JAKARTA – Memori hari ini, 15 tahun yang lalu, 16 Maret 2008, Mantan Menteri Pertahanan (Menhan), Mahfud MD terpillih sebagai Hakim Konstitusi Indonesia. Pemilihan Mahfud didasari oleh kapasitasnya yang sudah teruji di bidang hukum. Mahfud merasa mengabdi sebagai hakim konstitusi lebih baik dibanding jadi anggota DPR.
Baginya, jabatan sebagai anggota DPR banyak membuang waktu. Bahasan yang diangkat kala sidang jauh dari masalah yang bahas. Ia pun menyetujui pendapat Gus Dur bahwa DPR bak taman kanak-kanak.
Eksistensi Mahfud sebagai pejabat negara banyak bermula di masa Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Kepemimpinan Gus Dur membuat Mahfud yang berada di Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) ikut mengorbit.
Ia diangkat Gus Dur sebagai menteri dua kali. Pertama sebagai Menhan. Kedua, sebagai Menteri kehakiman dan HAM. Jabatan itu dijalaninya dengan baik. Ia jadi figur yang lurus nan berintegritas. Kariernya sebagai menteri pun berakhir kala Gus Dur lengser sebagai Presiden Indonesia.
Mahfud tak tinggal diam. Ia ingin terus mengabdikan diri bagi bangsa dan negara. Ia pun mencoba bidang baru dalam kariernya. Pilihannya jatuh kepada anggota DPR (2004-2008). Ia melihat peran DPR begitu besar bagi keberlangsungan hajat hidup bangsa Indonesia.
Ia meminta restu petinggi PKB, Gus Dur. Namun, Gus Dur mengingatkan Mahfud bahwa ilmu yang dimilikinya akan percuma jika salurkan di DPR. Gus Dur malah menyarankan Mahfud untuk masuk ke Mahkamah Agung.
Mahfud pun memilih untuk mencoba menjadi anggota DPR terlebih dahulu dan Gus Dur mengizinkan. Sekalipun Mahfud kemudian setuju dengan Gus Dur bahwa DPR tak ubahnya sebagai taman kanak-kanak.
“Ketika benar-benar terpilih sebagai anggota DPR, saya mempersiapkan diri dengan serius. Buku-buku tentang parlemen, proses legislasi, teknik berargumen, teori konstitusi, dan perundang-undangan, saya siapkan untuk berlaga di DPR. Tetapi, begitu dilantik dan mulai ikut dalam sidang-sidang DPR, saya agak ‘shocked’ karena apa yang pernah dikatakan Gus Dur bahwa DPR seperti "taman kanak-kanak" mulai terasa.”
“Buku-buku bermutu yang saya siapkan untuk berlaga di DPR tidak ada gunanya, karena tidak diperlukan di sana. Pada harihari pertama sidang DPR, saya punya kesan bahwa yang diperlukan adalah keahlian celometan, rebutan ngomong tanpa arah melalui interupsi yang salah kaprah. Bayangkan, sidang baru dibuka dan pimpinan baru memberikan pengantar, sudah muncul teriakan-teriakan interupsi,” ungkap Mahfud dalam buku Gus Dur: Islam, politik, dan Kebangsaan (2010).
Kariernya di DPR pun tamat kala ia mulai mengikuti uji kelayakan dan kepatuhan calon hakim konstitusi. Ia mampu unggul dalam pemilihan calon hakim konstitusi yang dipilih segenap fraksi partai. Alhasil, Mahfud terpilih sebagai hakim konstitusi pada 16 Maret 2008.
Mahfud pun baru dilantik oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Istana Negara sebagai hakim konstitusi pada 1 April 2008. Prosesi itu membuat Mahfud MD meninggalkan DPR dan masuk ke dalam dunia yang digemarinya. Ia pun memiliki wewenang Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman.
“Pada 16 Maret 2008, Mahfud terpilih sebagai Hakim Konstitusi. Tak lama, pada 19 Agustus di tahun yang sama, ia menggantikan Jimly Asshidigie sebagai Ketua MK. Di MK, Mahfud seperti menemukan kembali dunianya. Ia mengungkap: Saya mendapat kepuasan batin sebagai hakim konstitusi. Saat di DPR semua argumentasi saya dalam pembahasan masalah tertentu menguap begitu saja. Jadi bukan masalah materi lagi,” tertulis dalam buku Petarung Politik (2014).