Bagikan:

JAKARTA – Memori hari ini, 22 tahun yang lalu, 7 Februari 2001, Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) memecat Yusril Ihza Mahendra dari jabatannya sebagai Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia (Menkeh HAM). Pemecatan itu dilakukan karena Gus Dur tak sepaham lagi dengan Yusril.

Sebelumnya, kepemimpinan Gus Dur kerap dikritik banyak pihak. Kontroversi itu bermulai dari keingan Gus Dur menghapus Tap MPRS No. XXV/1966 dan membubarkan MPR/DPR. Gus Dur pun terkena imbasnya. Ia lengser dari kursi kepresidenan.

Kepemimpinan Gus Dur penuh dengan dinamika. Ia jadi orang nomor satu Indonesia yang berani meminta maaf atas kekejaman pembantaian simpatisan Partai Komunisme Indonesia (PKI) pada 1965-1966. Ia menyebut tak seharusnya dosa pemberontakan Gerakan 30 September (G30S) ditanggung orang banyak.

Baginya, semua orang yang dituduh sebagai komunis belum tentu bersalah dan harus dihukum mati. Kalaupun mau menghukum maka harus melalui prosedur yang jelas untuk membuktikan. Jikalau tidak ada, maka sudah waktunya untuk segera meminta maaf kepada keluarga korban.

Sebagai bentuk keseriusan, Gus Dur ikut mengusulkan bahwa Tap MPRS No. XXV/1966 soal pembubaran PKI dan pelarangan penyebaran ajaran marxisme, komunisme, dan leninisme segera dicabut. Pencabutan itu supaya pemerintah tak dianggap berdiri untuk satu kelompok masyarakat saja.

Dari kiri: Nurcholish Madjid, Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Emha Ainun Nadjib, dan Yusril Ihza Mahendra dalam diskusi buku Islam Demokrasi Atas Bawah di Jakarta tahun 1998. (Wikimedia Commons)

Gus Dur ingin memberikan sebuah pesan bahwa dirinya berdiri untuk semua golongan. Tiada pembeda. Keberanian Gus Dur diapresiasi banyak pihak. Gus Dur dianggap sebagai pemimpin yang mampu berpikir jauh melampau zaman.

“Dengan meminta maaf, Gus Dur juga membongkar belenggu takhayul selama. hampir seperempat abad: bahwa tiap orang PKI, juga tiap anak, istri, suaminya, layak dibunuh atau disingkirkan. Gus Dur mencampakkan sebuah sikap yang tak mau bertanya lagi: adilkah yang terjadi sejak 1965 itu? Seandainya pun pimpinan PKI bersalah besar pada tahun 1965, toh tetap amat lalim hukuman yang dikenakan kepada tiap orang, juga sanak keluarganya, yang terpaut biarpun tak langsung dengan partai itu.”

“Kita ingat kekejaman purba: sebuah kota dikalahkan dan setiap warganya dibantai atau diperbudak. Gus Dur agaknya tak menginginkan kezaliman itu. la, sebagai presiden, membiarkan dirinya dipotret duduk mesra dekat Iba, putri D.N. Aidit, yang hampir seumur hidupnya jadi pelarian yang tanpa paspor di Eropa. Dalam adegan itu ada gugatan: bersalahkah Iba hanya karena ia anak Ketua PKI? Jawaban Gus Dur: tidak,” ungkap Goenawan Mohamad dalam buku Setelah Revolusi Tak Ada Lagi (2001).

Namun, langkah Gus Dur mendapatkan protes dari kalangan pejabatnya sendiri. Yusril Ihza Mahendra, utamanya. Ia yang sehari-hari membantu Gus Dur sebagai Menkeh HAM merasa tindakan itu kelewat batas.

Lebih lagi, Gus Dur ingin mengeluarkan Dekrit Presiden tentang pembubaran DPR/MPR. Alih-alih mendukung, Yusril justru menyarankan Gus Dur untuk mengundurkan diri saja dari kursi kepresidenan.

Yusril Ihza Mahendra dan Gus Dur. (Istimewa)

Langkah itu dianggap Yusril supaya kekacauan politik tak terjadi. Namun, usulannya dianggap kurang elok oleh Gus Dur. Imbasnya ke mana-mana. Gus Dur menganggap dirinya dan Yusril sudah tak sejalan lagi. Bapak Pluralisme itu memecat Yusril pada 7 Februari 2001. Pemecatan Yusril menjadi penanda kesekian kali kepemimpinan Gus Dur akan segera tutup buku.

“Ada dua poin pada waktu itu, saya agak berselisih jalan dengan Presiden Gus Dur. Saya menyampaikan dengan cara-cara baik sebetulnya, yaitu keingin beliau untuk menghapuskan Tap MPRS No. XXV/1966. Yaitu tentang larangan komunisme, leninisme, marxisme.”

“Kedua, keinginan beliau untuk berlakukan dekrit membubarkan MPR/DPR. Itu semuanya karena sudah ada proses yang dilakukan sebelumnya dengan nama memorandum DPR kepada MPR untuk meminta pertanggung jawaban presiden. Semua karena dampak kasus Buloggate, kasus Brunei, dan kasus macam-macam begitu. Nah, saya mengatakan sebaiknya dalam keadaan begini lebih baik Pak Presiden mengundurkan diri. Di situlah mulai selisihnya begitu,” ungkap Yusril Ihza Mahendra, dalam acara Alvin and Friends di Youtube The Prime Show, 29 Juli 2019.