Cerita Rage Against the Machine Bela Rakyat Palestina
Rage Against The Machine saat tampil dalam festival musik Big Day Out 2008 di Melbourne, Australia. (Wikimedia Commons)

Bagikan:

JAKARTA - Amerika Serikat (AS) boleh tutup mata dengan kekerasan Israel terhadap Palestina. Namun, tidak bagi Rage Against the Machine (RATM). Band asal Los Angeles itu justru mendukung penuh perjuangan rakyat Palestina mendapatkan haknya. Hak atas tanah, hidup, dan kebebasannya.

Semangat itu dilanggengkan Zack de la Rocha, Tom Morello, Brad Wilk, dan Tim Commerfold supaya penjajahan di atas bumi dihapuskan. Langkah itu jadi wujud paripurna keberpihakan RATM pada kaum tertindas.

Keberpihakan kepada kaum tertindas bukan barang baru bagi RATM. Band yang kesohor dengan warna Hip Metal itu kerap terang-terangan menggabung urusan musik dengan politik. Musik bukan melulu dikenal sebagai medium hiburan, tapi juga juga jadi ajang membakar amarah melawan ketidakadilan.

Laku hidup itu dilanggengkan RATM kala menyusun demo albumnya yang pertama. Band yang terbentuk pada 1990 itu tengah membuat 12 lagu. Isinya bernarasi perlawanan. Dari soal ketimpangan sosial sampai perlawanan terhadap rasisme.

Potret Rage Against the Machine (RATM), dari kiri Tim Commerford (bas), Zack de la Rocha (vocal), Brad Wilk (drum), dan Tom Morello (gitar). (Wikimedia Commons)

Zack de la Rocha dan kawan-kawan memberikan nama albumnya senada dengan nama band: RATM. Narasi perlawanan ketidakadilan pun disegel dengan sampul album yang membawa nuansa perjuangan melawan penindasan.

Gambar itu adalah aksi biksu asal Vietnam, Thich Quang Duck yang membakar diri di jalanan Saigon pada 1963. Aksi bakar diri itu telah diketahui luas sebagai wujud protes kepada pemerintah setempat. Pemerintah Vietnam dianggap melanggengkan diskriminasi agama.

Album yang kemudian diedarkan secara mandiri merebut perhatian dunia dan label rekaman untuk pertama kalinya pada 1992. Penggemarnya bejibun. Pun lagu-lagu RATM mulai banyak digunakan untuk membakar semangat rakyat melawan pemimpin tirani.

Pekik perlawanan tak hanya dilantunkan lewat lagu. Zack dan kawan-kawan kerap hadir dalam tiap aksi demostrasi melawan kebijakan merugikan atau pemimpin zalim. Aktivitas itu membuat RATM semakin digemari banyak orang.

RATM jadi perwujudan dari kata bijak: hidup harus selaras antara tindakan dan perkataan. Mereka kemudian panen kesuksesan. Album barunya jadi buruan di seantero negeri. Album Evil Empire (1996), The Battle of Los Angeles (1999), hingga Renegades (2000). Sekalipun Zack memilih untuk keluar karena ketidaksamaan visi misi.

“Band yang terdiri atas Zack de la Rocha (vokal), Tom Morello (gitar), Brad Wilk (drum), dan Tim Commerfold (bass) ini muncul seiring dengan mulai redupnya gelombang grunge, yang menghebohkan dunia pada awal 1990-an. Empat anak muda dari Los Angeles ini punya sikap yang unik dibandingkan dengan band-band lainnya. Dari sisi musikalitas, mereka meletakkan musik yang mencampurkan berbagai bunyi, dari rock, metal, dan yang menarik: vokal Zack yang menyemburkan rap. Mereka disebut pula sebagai pelecut hip metal.”

“Dari sisi lirik, mereka lebih terdengar kiri. Dan mereka tidak cuma bicara. Mereka juga terlibat aktif dalam berbagai kegiatan politik, di antaranya membantu perjuangan Tentara Pembebasan Zapatista di Meksiko dan menentang hukuman mati terhadap pemimpin Black Panther, Mumia Abu-Jamal. Seperti dalam permainan sepak bola, mereka berada di posisi kiri dalam. Menusuk dengan paham kiri di dalam lautan kapitalisme,” terang Irfan Budiman dalam tulisannya di Koran Tempo berjudul Kembalinya Band Kiri Dalam (2007).

Dukung Palestina

Eksistensi RATM membela mereka yang ditindas terus berlanjut. RATM jadi pembela rakyat Palestina. Narasi itu karena serangkaian fakta bahwa Israel bertindak bak penjajah. Alih-alih hanya ingin menguasai wilayah Palestina, mereka juga melanggengkan kejahatan HAM – jika tak ingin disebut genosida-- dari tahun ke tahun.

Dukungan kepada Palestina dengan tegas dinyatakan RATM ketika konflik Israel-Palestina mencuat kembali di awal tahun 2021. Band yang melantunkan lagu Killing in the Name  itu tengah berencana melanggengkan konser reuni justru dibuat pusing dengan aksi Israel yang membabi buta menyerang rakyat Palestina.

Aksi Israel itu tak hanya dilanggengkan di satu tempat, tapi di tiga tempat berbeda. Dari Sheikh Jarrah, kompleks Masjid Al Aqsa, dan Gaza. Korban pun berjatuhan. Pun aksi itu didukung oleh AS. Narasi itu membuat RATM angkat bicara dengan mengecam Israel.

Mereka mengecam seluruh tindakan Israel terhadap rakyat Palestina lewat akun Twitter pada 12 Mei 2021. Tindakan Israel dianggap Zack dan kawan-kawan bak pemusnahan ras. Semuanya karena instrumen yang digunakan Israel adalah cara kerja kolonial.

Kekerasan itu membuat RATM mantap berada di sisi Palestina. Penjajahan di atas dunia harus dihapuskan. Apalagi, penjajahan Israel itu tak hanya menjadikan orang dewasa saja sebagai korban jiwa, tapi juga anak-anak.

“Kekerasan dan kekejaman yang kami saksikan di Sheikh Jarrah, kompleks Al Aqsa dan Gaza adalah kelanjutan dari puluhan tahun apartheid brutal Israel dan pendudukan kekerasan di Palestina. Kami berdiri bersama rakyat Palestina saat mereka melawan teror kolonial dalam segala bentuknya #Bebaskan palestina,”celoteh RATM dalam akun twitter @RATMofficial, 12 Mei 2021.