JAKARTA - Posisi Indonesia dalam konflik Israel-Palestina tak pernah ada kebimbangan. Indonesia di bawah kuasa Soekarno memihak Palestina. Semuanya karena komitmen kuat Soekarno yang menentang kolonialisme dan imperialisme di muka bumi.
Namun, sikap berbeda dipertontonkan Abdurrahman Wahid (Gus Dur) kala menjadi Presiden Indonesia. Gus Dur punya ide nyeleneh. Ia bernyali mewacanakan membuka hubungan diplomatik dan perdagangan dengan Israel secara terang-terangan. Sikap itu membuat Gus Dur dikecam di mana-mana.
Penjajahan Belanda membawa luka yang amat dalam bagi kaum bumiputra. Soekarno memahami hal itu. Ia menyaksikan sendiri bagaimana menyedihkannya kaum bumiputra ketika dijajah VOC hingga pemerintah kolonial Hindia Belanda.
Alih-alih makmur, kehidupan kaum bumiputra jatuh pada level terendah. Apalagi Belanda kerap berlaku rasis. Mereka menyamakan status kaum bumiputra dengan binatang. Perlakuan tidak manusiawi itu membuat Soekarno berang bukan main.
Ia pun memantapkan hatinya untuk mengabdikan diri dalam perlawanan terhadap tirani kolonialisme dan imperialisme. Sekalipun ia tahu risikonya. Tindakan itu membuat Bung Karno dipenjara.
Ia pertama kali ditempatkan di Penjara Banceuy, kemudian Penjara Sukamiskin. Nyatanya, penjara tak membuat Bung Karno jera. Ia terus lantang melanggengkan perlawanan terhadap Belanda. Dengan kata lain, penjara justru jadi panggungnya yang baru.
Bung Besar menuliskan sebuah pledoi (pembelaan) untuk dibacanya di Pengadilan Bandung pada 1930. Indonesia Menggugat, judulnya. Ia menuliskan komitmennya menentang segala macam penjajahan di atas bumi. Pola perebutan wilayah yang dilakukan Israel atas Palestina, misalnya.
Narasi perlawanan Soekarno terhadap kolonialisme dan imperialisme makin menjadi-jadi kala Indonesia merdeka. Sebagai dukungan terhadap Palestina, Bung Karno kerap amdil bagian dalam melarang Israel hadir di ragam hajatan internasional di Indonesia. Dari Konferensi Asia Afrika 1955 hingga Asian Games 1962.
“Diberi hak-hak atau tidak diberi hak-hak; diberi pegangan atau tidak diberi pegangan; diberi penguat atau tidak diberi penguat-tiap-tiap makhluk, tiap-tiap umat, tiap-tiap bangsa tidak boleh tidak, pasti akhirnya berbangkit, pasti akhirnya bangun, pasti akhirnya menggerakkan tenaganya.”
“Kalau ia sudah terlalu sekali merasakan celakanya diri teraniaya oleh suatu daya angkara murka. Jangan lagi manusia. Jangan lagi bangsa, walau cacing pun tentu bergerak berkeluget-berkeluget kalau merasakan sakit” pekik Bung Karno dalam pledoi Indonesia Menggugat (1930).
Wacana Gus Dur
Sikap Indonesia atas konflik Israel-Palestina kemudian dilanjutkan pada era pemerintahan Soeharto. The Smiling General kerap menunjukkan pembelaan terhadap Palestina yang wilayahnya dicaplok Israel. Ia pun mendukung penuh kemerdekaan Palestina yang kemudian terwujud pada 15 November 1988.
Namun, sikap Soekarno dan Soeharto tak dilanjutkan pada era pemerintahan Presiden Gus Dur. Gus Dur justru memiliki wacana untuk membuka hubungan diplomatik dan perdagangan dengan Israel di awal pemerintahannya. Padahal, tiga presiden sebelumnya ogah membuka hubungan diplomatik.
Siasat itu diambil Gus Dur karena ia melihat perdamaian antara Israel-Palestina takkan tercipta jika Indonesia hanya berada di luar arena. Alias, Indonesia takkan dapat berperan aktif mendamaikan jika tak menjalin hubungan diplomatik dengan Israel.
Pun Gus Dur melihat ada celah keuntungan lain dari pembukaan hubungan dagang Israel. Apalagi urusan ekonomi. Pembukaan hubungan dagang dengan Israel dianggapnya sebagai solusi supaya Indonesia dapat menahan laju krisis moneter.
Namun, tak semua rakyat Indonesia setuju dengan wacana Gus Dur. Sebagian besar menolak rencana ‘nyeleneh’ Gus Dur. Umat Islam apalagi. Segenap rakyat Indonesia tak ingin Gus Dur membuka pintu diplomasi dengan Israel dan tiada tawar menawar untuk itu. Karenanya, wacana itu tak kunjung terlaksana sampai Gus Dur lengser dari pucuk kepemimpinan.
“Contoh lain pernyataan Gus Dur yang kontroversial adalah perlunya membuka hubungan diplomatik dan perdagangan dengan Israel. Gus Dur mengaku sebagai anggota Yayasan Shimon Peres, mengambil nama seorang tokoh politik dan mantan Perdana Menteri Israel. Pernyataan-pernyataannya semacam ini membuat masyarakat Islam umumnya marah besar.”
“Bahkan, seorang seperti Soeharto pun dengan terang-terangan menunjukkan pembelaannya terhadap perjuangan rakyat Palestina yang tanahnya dikuasai Israel; bahkan Pak Harto mendukung Palestina menjadi sebuah negara yang merdeka. Tetapi banyak pendukung Presiden Gus Dur yang justru berpendapat, bahwa penyataannya itu menunjukkan sikap negarawan, demokrat, dan mendukung HAM,” ungkap Sri Bintang Pamungkas dalam buku Ganti Rezim Ganti Sistim: Pergulatan Menguasai Nusantara (2014).