JAKARTA - Penjajahan Belanda tak melulu bercerita masalah rasisme dan ketidakadilan. Banyak dinamika lainnya dari kuasa Belanda atas tanah Nusantara. Akulturasi budaya, salah satunya sebagai cara mendekati kaum bumiputra. Kaum bumiputra terinspirasi dengan orang Belanda. Begitu pula sebaliknya. Salah satu yang dilakukan adalah percaya praktik dukun.
Banyak di antara budaya kaum bumiputra diadaptasinya tanpa malu. Mereka gemar makan nasi, tidur siang, bantal guling, hingga memakai pakaian ala bumiputra. Percaya dukun dan hal gaib apalagi. Orang-orang menyebutnya sebagai gaya hidup Indis.
Rencana penjajah Belanda membuat negeri koloni yang bermoral berantakan. Keputusan para pemegang saham maskapai dagang Belanda VOC, Heeren Zeventien ada di baliknya. Mereka tak mau peduli kehidupan di negeri koloni.
Satu-satunya yang mereka pikirkan adalah keuntungan. Heeren Zeventien pun mengirimkan orang Belanda golongan bawah, miskin, dan Protestan bekerja untuk VOC. Mereka didominasi oleh kaum laki-laki. Wanita kadang tak termasuk di dalamnya. Karenanya, Batavia (kini: Jakarta) kekurangan wanita Belanda.
Kekurangan wanita Belanda berdampak besar. Hasrat seksual orang Belanda perlu disalurkan. Pergundikan jadi opsi yang paling banyak dipilih. Sekalipun dilarang keras VOC. Praktek asusila dalam lingkup hubungan di luar pernikahan antara tuan Belanda dan wanita budak pun menjamur. Mereka hidup bersama. Yang membedakannya hanya tiada status pernikahan di antara mereka.
Kemudian, banyak lahir anak-anak Indo-Belanda. Anak-anak itu banyak mengadopsi dua budaya, budaya dari bapak dan ibu. Akulturasi pun terjadi. Orang Belanda merasa tak malu mengaplikasi kebudayaan dari gundiknya. Begitulah sebaliknya.
“Pada masa ‘tempo doeloe’ dikisahkan bahwa orang-orang Belanda tidak merasa malu untuk beradaptasi dengan lingkungan sekitarnya serta mengikuti adat dan kebiasaan rakyat bumiputra. Mereka suka mendengarkan gamelan, percaya kepada dukun dan ilmu gaib, gemar sekali dipijat jika sedang capai.”
“Kaum pria mengenakan celana panjang berkain motif batik dan berbaju potongan Tionghoa (baju takwa). sedangkan kaum perempuannya bersarung kebaya. Semua itu adalah beberapa wujud dari pengaruh iklim dan lingkungan Pribumi terhadap kehidupan orang-orang Eropa. Lapisan atas yang terdiri dari para pejabat tinggi dan saudagar kaya pun tidak luput hidup dalam gaya hidup Indis,” ungkap Fadly Rahman dalam buku Rijsttafel: Budaya Kuliner di Indonesia masa Kolonial 1870-1942 (2016).
Kebudayaan Indis
Perlahan-lahan akulturasi budaya bukan suatu hal yang tabu. Dalam rumah tangga orang Belanda adalah hal yang lumrah mengadopsi tindak-tanduk kehidupan kaum bumiputra. Mereka menyebutkan sebagai kebudayaan Indis.
Adopsi itu menyangkut kepada segala hal. Antara lain bangunan, perabotan, makanan, bahasa, musik, hingga bantal guling. Bersaman dengan itu, kepercayaan orang Belanda terhadap hal gaib dan dukun meningkat. Kepercayaan itu tak melulu muncul di era VOC, tetapi juga di era pemerintah kolonial Hindia-Belanda.
Eksistensi peran dukun bagi kaum bumiputra begitu besar. Ia mampu menjelma sebagai apa saja. Kadang kala juru selamat. Kadang pula sebagai perantara meraih kesuksesan. Praktek itu diikuti pula oleh orang Belanda. Santer terdengar kebencian kaum bumiputra terhadap orang Belanda, konon membuat mereka gelap mata dengan mengirim santet kepada kaum penjajah.
Banyak di antara orang Belanda merasa tak berdaya melawan kekuatan gaib. Maka dari itu, mereka pun ikut melawan kekuatan gaib dengan meminjam tenaga dukun. Ada pula kekuatan dukun digunakan untuk mencari kelompok yang berbahaya. Minta keturunan, apalagi.
Mereka pun melakukan ritual yang diminta layaknya kaum bumiputra. Tiada pembeda. Bahkan, beberapa di antaranya percaya kepada suatu benda keramat memiliki kekuatan besar. Menyembah meriam Si Jagur, misalnya. Kisah-kisah orang Belanda percaya kepada dukun tak lupa diabadikan oleh pelancong dan sastrawan yang datang ke Batavia.
“Para sastrawan menceritakan kepercayaan tentang hal-hal gaib, tentang jin-setan, tenung, teluh, obat-obatan yang dapat menimbulkan jatuh cinta dan sebagainya. Hal-hak tersebut diyakini kebenarannya oleh sebagian masyarakat pendukung kebudayaan Indis.”
“Tentang Nyonya Krom yang pandai membuat sirop asam di Pasuruan serta Nyonya Klopperburg yang ahli meracik jamu-jamu Jawa, sangat tersohor jauh sebelum pabrik jamu cap Djago dan jamu cap Nyonya Meneer tumbuh dan terkenal. Bahkan, Nyonya Catenius van der Meyden menulis buku bagi para nyonya yang datang dari negeri Belanda atau nyonya Indo yang tinggal di berbagai pelosok terpencil di Pulau Jawa,” cerita Djoko Soekiman dalam buku Kebudayaan Indis: Dari Zaman Kompeni sampai Revolusi (2014).