JAKARTA - Tiada yang meragukan kapasitas Mahfud MD sebagai ahli hukum tata negara. Kapasitasnya itu buat Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) kepincut. Ia pun diangkat sebagai menteri dua kali. Sebagai Menteri Pertahanan (Menhan) dan Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia (HAM).
Lama tak terdengar kabar, Mahfud malah banting stir jadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Ia merasa tertantang berjuang untuk orang banyak. Narasi itu tak bertahan lama. Ia justru pusing melihat anggota DPR tak kompeten.
Harapan baru mengiringi terpilihnya Gus Dur sebagai orang nomor satu Indonesia. Gus Dur yang telah malang-melintang di dunia perpolitikan Indonesia dianggap juru selamat kekacauan ekonomi warisan Orde Baru (Orba). Narasi itu terlihat ketika Gus Dur menyusun kabinet.
Ia menginginkan posisi menteri yang ada segera dihuni oleh orang-orang kompeten di bidangnya. Bukan sebaliknya. Gus Dur pun berlaku selektif. Gus Dur bahkan memiliki hitung-hitungan sendiri. Gus Dur tercatat membutuhkan tiga orang menteri yang menguasai hukum tata negara.
Yusril Ihza Mahendra (jadi Menteri Hukum dan Perundang-undangan) dan Marsillam Simanjuntak (jadi Menteri Kehakiman dan HAM) ada di dalam daftar itu. Namun, satu nama terakhir yang diperoleh Gus Dur mampu mengejutkan khalayak umum. Mahfud MD, orangnya.
Mahfud langsung diangkat Gus Dur sebagai Menhan. Posisi yang membuat ragam kalangan ragu dengan kapasitas Mahfud. Gus Dur memahami benar akan kritikan itu. Dukungan pun kerap diberikan Gus Dur. Alhasil, Mahfud membuktikan kapasitasnya.
Kepemimpinannya gemilang. Mahfud jadi menteri populer yang ketegasannya sebagai orang sipil melebihi militer. Sekalipun Gus Dur punya rencana lain. Sebab, Mahfud lalu diangkat sebagai Menteri Kehakiman dan HAM.
“Mahfud sudah tune in dengan tugasnya sebagai Menteri Pertahanan meski semula diragukan banyak orang. Sikapnya tegas meneriakkan supremasi sipil dan reposisi TNI menurut hukum tata negara, tetapi beliau juga membela TNI dengan tegas dari serangan-serangan aktivis pro demokrasi dan LSM, dan meminta pihak luar tidak mengobok-obok TNI.”
“Mahfud tak segan menyebut ada aktivis dan LSM yang memperjudikan kedaulatan negara atas nama HAM dan demokrasi dengan mendesak-desak TNI diam tak berbuat apa-apa, tetapi jika terjadi sesuatu yang fatal, TNI yang disalahkan. Banyak LSM yang bagus, tapi aktivis dan LSM yang seperti itu tak nasionalis dan menjikkan. Beliau bersikap tegas bahwa kita harus menjaga keutuhan ideologi Pancasila dan teritori,” ujar Fajar Laksono dalam buku Hukum Tak Kunjung Tegak (2007).
Pusing Jadi Anggota DPR
Karier Mahfud sebagai menteri kemudian berakhir kala Gus Dur lengser. Mahfud tak tinggal diam. Ia ingin terus mengabdikan diri bagi bangsa dan negara. Namun, ia tak ingin berada di eksekutif. Mahfud pun menjatuhkan pilihannya untuk menjadi anggota DPR (2004-2008).
Keinginan itu muncul karena Mahfud menyukai narasi peran DPR yang besar bagi keberlangsungan hajat hidup bangsa Indonesia. Keinginan menjadi anggota DPR lalu disampaikan Mahfud kepada petinggi Partai Kebangkitan Nasional (PKB), Gus Dur.
Gus Dur menyayangkan pilihan Mahfud. Menurutnya, Mahfud tidak cocok di DPR. Mahfud justru disarankan Gus Dur memilih kariernya di Mahkamah Agung. Namun, Mahfud bersikukuh dengan keinginannya. Gus Dur menghargai kemauan keras Mahfud dan memberikannya restu.
Mahfud pun mempersiapkan segalanya untuk jadi anggota DPR. Ia memborong banyak buku terkait DPR. Dari buku tentang parlemen hingga teknik berdebat. Semuanya dilakukan supaya perannya di DPR dapat menghasilkan kinerja yang signifikan bagi rakyat Indonesia.
Nyatanya, jauh panggang dari api. Mahfud justru dibuat pusing dengan rangkaian aksi anggota DPR. Ia kemudian menyetujui anggapan Gus Dur bahwa anggota DPR tak ubahnya seperti anak taman kanak-kanak (TK).
Anggota DPR saat sidang malah banyak yang berbicara tanpa arah. Atau dalam bahasa Mahfud disebut celometan. Banyak masalah serius yang diulas justru dijadikan bahan bercanda. Belum lagi mereka mencoba melakukan intrupsi berkali-kali. Padahal, omongannya jauh dari topik dan tidak menunjukkan minat kepada isu yang dibela.
“Aneh juga, ada anggota DPR yang menginterupsi anggota lain yang sedang menginterupsi sambil mengatakan, harap jangan berpolitik dan mempolitisir masalah di sini, ya. Padahal, di DPR memang tempatnya berpolitik dan memolitisasi masalah untuk mencari keputusan politik.”
“Ada lagi yang menginterupsi hanya untuk memberi tahu bahwa jepitan laundry di lengan baju seorang pembicara belum dibuang. Interupsi pimpinan sidang, harap diingatkan kepada pembicara bahwa forum di DPR ini terhormat; itu yang sedang berbicara jepitan laundry di lengan bajunya belum dibuang, katanya yang juga disambut dengan tertawa riuh,” terang Mahfud MD dalam buku Gus Dur: Islam, Politik, dan Kebangsaan (2010).