Bagikan:

JAKARTA - Indonesia barangkali adalah bangsa peminum susu. Soekarno sampai memasukkan sapi ke dalam kampanye empat sehat lima sempurna yang masyhur. Tapi kesukaan kita minum susu sapi nyatanya ditulari oleh para penjajah Belanda. Seperti apa kisahnya?

Sejarah mencatat budaya minum susu, khususnya sapi sejatinya bukan kebiasaan khas Indonesia. Kaum bumiputra bahkan sempat amat membenci susu sapi. Susu sapi dianggap sebagai minuman menjijikan karena dianggap darah putih dari hewan berkaki empat itu.

Dan meski populasi sapi begitu besar, membentang rata dari timur ke barat Nusantara, kaum bumiputra awalnya tak melihat manfaat sapi sebagai penghasil susu. Sapi kala itu hanya dimanfaatkan untuk dua hal: membajak sawah dan sebagai hewan potong dalam hajatan atau perayaan tertentu.

Budaya minum susu datang bersama penjajah Belanda. Seiring waktu budaya itu menular melalui para bangsawan dan priayi yang mulai mulai mengonsumsi susu. Letnan Gubernur Hindia-Belanda, Thomas Stamford Raffles (1811-1816) mengamini hal itu.

Serdadu Belanda menikmati susu (Sumber: Wikimedia Commons)

Raffles yang dikenal banyak meneliti kehidupan Nusantara menyimpulkan susu sapi tak pernah dikonsumsi kaum bumiputra di masa lampau. Analisisnya berpegang pada fakta bahwa sebagian besar kaum bumiputra masa lampau beragama Hindu.

“Pemerahan susu tidak lazim dilakukan penduduk, karenanya tidak banyak susu yang dihasilkan dari ternak dan juga jarang dikonsumsi oleh penduduk. Keadaan ini disebabkan karena mereka dulunya beragama Hindu."

"Jika mereka diperkenalkan (lebih awal) dengan manfaat susu, bisa dipastikan akan banyak produksi susu yang dihasilkan dengan mutu yang tidak berbeda dengan tempat lain,” ujar Thomas Stamford Raffles dalam mahakaryanya, The History of Java (1817).

Selain itu, sebagaimana disinggung di atas, bumiputra menganggap susu sebagai darah putih sapi. Susu sama dengan darah. Bahkan disamakan dengan nanah. Susu pun dianggap minuman menjijikkan. Minimnya info terkait manfaat susu menambah stigma susu.

“Sehingga ketika orang-orang Jawa melihat orang-orang Eropa minum susu, mereka menganggap minuman itu adalah minuman yang menjijikkan,” kata sejarawan, Fadly Rahman dikutip Kompas.com.

Orang Eropa pun jadi generasi pertama yang melanggengkan masuknya susu di Nusantara. Sebagai penjajah, mereka membawa serta budaya Eropa dan menyebar ke seluruh negeri. Budaya minum susu, salah satunya. Agenda menulari budaya minum susu itu serius digarap Belanda.

Salah satu alasannya karena rendahnya kualitas susu yang dihasilkan sapi-sapi Nusantara. Cara awal yang dilakukan Belanda adalah dengan memulai impor sapi perah berkualitas dari India, Belanda, Jerman, dan Australia pada abad ke-19 dan 20.

Bumiputra ketularan doyan susu

Upaya mendatangkan sapi perah itu membukakan jalan bagi kaum bumiputra untuk mulai menikmati susu sapi. Kehadiran budaya minum susu itu akhirnya ditiru oleh kaum bumiputra.

Akan tetapi mereka yang menikmati susu masih terbatas pada kalangan bangsawan dan priayi. Mereka jadi kalangan yang terinformasikan soal manfaat susu. Susu kala itu santer sebagai minuman sehat penuh gizi.

Kepopuleran susu semakin meningkat seiring promosi dan iklan manfaat susu yang disebar orang-orang Eropa di ragam medium, termasuk surat kabar. Majunya industri periklanan turut membawa susu makin diterima oleh banyak kalangan di Hindia-Belanda pada abad ke-19 hingga awal abad ke-20.

Kaum bumiputra mengonsumsi susu (Sumber: Commons Wikimedia)

Mereka bahkan mulai menyebut susu sebagai bagian tak terpisahkan dari makanan yang mampu mencukupi kebutuhan gizi sehari-hari. “Lihat saja serbuk cuci Sunlight, obat mata Rohto, bumbu masak Vetsin, mentega Blue Band, ban mobil Dunlop, oli mobil Texaco, susu cap Nona, cokelat Van Houten, lampu bohlam Philips, minyak rambut Brylcreem, ternyata iklannya sudah ada semenjak zaman itu."

"Kita juga bisa membayangkan pada zaman itu kita sudah menjadi sasaran beraneka merek yang kini tak lagi bertahan. Bir, misalnya, ada berbagai macam. Lihatlah ada merek Java-Bier. Juga obat njamoek. Lihatlah, ada merek Tjap Ajam,” imbuh Seno Joko Suyono dalam buku Nostalgia Advertising Batavia (2011).

Kemunculan perternakan sapi perah

Bersamaan dengan gencarnya iklan, peternakan sapi perah mulai banyak muncul. Bandung Selatan dipilih Belanda sebagai salah satu sentra peternakan sapi perah. Haryoto Kunto, yang sering disebut kuncen sejarah Bandung tempo dulu menjelaskan betapa masifnya Belanda mendatangkan sapi ke Bandung dalam buku Wajah Bandoeng Tempo Doeloe (1984).

Di Pengalengan, misalnya. Peternakan sapi perah di kawasan itu hampir seluruhnya berbendera Belanda. Sebut saja De Friesche Terp, Almanak, Van Der Els dan Big Man. Lantaran itu peternakan sapi perah di Pengalengan dijuluki Friesland in Indie (Friesland-nya Hindia-Belanda).

Nama Friesland sendiri diambil dari kawasan sapi perah populer di Belanda. Lebih lagi, kepopuleran susu lalu membuat usaha perternakan sapi perah orang Belanda menjadi bisnis yang menjanjikan pada zamannya.

“Perusahaan susu hampir seluruhnya berada di tangan bangsa Eropa. Hanya di beberapa tempat pemerahan susu skala kecil dikelola oleh bangsa Cina. Masyarakat pribumi hampir tidak pernah turut campur dalam industri pemerahan susu sapi ini."

Bumiputra meminum susu (Sumber: Wikimedia Commons)

"Sapi yang diorientasikan sebagai sapi perah di Hindia Belanda adalah kebanyakan merupakan sapi keturunan (Belanda) dan sapi Australia, keturunan campuran antara sapi tersebut dan di beberapa tempat jenis sapi Bengal juga ditelah dikembangkan sebagai sapi perah,” cerita J. Stroomberg dalam buku Hindia-Belanda 1930 (2018).

Dalam masa itu kaum bumiputra nyatanya turut terlibat sebagai pelaku industri rumahan susu sapi. Buktinya dapat dilihat dari menjamurnya peternakan sapi perah di wilayah Batavia (Jakarta), terutama di Condet dan Kuningan. Berliter-liter susu itu dihasilkan langsung kawasan tersebut.

Di Kuningan, sebelum menjadi kawasan Segitiga Emas ekonomi, orang-orang Bumiputra mulai menjual susu kepada orang-orang Eropa di daerah Tanah Abang dan Menteng. Susu tersebut dikemas dalam botol khusus, yang kemudian diantar ke para langganan atau pembeli lainnya.

“Yang terbanyak adalah para pengusaha sapi, yang rata-rata memiliki 4-5 ekor setiap pagi dan sore, ratusan warga Karet Kuningan, Kuningan Timur, Karet Pedurenan, dan Setiabudi (Kampung Duku) dengan mengendarai sepeda membawa susu yang dikemas dalam botol, dikirim pada para pelanggan di berbagai tempat di Jakarta. Di samping dijualbelikan,” tutur Alwi Shahab dalam buku Maria Van Engels: Menantu Habib Kwitang (2006).

*Baca Informasi lain soal SEJARAH NUSANTARA atau baca tulisan menarik lain dari Detha Arya Tifada.

MEMORI Lainnya