Gerakan Bali Tolak Reklamasi Mengemuka, 25 Agustus 2014
Gerakan Bali Tolak Reklamasi yang dimulai pada 25 Agustus 2014, yang menentang rencana reklamasi Teluk Benoa dengan tujuan menjadikannya kawasan bisnis. (Antara)

Bagikan:

JAKARTA - Hari ini, delapan tahun yang lalu, 25 Agustus 2014, Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia (KKP), Sharif Cicip Sutarjo mengeluarkan izin reklamasi (membuka daratan baru) Teluk Benoa kepada Tirta Wahana Bali Internasional (TWBI). Izin reklamasi diberikan dengan jangka waktu dua tahun.Namun, segenap masyarakat Bali menolak agenda reklamasi. Gerakan Bali Tolak Reklamasi (BTR) jadi corong utama perlawanan masyarakat Bali.

Romantisme akan manfaat dari reklamasi telah tersiar kemana-mana. Reklamasi tak melulu dianggap sebagai juru selamat ketiadaan lahan untuk pembangunan. Reklamasi diperuntukkan untuk menata kawasan supaya lebih baik. Pun reklamasi jadi andalan warga sekitar dalam memperbaiki ekonomi keluarga.

Boleh jadi sederet narasi itu membuat pemerintah Indonesia menggulirkan aturan kontroversial. Status Teluk Benoa sebagai kawasan konservasi ingin digoyang. Kawasan yang harusnya dirawat dan dipelihara menjadi kawasan yang siap untuk direklamasi. Itulah yang tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) No. 51 tahun 2014.

Kehadiran Perpres No. 51 tahun 2014 digadang-gadang untuk memuluskan agenda pengusaha melancarkan pembangunan fasilitas bisnis di kawasan Teluk Benoa. Dari hotel hingga pusat hiburan. Kehadiran Perpres itu membuat Menteri KKP, Sharif Cicip Sutarjo mengeluarkan izin reklamasi Teluk Benoa kepada kepada TWBI pada 24 Agustus 2014.

Aksi Bali Tolak Reklamasi. (forbali.org)

Izin reklamasi itu berlaku dua tahun. Alias sampai 26 Agustus 2016 (kemudian: direvisi kembali menjadi pertengahan 2018). Agenda reklamasi itu dielu-elukan membawa misi mulia. Sebuah agenda yang mengangkat hajat hidup orang banyak.

“Izin lokasi reklamasi ini diterbitkan oleh Menteri Kelautan dan Perikanan saat itu yaitu Sharif Cicip Sutarjo pasca terbitnya Perpres Nomor 51 Tahun 2014 yang diterbitkan oleh Presiden RI kala itu, yakni Susilo Bambang Yudhoyono.”

“Izin lokasi reklamasi Teluk Benoa yang dipegang PT. TWBI saat ini, masa berlakunya hingga 25 Agustus 2016. Setelah melewati perpanjangan pada tahun 2016 silam yang sempat diperpanjang oleh menteri Susi Pudjiastuti, izin lokasi reklamasi Teluk Benoa berlaku hingga 25 Agustus 2018,” tertulis dalam laman ForBali.

Izin reklamasi disambut dengan penolakan oleh segenap warga Bali. Gerakan BTR menggelora. Gerakan itu dikomandani oleh LSM ForBali dan Wahana Lingkungan Indonesia (WALHI). Mereka yang berpartisipasi dalam gerakan dari berbagai macam lapisan masyarakat. Antara lain tokoh budaya, adat, agama, seniman, akademisi, hingga mahasiswa.

Serangkaian aksi kreatif dan turun ke jalan dilakukan. Aksi itu dilakoni supaya empunya kekuasaan segera mengembalikan kawasan Teluk Benoa sebagai kawasan konservasi seperti sedia kala. Semua dilakukan dalam rangka melawan kapitalisasi daerah pesisir Teluk Benoa. Karenanya, BTR jadi salah satu gerakan massa terbesar yang pernah ada.

Atraksi Tari Kecak dalam aksi Bali Tolak Reklamasi. (forbali.org)

“Selain terkenal dengan adat budaya serta sektor pariwisatanya, Bali juga dikenal karena keindahan ekosistem laut dan pesisirnya hingga ke mancanegara. Berdasarkan kearifan lokal yang diwariskan secara turun-temurun, ada kewajiban bagi seluruh masyarakat Bali untuk menjaga ekosistem laut dan pesisir.”

“Oleh karena itu, pengabaian terhadap ekosistem pesisir akan mengakibatkan bencana karena ekosistem pesisir dan laut itu terhubung dengan keberadaan pura dan ritual agama Hindu. Jika ekosistem pesisir direklamasi, keberadaan pura-pura itu akan ikut musnah dan akan musnah pula kearifan lokal masyarakat Bali serta kearifan agamanya,” ungkap salah satu penggerak BTR, I Wayan “Gendo” Suardana dalam kata pengantarnya pada buku Kearifan Lokal dan Gerakan Tolak Reklamasi Teluk Benoa (2021).