansch van het Oosten (Italia dari Timur) menunjukkan sinar pertamanya membangunkan pantai. Sementara itu, matahari di puncak gunung Salak dan Gede mulai muncul. Lalu sinar matahari menerobos Koningsplein di antara rimbunan pohon-pohon tingginya yang setengah tidur untuk menyabut hari baru,” ungkap H.C.C Clockener Brousson.
Tokoh penting dalam penulisan sejarah Jakarta, Adolf Heuken SJ membenarkan hal itu. Adolf menuturkan dahulu dari Istana Rijswijk atau hotelnya para Gubernur Jenderal --sekarang Istana Negara-- pemandangan indah Gunung Gede Pangrango dapat terlihat dengan mata telanjang. Alasannya, karena pada saat itu udara belum begitu tercemar.
Orang-orang Eropa di Batavia begitu menikmati pemandangan Gede Pangrango dari Batavia. Pada saat matahari terbit, maupun saat matahari terbenang. Dengan melihat pemandangan itu, mereka kadang berselorong tak ada pulau seindah pulau Jawa. Yang mana, kaya akan sinar matahari, gunung indah, dan penuh warna-warna cerah. Karena itu, wajar sekelas Raffles dalam mahakarya The History of Java (1817), mengungkap Gede Pangrango menjadi gunung yang paling sering nikmati keindahannya dari jalanan kota Batavia.
“Gunung berikutnya adalah Salak, dimana sisi timurnya berbatasan dengan Gunung Gede atau Panarang’o, terletak 50 mil di selatan Batavia. Kedua gunung ini dapat dilihat dari jalan-jalan Batavia, dan berdasarkan penampakannya, para pelaut biasa menyebutnya dengan pegunungan biru,” tutup Raffles.