Bagikan:

JAKARTA - Tak sampai dua pekan setelah rilis pertama kali di Belanda, 13 Mei 2021, film De Oost langsung mengundang respons ramai di Negeri Kincir Angin. Pertentangan-pertentangan muncul dari film ini.

Palmyra Westerling, putri dari Raymond Westerling (1919–1987) menolak keras gambaran kekejaman ayahnya di Sulawesi sebagaimana ditampilkan film tersebut. Selain itu suara dari para veteran KNIL --tentara Hindia Belanda-- pun tidak menunjukkan kepuasan.

Keduanya merasa film tersebut telah menampilkan narasi yang menyudutkan operasi tentara Belanda di Indonesia pada masa revolusi (1945–1949), yang hingga beberapa dekade belakangan dipandang publik Belanda sebagai operasi untuk mengembalikan “tata tenteram (rust en orde)” di Hindia.

Kini pandangan yang demikian telah mendapatkan sangkalan berkat kerja-kerja penelitian yang dilakukan oleh kelompok peneliti dari Institut Penelitian Peperangan, Holocaust, dan Genosida (NIOD); Institut Sejarah Militer Belanda (NIMH); dan Institut Kerajaan untuk Penelitian Humaniora (KITLV).

Namun para peneliti yang telah membuka pandangan baru bagi sejarah tadi juga rupanya memiliki catatan tersendiri bagi film De Oost. Sejarawan seperti Anne van Mourik dan Roel Frakking mengkritisi bagaimana “maksud baik” Belanda digambarkan sebagai elemen sentral di dalam film tersebut.

Mereka mengingatkan gambaran itu sangat mungkin menghasilkan gambaran yang menyesatkan terhadap apa yang sebenarnya dilakukan oleh tentara Belanda. Dalam bingkai penyampaian itu, operasi militer di Indonesia berpotensi dipandang sebagai “maksud baik yang lepas kendali”.

Dan dengan demikian mengesankan pihak Indonesia sebagai pihak yang bersalah.Diskusi yang panas itu menyisakan pertanyaan tentang bagaimana film tersebut sebenarnya dipandang di Indonesia sendiri? Hingga kini, 9 Juni 2021, De Oost hanya mengundang sedikit perhatian.

Separuhnya, ini disebabkan oleh Amazon yang belum merilis film tersebut di Indonesia. Namun, beberapa media ternama seperti Tirto dan Kompas sudah menerbitkan artikel mereka tentang film ini. Sangat mungkin, De Oost tidak akan diterima dengan lembut di Indonesia seperti apa yang sempat diduga oleh Palmyra Westerling.

Bagaimanapun, pandangan skeptis terhadap narasi sejarah buatan Belanda —yang selalu dipandang sebagai bekas penjajah— nyata kehadirannya pada publik Indonesia. Dengan demikian, pasti akan muncul kecurigaan, pandangan kritis, dan mungkin penolakan.

Cakrawala pandangan baru

Namun ketika kita mengesampingkan berbagai macam sentimen seperti tadi, apa nilai yang sebenarnya dapat kita ambil dari duduk selama 2 jam 17 menit menyaksikan film De Oost? Bagi generasi muda Indonesia, ada celah pengetahuan yang berhasil diisi, tetapi ada juga yang dibiarkan menganga oleh film tersebut.

Bila film ini ditujukan untuk para penonton di Indonesia, ada banyak informasi dan pemahaman yang dapat diambil oleh publik. Terutama, sudut pandang film yang ditempatkan pada sisi penjajah dapat memberi gambaran yang selama ini tidak pernah diperhatikan oleh publik Indonesia.

Saya menyaksikan film tersebut bersama tunangan saya —generasi yang di Indonesia sering ditandaskan sebagai milenial: dalam usia dua puluhan dan tumbuh setelah lengsernya Suharto pada 1998, generasi dengan laptop dan ponsel pintar di tangan kami.

Namun, tunangan saya —seperti juga kebanyakan generasi kami di Indonesia— tidak familiar dengan episode sejarah yang ditampilkan De Oost. Bukankah tahun 1945 adalah tahun kemerdekaan? Mengapa Belanda masih datang dan berada di Indonesia satu tahun setelahnya?

Ini adalah pertanyaan masuk akal di sebuah negara yang pelajaran sejarah di sekolahnya amat sempit sehingga sejarah menjadi amat asing ketika sedikit saja tabir yang menutupinya dicoba diangkat. 

Sebuah misi pembebasan

Dalam film, kita diajak untuk menyusuri hidup yang tragis dari seorang tentara relawan, Johan de Vries, yang pergi ke Hindia/Indonesia sesaat setelah proklamasi kemerdekaan dibacakan oleh Sukarno. Di pundak Johan, terdapat beban dan tekanan untuk mengabdi kepada negara sebagai bayaran atas orientasi politik ayahnya yang seorang NSB (Gerakan Nasional-Sosialis, sebuah organisasi pro-Nazi di Belanda).

Ia sendiri meyakini bahwa ia mendaftarkan diri pada sebuah misi mulia untuk membantu sebuah bangsa yang kacau balau di dalam dirinya sendiri akibat ulah penguasa fasis Jepang yang propagandis. Melihat argumen “misi mulia” ini, tunangan saya seketika bertanya, “Mereka (orang Belanda) merasa melindungi dan ingin membebaskan orang Indonesia, memangnya benar ada orang Indonesia yang saat itu punya keinginan untuk dilindungi dan dibebaskan?”

Pertanyaan ini tidak datang dari kehampaan. Sepanjang pelajaran sejarah singkat yang diterima di sekolah, kurikulum secara sederhana mengungkapkan bahwa orang Indonesia setelah kemerdekaan bersatu padu dan bersama-sama menentang penjajah Belanda.

Namun, ketika kita dihadapkan, salah satunya, pada surat tertanggal 7 Oktober 1944 dari para kepala desa di Loloda, Maluku Utara yang diterima oleh seorang komandan NICA (Administrasi Sipil Hindia Belanda) di bawah ini, mungkin kita akan dapat memahami dari mana pikiran orang Belanda tentang “maksud baik” itu berasal. Salah satu cuplikan surat itu berbunyi:

[…] tetapi kami tidak lupa dan (kami ingat) cinta dari pemerintah kami yang dulu yaitu pemerintah Belanda (yang) seperti ayah dan bunda kar[e]na selama kami hidup (di bawah Belanda) dengan senang dan sentosa s(el)ama-lamanya.

Masih banyak lagi pernyataan-pernyataan yang seperti ini dan kadang-kadang ini mengingatkan kita kepada kenyataan di Indonesia masa kini saat orang-orang dari generasi tua membicarakan zaman diktator Soeharto (Presiden Indonesia, 1968–1998).

Biasanya kita akan menemukan sebuah ungkapan nostalgia di samping foto sang jenderal yang sedang tersenyum: Piye kabare? Enak jamanku to? (Bagaimana kabarmu, masih enak zamanku, kan?).

Bahkan akhiran “to (toch)” itu pun adalah warisan kolonial. Demikian juga masih banyak orang di Jerman Timur yang merasakan hal serupa terhadap pemerintah komunis dahulu: damai dan senyap tanpa kekhawatiran bila kita bertindak baik.

Oleh karena itu, sebenarnya respons terhadap kolonialisme Belanda berlain-lainan di Indonesia. Hanya saja, generasi terpelajar di Indonesia jarang sekali menyentuh sumber sejarah dan tidak tahu lebih dalam dari apa yang diajarkan oleh pemerintah melalui kurikulum sekolah mereka pada tingkat dasar dan menengah. 

Sebuah perspektif alternatif

Tangkapan layar film De Oost (Sumber: IMDB)

De Oost telah memulai sebuah diskusi yang amat penting dengan cara penyampaian yang menarik bagi generasi muda. Kurikulum Indonesia berfokus sepenuhnya pada usaha membangkitkan nasionalisme, bukan pada usaha meningkatkan daya kritis dalam memandang sejarah, seperti yang kini menjadi norma dalam pendidikan Belanda.

Dengan demikian, sejarah sering digambarkan dalam dua warna: hitam-putih, salah-benar, merah-putih. Hal ini sangat disayangkan karena pemahaman yang menyeluruh terhadap fenomena sejarah justru sebenarnya akan memunculkan pemikiran kritis dan kedewasaan dalam bernegara. Sejarah Indonesia yang kini diajarkan hanya menciptakan perasaan bahwa Indonesia telah dijarah dan ditindas selama berabad-abad oleh bangsa asing.

Sangat sedikit orang mengetahui ada rangkaian alasan yang mendasari tindakan-tindakan kejam Belanda, yang dalam kurikulum sekarang seolah-olah Belanda murni hanya ingin menyiksa orang Indonesia. De Oost mengangkat tirai delusi ini dalam beberapa menit karena menunjukkan sesuatu yang sangat jarang diketahui masyarakat Indonesia, yaitu sebuah perspektif berbeda.

Ia menggambarkan cuplikan kondisi Belanda pascaperang, hasil dari pendudukan Nazi terhadap warga Belanda, dan akhirnya gambaran tentara Belanda yang tidak hanya sekedar mesin membunuh. Di sini sosok demonik penjajah tiba-tiba mengambil wujud sebagai manusia sama dengan manusia-manusia lain.

Lalu, apa sebenarnya yang menarik dari pemahaman terhadap sudut pandang penjajah? Film ini tentu tidak akan membangkitkan simpati, tetapi justru memicu banyak pertanyaan dan diskusi. Di situ Belanda digambarkan sebagai pihak yang kejam, namun tindakan mereka memiliki alasan, sekalipun kadang digambarkan dengan datar dan kurang menarik.

Indonesia sebenarnya memiliki keuntungan di sini karena dengan menggambarkan Belanda sebagai musuh yang kejam, Indonesia mengambil peran sebagai korban. Namun pengakuan dan permintaan maaf Belanda terhadap operasi peperangan, barang jarahan, dan perbudakan yang pernah mereka lakukan telah meletakkan Belanda pada tingkat moral yang lebih tinggi dari bekas jajahannya, yang secara terus-menerus berpura-pura bahwa sejarah Indonesia sendiri semata-mata hanya berisi tindakan-tindakan perjuangan heroik.

Maksud baik Johan de Vries sendiri adalah contoh yang baik —sekalipun agak kabur— dari tipikal upaya permintaan maaf dan rasa bersalah Belanda: ia salah, namun ia mengakui kesalahannya sehingga akhirnya juga meletakkan dirinya sebagai korban dalam perhelatan perang ini. Sang ‘Turk’ (Westerling) akhirnya menggodanya untuk bunuh diri pada adegan terakhir.

Pemerintah Belanda sering membuat permohonan maaf yang sejenis itu: dengan menutup buku atas kesalahan-kesalahan lamanya, ia menjelmakan diri sebagai tempat kelahiran perdamaian dan keadilan internasional di abad ke-21. Dan kini kita menghadapi fakta bahwa penjajahan dan perbudakan dalam perekonomian dunia telah mengambil bentuk yang berbeda.

Perbedaan itu termasuk kesenjangan ekonomi, oligarkhi yang korup, perbudakan modern, perdagangan manusia, keadilan yang tumpul, dan lain-lain, dengan hasil yang sangat mirip dengan yang sebelumnya dirasakan penduduk Indonesia saat penjajahan.

Oleh karena itu, bahkan dengan maksud yang paling baik sekali pun, kolonialisme tidak dapat dipandang lebih baik daripada genosida seperti yang dilakukan oleh orang Jerman terhadap Yahudi, orang Turki terhadap Armenia, dan juga orang Amerika terhadap penduduk asli Amerika dan budak Afrika. Juga, di dunia masa kini, kita melihat politik apartheid yang terjadi pada orang Palestina di Israel dan asimilasi paksa orang Uyghur di Tiongkok.

Dalam jangka panjang, pelaku sering kali menjadi korban, namun para korban juga sering kali akhirnya menjadi pelaku. Dilihat dari sisi pandang ini, upaya untuk mencegah adanya tindakan kolonialistik di masa depan sudah merupakan tujuan yang mulia—karena pengulangan model-model kolonialisme sayangnya masih sering terjadi.

Namun, memperbaiki atau menyembuhkan luka dari kekejaman yang terjadi di masa lalu adalah tujuan yang jelas tidak mungkin. Seorang pengendara motor yang membunuh seorang ibu tentu harus membayar kompensasi, namun ini tidak menyembuhkan sang anak dari trauma dan kesedihan. Republik Indonesia dalam hal ini bukanlah contoh yang bertindak paling baik—dan tidak seperti Belanda, pemerintah Indonesia masih alergi pada permintaan maaf.

Oleh sebab itu, kita sendiri dapat menemukan Indonesia di dalam berita-berita sebagai pihak neo-kolonialis terhadap daerah-daerah seperti Timor Timur, Aceh, Ambon, dan Papua. Bagaimanapun, De Oost telah menarik Indonesia dari zona nyaman historiografinya dengan memunculkan narasi alternatif terhadap sejarah perjuangan kemerdekaan. Sisi pandang penjajah itu dapat digunakan sebagai bahan refleksi agar Indonesia tidak secara lugu terjebak dalam mental penjajah.

Poster film De Oost (Sumber: Defilmposter)

Selain tentang sisi pandang penjajah, De Oost juga mengungkap bagaimana beberapa pribadi orang Indonesia memandang identitasnya. Dalam salah satu cuplikan paling kontroversial, Johan bertanya kepada seorang serdadu dari Ambon, Samuel, tentang bagaimana perasaannya ‘melawan bangsa sendiri’ yang kemudian dijawab “mereka bukan bangsa saya, orang-orang kamu (Belanda) yang membuat kami satu negara”.

Ini memberi terang pada pemahaman bahwa hingga setelah kemerdekaan pun masih ada orang-orang Indonesia yang tidak merasa satu bangsa. Di wajah pendidikan Indonesia, kenyataan seperti ini seharusnya diberi pemahaman yang ekstensif, bukannya justru dikubur di bawah narasi sejarah nasional. Masyarakat harus memahami bahwa identitas nasional merupakan suatu hal yang diperjuangkan dan bukan muncul begitu saja. 

Perjuangan identitas itu muncul secara menarik dalam diri berbagai pihak seperti yang dilukiskan dalam cuplikan lain film. Di sana, ada adegan perkelahian antara serdadu Indonesia-KNIL dan serdadu relawan Belanda pada sebuah bar di kota pelabuhan Semarang, yang saat itu menjadi basis kuat royalis di Hindia.

Keadaan menjadi tidak terkendali saat seorang tentara Belanda menghina Ratu Wilhelmina (bertakhta, 1890–1948) usai kehilangan seorang kawannya yang terkena peluru saat menyeberangi sungai di pedalaman Jawa. Tanpa disangka, serdadu Ambon KNIL tadi naik pitam dan marah karena merasa “ratu”-nya dihina.

Episode ini mungkin mengejutkan bagi publik Indonesia, namun ini adalah kenyataan faktual yang menunjukkan bahwa beberapa kawula kolonial adalah seorang plus royaliste que le roi atau, dengan kata lain, lebih patriotik dalam warna merah, putih, dan biru (warna bendera Belanda) daripada orang-orang Belanda sendiri.

Seperti yang sempat diungkapkan oleh sejarawan kondang Ong Hok Ham dalam Runtuhnya Hindia Belanda (1989), orang-orang Indonesia mungkin membenci pemerintah kolonial, tetapi mereka menghormati Ratu Belanda. Sayang, cuplikan unik itu di film tidak disertai penjelasan apa-apa padahal sang sutradara sendiri berasal dari keluarga KNIL Ambon.

Membuka kotak arsip

Tangkapan layar film De Oost (Sumber: IMDB)

Cuplikan-cuplikan seperti itu adalah potongan-potongan informasi yang dapat mengisi celah pengetahuan yang ada dalam benak generasi muda di Indonesia —yang kini lebih mengerti seluk beluk musik pop Korea dibanding bagaimana Indonesia dulunya terbentuk. Eksposur terhadap informasi seperti tadi paling tidak memberi sisi pandang baru sekalipun film tersebut gagal untuk menampilkan narasi sejarah yang lebih luas.

Namun, daya tarik film memang pada aksi aktor-aktornya, informasi sejarah tentunya dapat dicari di luar film dengan tersedianya akses yang luas pada masa sekarang ini. Sebagai contoh, sekarang saya sedang bekerja bersama Koninklijke Bibliotheek (KB, Perpustakaan Nasional Belanda) untuk mengembangkan sebuah mesin pencari (search engine) berbasis kecerdasan buatan (AI) yang dapat mengenali dan mencari berbagai entri di dalam koran-koran Indonesia di laman Delpher.

Dengan perkembangan pesat upaya semacam ini, sebentar lagi publik Indonesia akan dapat dengan sangat mudah mengakses koran-koran berbahasa Belanda atau Melayu dan mencari konten-konten seperti nama orang, tempat, dan kejadian tertentu. Dengan demikian, kisah alternatif seperti dalam film De Oost dapat dicari kebenaran historisnya dan seseorang dapat menggali bahwa sejarah bukan sekedar pertarungan antara pahlawan dan penjahat.

Dengan ini, pembaca dapat menentukan sendiri apa yang ingin dicarinya, bukan sekedar mendengar apa yang didiktekan kepada mereka. Dengan pencarian digital, topik-topik yang selama ini tidak pernah dibahas baik di Belanda maupun Indonesia dapat terungkap.

Sebagai contoh, versi beta dari mesin pencari kami telah berhasil menemukan kenyataan bahwa sebagian kabinet Belanda di pengasingan telah menyetujui dan mengakui federasi Indonesia yang otonom pada bulan Juni 1945—dua bulan sebelum proklamasi kemerdekaan dibacakan oleh Sukarno.

Keputusan ini diambil setelah sekelompok mahasiswa cerdas Indonesia mengarungi Selat Inggris dari Rotterdam dan Leiden tepat setelah Hari Kemerdekaan Belanda untuk meminta kemerdekaan kampung halamannya—seperti yang pernah dijanjikan oleh Ratu Wilhelimina pada pidato radio yang terkenal tanggal 6 Desember 1942. Ketua dari kelompok mahasiswa ini adalah seorang alumni Leiden, Zairin Zain (1913–1974), yang nantinya juga berperan penting sebagai duta besar di Washington (menjabat, 1961–1965) saat perebutan kekuasaan 1965.

Namun, namanya kemudian lenyap dari buku-buku sejarah tanpa alasan yang jelas. Menteri jajahan yang sosialis dengan segera menyetujui permintaan Zairin, demikian pula Letnan Gubernur Jenderal Hindia Belanda yang progresif, Hubertus van Mook (1894–1965). Sayangnya, Partai Rakyat Katolik (KVK, didirikan 22 Desember 1945) yang diwakili salah satu pendirinya, Louis Beel (1902–1977) menunjukkan penolakan terhadap ide ini.

Politisi kontroversial dari Limburg itu—yang sebenarnya seorang terpelajar namun memiliki pandangan serupa dengan politisi kanan ekstrem Geert Wilders (lahir 1963)—membiarkan perang memanas ketika ia menjabat sebagai perdana menteri (menjabat, 1946–1948). Ia membiarkan Van Mook bertindak sebagai pelaksana, sebuah peran yang menghadirkan kengerian hebat di dalam dirinya dan bahkan menyebabkan kekalahan fatal bagi jenderalnya, Simon Spoor (1902–1949). 

Westerling dapat dengan mudah dianggap sebagai penjahat perang dan ini jelas bagaimana ia ditampilkan dalam pelajaran sejarah di Indonesia. Selain pembantaiannya di Celebes (Sulawesi) pada 1946 dan 1947, ia juga menjalankan kudeta dengan tangannya sendiri pada bulan Januari 1950. Namun, pembuatan kebijakan dari para pejabat di Den Haag juga sangat patut dipertanyakan dan justru sangat jarang menjadi perhatian. Film De Oost bahkan hanya menampilkan sedikit sekali pejabat Hindia dan porsi tampil mereka hanya beberapa detik saja. 

Bila kita menilik lebih dalam kepada pembuatan kebijakan tingkat tinggi di Den Haag, pertumpahan darah di Indonesia sebenarnya dapat dihindari. Beel dipercaya oleh Ratu Wilhelmina untuk membangun kembali Belanda dari kekacauan yang ditimbulkan oleh pendudukan Jerman, namun ia sendiri secara penuh kekerasan telah menghancurkan Indonesia.

Secara ironis, salah satu tokoh yang berkontribusi untuk menghentikan kekerasan ini adalah salah satu dari sekelompok mahasiswa yang sebelumnya telah disebut di atas pernah datang ke pemerintah Belanda untuk meminta kemerdekaan, Soemitro Djojohadikoesoemo (1917–2001).

Ia meyakinkan pemerintah Amerika Serikat di bawah Presiden Harry S. Truman (1884–1972) pada 1948 untuk menarik Marshall Aid dari Belanda bila negara itu tidak menghentikan operasi berdarahnya di Indonesia. Pada Desember 1945, Soemitro pernah menulis kepada ibunda kawan kuliahnya yang sempat membantunya bersembunyi pada 1943 di sebuah desa terpencil di Drenthe:

“Saya masih menaruh kepercayaan kepada pemerintah Belanda dan memiliki semangat persahabatan. Namun segera, dengan sangat segera, kepercayaan saya itu harus dihormati. Dan ketika saya menemukan bahwa orang masih berniat menggunakan kami [Indonesia] sebagai mainan, pemerintah [Belanda] pasti akan menemukan saya sebagai salah satu lawan terberatnya. Namun, mari kita berharap hal itu tidak akan pernah terjadi.”  

Seandainya saja politisi konservatif seperti Beel mendengarkan hal-hal ini tiga tahun sebelumnya, pasti episode sejarah saat itu akan berbeda. Dengan demikian, masih banyak tabir yang dapat diungkap tentang periode ini. Namun, untuk mengungkapnya, rasa keingintahuan harus dibangkitkan terlebih dahulu dan De Oost telah melakukannya dengan luar biasa. 

Sejarah nasional?

Prajurit KNIL di Tapanuli dalam peringatan 40 tahun pemerintahan Ratu Wilhelmina (Sumber: KITLV Leiden)

Oleh karena itu, kita harus berharap bahwa Amazon akan memutuskan untuk membuat De Oost tersedia bagi para penonton di Indonesia. Siapa tahu, film tersebut akhirnya akan membuka cakrawala yang lebih luas daripada sekedar sejarah nasionalistik karena justru sejarah nasional semacam inilah yang selama berabad-abad melegitimasi kehadiran Belanda di wilayah Nusantara.

Di samping harapan itu, setelah menyaksikan film tersebut hingga tamat, sebenarnya terdapat satu lubang pengetahuan yang menganga besar: di mana penjelasan atau gambaran dari sisi gerakan kebangsaan atau kelompok masyarakat yang pro-kemerdekaan Indonesia? Bila film tersebut ditujukan bagi khalayak Indonesia, tentu pandangan dari kelompok Soekarno dan kawan-kawan tidak perlu lagi dihadirkan karena publik sudah mengonsumsinya sejak dini.

Namun, bila film ini ditujukan untuk publik yang lebih luas, senyapnya suara dari pihak Indonesia pro-kemerdekaan di dalam film akan menimbulkan kesan yang menyesatkan bahwa mereka mungkin memang merupakan kelompok teroris yang bahkan siap memenggal kepala orang dan menjejalkan kemaluan sang korban ke mulut jasadnya.

Narasi dari pihak Indonesia pro-kemerdekaan inilah yang menjadi lubang pengetahuan menganga yang ditinggalkan oleh Jim Taihutu dan kawan-kawan di dalam De Oost. Seandainya saja film Indonesia atau karya lain dapat dirilis dan dapat menjungkirbalikkan sejarah versi barat yang kini dominan. arya sastra Multatuli dan Kartini memang mendekati upaya tadi, tetapi itu bahkan menjadi terkemuka karena didorong oleh aktivis Belanda.

Sebenarnya, kemajuan teknologi telah memungkinkan orang Belanda dan orang Indonesia sama-sama membuat film mereka sendiri dan alangkah baiknya bila film-film itu dapat diputar dalam satu maraton sehingga dapat didiskusikan secara lintas batas melalui ruang daring. Minggu ini, mimpi ini telah menjadi semakin dekat.

Sutradara berbakat dari Indonesia, Mouly Surya (lahir 1980) —dikenal lewat Marlina, Pembunuh dalam Empat Babak (2017)— akan mulai mengadaptasi novel Jalan Tak Ada Ujung karya penulis tersohor Mochtar Lubis (1922–2004). Karya internasional semacam ini akan segera menunjukkan bahwa setiap orang sebenarnya memiliki porsi bersalah dalam sebuah peperangan.

*Artikel ini merupakan karya kontribusi pembaca VOI.ID

Tentang penulis:

Christopher Reinhart adalah seorang peneliti sejarah yang kini bekerja bersama Koninklijke Bibliotheek (Perpustakaan Nasional Belanda) dalam mengembangkan mesin pencari (search engine) berbasis kecerdasan buatan (AI) terhadap terbitan berbahasa Indonesia (Melayu) dan Belanda dari periode 1930 hingga 1957. Ia juga merupakan asisten peneliti dari Prof. Peter Carey (Fellow Emeritus Oxford, kini Guru Besar Tamu di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia) dan salah satu koordinator Ruang Baca daring tentang Geger Pacinan 1741–1743 di bawah Universitas Kristen Satya Wacana. Dapat dihubungi melalui surel: [email protected].