Perlukah Indonesia Membuka Hubungan Diplomatik dengan Israel, Seperti Cita-Cita Gus Dur?
Israel menjelma sebagai negara kaya meski sering terlibat perang dengan Palestina dalam kurun waktu yang lama. (Unsplash/Cole Keister)

Bagikan:

JAKARTA - Konflik Israel dengan Hamas, organisasi militan Palestina, belum menunjukkan tanda-tanda akan segera berakhir. Namun meski terus terlibat konflik, ternyata Israel termasuk negara kaya.

“Israel memiliki ekonomi pasar yang berteknologi maju. Berlian, peralatan berteknologi tinggi, dan obat-obatan termasuk di antara ekspor utamanya,” demikian dikutip usnews.com.

“Israel juga sangat maju dalam hal angka harapan hidup, pendidikan, pendapatan per kapita dan indikator indeks pembangunan manusia lainnya.”

Saat menjabat Presiden RI, Abdurrahman Wahid atau Gus Dur mewacanakan pembukaan hubungan diplomatik dengan Israel. (Wikimedia Commons)

Israel diproklamasikan pada 14 Mei 1948. Sebanyak 163dari 193 negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang mengakui eksistensi Israel, termasuk Amerika Serikat.

Sementara Indonesia termasuk di antara 30 daftar negara yang tidak mengakui Israel dan mendukung kemerdekaan Palestina.

Eksodus Tenaga Ahli dari Negara Barat dan AS

Melansir Worldometer, jumlah penduduk Israel saat ini 9.364juta orang dengan luas wilayah 22.145 km2. Sementara Palestina, dengan luas wilayah 6.020 km2 memiliki populasi 14,5 juta penduduk.

Lalu, apa yang menyebabkan Israel begitu maju meski terus terlibat konflik dengan Palestina?

Dikutip BBC, pada 2011 Israel memiliki hampir 4.000 perusahaan start-up. Angka ini lebih banyak dibandingkan negara mana pun di luar Amerika Serikat. Pada 2010 saja, aliran modal ventura berjumlah 884 juta dolar AS. 

Sejak memproklamirkan merdeka pada 1948, Israel justru terkenal dengan industri manufaktur paling maju. Eksodus tenaga ahli dari negara-negara Eropa saat Perang Dunia II pecah untuk menghindari persekusi menjadi salah satu faktor menyebab majunya industri di Israel. 

Pada 1970-an, industri-industri yang sudah berkembang di Israel antara lain pupuk, pestisida, farmasi, bahan kimia, plastik, dan logam berat.

Kawasan pusat perdagangan berlian di Ramat Gan, Israel. Perdagangan berlian membuat Israel menjadi salah satu sektor yang membuat negara itu menjadi kaya raya. (Wikimedia Commons)

Berselang satu dasawarsa kemudian, giliran orang yang bekerja di Silicon Valley, AS yang bermigrasi ke Israel. Di sana mereka mendirikan pusat penelitian dan pengembangan untuk perusahan-perusahaan teknologi AS seperti Microsoft, IBM, dan Intel.

Banyaknya perusahaan baru di sektor teknologi menyumbang pemasukan besar dari sisi pajak, sumber devisa, hingga penyerapan tenaga kerja. Ini maih belum termasuk royalti dari paten-paten yang dibuat perusahaan Israel.

Menurut data pada 2022, Produk Domestik Bruto (PDB) Israel mencapai 522.033 miliar dolar AS, sementara pendapatan per kapita mencapai 55.536 dolar AS. Angka ini menempatkan Israel di urutan ketiga di Asia, mereka hanya kalah dari Singapura (91.100 dolar AS) dan Qatar (83.891 dolar AS).

Kedekatan Gus Dur dengan Israel

Kemajuan teknologi yang dialami Israel membuat Presiden kelima Indonesia Abdurrahman Wahid sempat membuka gagasan untuk membuka hubungan diplomatik dengan Israel.

Normalisasi hubungan Israel-Indonesia hampir terealisasi di era pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid. Pria yang akrab disapa Gus Dur itu memang dikenal dekat dengan tokoh-tokoh Israel.

Gus Dur bahkan sempat mengunjungi Yerusalem pada 1994 menyaksikan penandatanganan perjanjian damai antara Israel dan Yordania. Saat itu ia masih menjadi Ketua PBNU dan tokoh kiai yang disegani di Tanah Air. Kunjungan Gus Dur terjadi setelah lawatan Perdana Menteri Israel Yitzhak Rabin dan Presiden Palestina Yasser Arafat ke Jakarta dan menemui Presiden Soeharto pada 1993.

Lalu tak lama setelah terpilih sebagai Presiden RI, Gus Dur membuat masukan yang membuat heboh seisi negeri. Ia mendorong Indonesia mulai menjalin hubungan dagang dengan Israel, seperti dengan beberapa negara Arab lainnya. Tak hanya itu, Gus Dur juga mewacanakan menjalin hubungan diplomatik dengan Israel.

Menurut Gus Dur saat itu, Indonesia tidak bisa berperan dalam perdamaian Palestina-Israel jika tidak menjalin hubungan diplomatik dengan keduanya. Melansir laman resmi NU, dalam buku Damai Bersama Gus Dur, ada dua alasan mengapa ia ingin membuka hubungan diplomatik dengan Israel.

Presiden Soeharto bertemu Presiden Palestina, Yasser Arafat dalam KTT Non Blok di Jakarta pada September 1992. (Dok. Setneg)

Pertama, Gus Dur ingin memastikan kapitalis George Soros, yang keturunan Yahudi, tidak mengacaukan pasar modal. Kedua, ingin meningkatkan posisi tawar Indonesia di Timur Tengah, sebab selama itu Timur Tengah tidak pernah membantu Indonesia menghadapi krisis. Daya dan posisi tawar Indonesia saat ini semakin kuat di tengah bangsa-bangsa Arab. Mereka kerap meminta bantuan kepada Indonesia untuk menghadapi konflik-konflik yang ada.

Menurut pakar Timur Tengah dari Universitas Gadjah Mada, alasan lainnya yang mendorong Gus Dur membuka gagasan untuk menjalin hubungan diplomatik dengan Israel adalah karena Indonesia ingin belajar teknologi dari bangsa Yahudi.

“Alasannya adalah kita ingin belajar dari Israel. Israel sangat piawai dalam hal irigasi. Yahudi sangat pintar dalam bertani dan pertanian di Israel maju karena sistem pertaniannya bagus, sehingga Gus Dur ingin Indonesia belajar dari Israel,” Kata Siti Mutiah dalam acara DIHI UGMTalks bertajuk Hamas-Israel 2023: Babak Baru Konflik atau Peramaian di Timur Tengah?

Namun, gagasan Gus Dur itu langsung mendapat penolakan besar-besaran dari sejumlah pihak di Indonesia, termasuk anggota DPR.

“Hubungan diplomatik luar negeri akan sukses jika didukung oleh rakyat. Tapi sebagian besar rakyat Indonesia menolak hubungan diplomatik dengan Israel,” Siti Mutiah menambahkan.