JAKARTA - Raksasa ritel di Kawasan Teluk Teluk AlShaya Group, yang memiliki hak untuk mengoperasikan gerai Starbucks di Timur Tengah dan Afrika Utara (MENA), berencana memberhentikan lebih dari 2.000 pekerja, lantaran bisnis mereka menderita akibat boikot konsumen terkait dengan perang di Jalur Gaza.
Pengurangan tersebut, yang dimulai pada Hari Minggu, berjumlah sekitar 4 persen dari total tenaga kerja AlShaya yang berjumlah hampir 50.000 orang. Sebagian besar terkonsentrasi di waralaba Starbucks di Timur Tengah dan Afrika Utara, kata seseorang yang menolak disebutkan namanya, dikutip dari Reuters 6 Maret.
Salah satu sumber yang mengetahui hal ini mengatakan, boikot tersebut telah menyebabkan kondisi perdagangan yang sulit bagi perusahaan.
"Sebagai akibat dari kondisi perdagangan yang terus menantang selama enam bulan terakhir, kami telah mengambil keputusan yang menyedihkan dan sangat sulit untuk mengurangi jumlah rekan kerja di toko Starbucks MENA kami," kata AlShaya dalam sebuah pernyataan, tanpa mengonfirmasi jumlah karyawan yang diberhentikan.
AlShaya mengatakan pihaknya akan mendukung pekerjanya yang meninggalkan bisnis tersebut dan tetap berkomitmen terhadap wilayah tersebut.
"Pikiran kami tertuju pada mitra green apron yang akan pergi, dan kami ingin berterima kasih atas kontribusi mereka," kata juru bicara Starbucks kepada Reuters.
"Starbucks tetap berkomitmen untuk bekerja sama dengan AlShaya untuk mendorong pertumbuhan jangka panjang di wilayah penting ini," tambah juru bicara Starbucks.
Baik AlShaya Group maupun sumbernya tidak menyebutkan berapa banyak staf yang dipekerjakan grup tersebut di operasional Starbucks.
Didirikan pada tahun 1890 di Kuwait, AlShaya adalah salah satu pewaralaba ritel terbesar di kawasan tersebut yang memiliki hak untuk menjalankan bisnis merek-merek Barat yang populer, termasuk The Cheesecake Factory dan Shake Shack.
Perusahaan ini memiliki hak untuk mengoperasikan kedai kopi Starbucks di Timur Tengah sejak tahun 1999. Unit Starbucks menjalankan sekitar 2.000 gerai di 13 negara yang tersebar di Timur Tengah dan Afrika Utara, serta Asia Tengah.
Diketahui, merk-merk Barat telah terkena dampak dari kampanye boikot yang sebagian besar terjadi secara spontan atas serangan militer Israel di Jalur Gaza, Palestina.
BACA JUGA:
Setelah boikot tersebut, Starbucks pada Bulan Oktober menyatakan mereka adalah organisasi non-politik dan menepis rumor telah memberikan dukungan kepada pemerintah atau tentara Israel.
Starbucks mengatakan pada Bulan Januari bahwa perang Israel-Hamas telah merugikan bisnisnya di wilayah tersebut, karena tidak memenuhi ekspektasi pasar terhadap hasil kuartal pertama.
Dikatakan bahwa penjualan terkena dampak signifikan akibat konflik di Timur Tengah dan Amerika Serikat, ketika beberapa konsumen melancarkan protes dan kampanye boikot yang meminta perusahaan untuk mengambil sikap terhadap masalah ini.