Bagikan:

JAKARTA - Starbucks kerap dianggap sebagai salah satu pelopor kedai kopi modern. Alih-alih hanya menjual kopi dan teh berkualitas, Starbucks jadi pelopor hadirnya kedai kopi bak rumah kedua. Pelanggang bisa bersantai dan bersosialisasi di seluruh jaringan waralaba Starbucks.

Konsep itu membawa Starbucks kian berkembang di seluruh dunia. Ditiru pula. Nyatanya, tak semua negara menerima kehadiran Starbucks. Israel, misalnya. Kehadiran Starbucks tak mendapat sambutan meriah. Kedainya sepi hingga bangkrut.

Kecintaan akan suatu hal kerap berbuah manis. Narasi itu dibuktikan oleh tiga orang: sahabat Jerry Baldwin, Gordon Bowker, dan Zev Siegl. Ketiganya sama-sama menyukai teh dan kopi. Kecintaan pada teh dan kopi kemudian menuntun mereka jadi pebisnis.

Impian mendirikan toko kopi pun digoreskan. Pucuk dicinta ulam tiba. Mereka membuka toko kopi pertamanya di Seattle, Washington, Amerika Serikat (AS) pada 1971. Toko kopinya dinamakan Starbucks. Suatu nama yang diambil dari buku karya penulis kesohor, Herman Melville, Moby Dick (1851).

Potret putri duyung bertelanjang dada yang jadi identitas andalan kedai kopi Starbucks. (Wikimedia Commons)

Mereka pun menjadikan gambar putri duyung bertelanjang dada berwarna hitam (kini: didominasi warna hijau) sebagai identitas dan logo Starbucks. Warga Seattle mudah mengenali logo itu. Hasilnya gemilang. Kehadiran Starbucks mendapatkan sambutan yang meriah.

Saban hari kedai itu didatangi banyak orang untuk membeli biji kopi berkualitas dari berbagai belahan dunia. Sekalipun toko kopi itu jauh dari sempurna. Toko itu hanya menjual biji kopi dan peralatan pengelolaan kopi saja. Bukan tempat untuk melepas penat dan bersantai sambil menyeduh kopi.

Pamor toko kopi Starbucks kian berkembang. Mereka membuka cabang baru. Bahkan, ketiga pebisnis itu menerima banyak pegawai baru untuk tokonya. Howard Schultz yang notabene seorang sales salah satunya. Schultz diterima sebagai kepala pemasaran Starbucks pada 1982. Kehadiran Schultz banyak membawa perubahan. Namun, tak semua ide Schultz diaplikasikan pemilik Starbucks.

Schultz yang baru mengunjungi Italia telah mempelajari budaya kopi setempat. Ia melihat Starbucks harusnya berkembang bukan cuma jualan biji kopi dan teh saja. Starbucks harus menjelma jadi kedai kopi modern.

Suatu tempat pelanggan dapat menikmati seduhan kopi sembari bekerja hingga bersantai. Ide itu ditolak pendiri Starbucks. Schultz kemudian meninggalkan Starbucks pada 1985 dan membangun kedai kopinya sendiri Il Giornale.

Namun, kecintaannya terhadap Starbucks tak pernah luntur. Schultz justru berambisi membeli Starbucks dan mengubahnya jadi kedai kopi modern. Semua itu memungkinkan karena Schultz memiliki jaringan dan rekan investor yang banyak. Impian itu akhirnya jadi nyata. 

”Tahun berikutnya Schultz membuka kedai kopi miliknya sendiri, yang diberi nama Il Giornale yang diambil dari nama salah satu surat kabar Milan, Italia. Dua tahun setelah itu, ia menemukan cukup banyak investor untuk mewujudkan mimpinya membeli Starbucks. Ia pun kemudian mengisi posisi sebagai CEO. Schultz lalu menjalankan misi Milanifikasi (merujuk budaya kopi kota Milan) dengan sungguh-sungguh. Pertama di Seattle, lalu Amerika Serikat, kemudian dunia,” terang Colin Marshall dalam tulisannya di laman The Guardian berjudul The First Starbucks Coffee Shop, Seattle (2015).

Gagal Total di Israel

Kehadiran Schultz sebagai otak dari kedai kopi modern jadi penanda kejayaan Starbucks. Kedai kopi itu kian digemari pecinta kopi di seantero dunia. Gairah kesuksesan membuat Schultz mulai melanggengkan ekspansi Starbucks ke seantero dunia pada 1990-an.

Hasilnya gemilang. Starbucks mampu bersaing dengan kedai kopi lokal. Apalagi, Starbucks mampu menyesuaikan diri dengan selera lokal. Narasi itu membuat ekspansi Starbucks terus berlanjut hingga mencapai puluhan ribu kedai kopi era 2000-an.

Prestasi Schultz membawa narasi tiada negara yang mampu menolak kehadiran Starbucks. Nyatanya, anggapan itu salah besar. Starbucks justru gagal total di Israel. Suatu negeri yang notabene satu etnis dengan Schultz.

Mulanya kehadiran Stackbucks pertama di Israel diprediksi diserbu pembeli pada 2001. Optimisme tinggi itu diikuti dengan rencana Starbucks yang ingin membuka hingga puluhan kedai kopi di Israel. Fakta justru berkata lain. Starbucks justru tak mampu merebut hati rakyat Israel.

Saban hari kedainya – enam kedai—sepi bak kuburan. Tiada keriuhan dari dalam kedainya. Kondisi itu membuat penjualan kopi tak laku dan merugi. Schultz dianggap salah membaca peta bisnis di Israel. Starbucks justru dianggap rendah, sampai-sampai tak dapat bersaing dengan sekelas kedai kopi lokal.

Logo Starbucks Israel. (Wikimedia Commons)

Rakyat Israel pun menganggap kopi yang dijual Starbucks berkualitas rendah dan tak enak. Narasi itu membuat eksistensi Starbucks di Israel berada di ujung tanduk. Starbucks pun menderita kegagalan karena bangkrut. Seluruh kedai kopinya pun gulung tikar pada 2003. Schultz, bahkan hingga saat ini sampai tak memiliki niatan untuk merebut pasar Israel kembali.

“Dalam hal ini, Starbucks gagal membaca pasar Israel dengan tepat, khususnya dalam hal karakteristik pelanggan lokal. Starbucks gagal mengenali perilaku konsumsi pelanggan Israel. Selain itu, pengelola senior kurang berpengalaman dalam mengelola rantai kedai kopi.”

“Banyak pelanggan tidak suka rasa produk Starbucks dan menganggapnya sebagai kualitas rendah, dibandingkan dengan merek lokal Israel. Faktor penting lainnya, yang membuat Starbucks buruk melakukan bisnis, adalah bahwa pesaing lokal sudah siap ketika Starbucks memasuki pasar dan kedai kopi lokal itu berhasil meningkatkan bisnis mereka 'kehadiran dengan menawarkan produk baru dan membuka lokasi baru,” ungkap Mario Glowik dalam buku Global Strategy in the Service Industries (2017).